Berkaca dari Sulur-Sulur Tarzan

6 Nov 2008 | Aku, Indonesia

Waktu kecil dulu, aku sering berpikir kenapa Tarzan yang di film-film itu selalu menemukan sulur-sulur yang baru kemanapun ia mengayunkan tubuhnya. Ia seperti tak pernah kehabisan sulur baru untuk menggelanyut dan bekoar “Auououo.”

Waktu aku sudah cukup besar, pada akhirnya aku memahami kisah Tarzan itu sebagai satu bentuk kebesaran Tuhan. Manusia itu seperti Tarzan. Sehebat dan selemah apapun dia, karena ia pasrah dan terus berusaha maka Tuhan selalu menyediakan sulur-sulur yang “tak terpikirkan sebelumnya” untuk dijadikan ayunan, tambatan untuk satu langkah demi langkah terhantar ke depan. Tuhan pula yang selalu menggerakkan pikiran manusia termasuk Tarzan untuk mengarah ke sulur “yang telah disediakanNya”

Malam itu, di penghujung hari ketigaku di Sydney, 3 November 2008, sesaat aku menyadari diri seperti tarzan yang sok pede melangkah ke Sydney dan tidak begitu mengerti apa yang ada di depan tapi tetap saja berjalan ke depan. Dan ditengah penyadaran yang ujung-ujungnya membawa rasa “mellow” itu kok ya sekonyong-konyong Joyce menawariku untuk berdoa rosario bersama-sama.

“Doa rosario, yuk!” ajaknya dengan penuh senyum.
Aku yang sedang menikmati teh panas di malam yang dingin gulita itupun terperanjat. Dalam hati aku berpikir apa wajahku mengisyaratkan kegamangan itu sehingga ia mendadak menawarkan “obat” rosario padaku?
“Hmmm… ayo aja.. yo.. ayo!” Aku masih geragapan menerima ajakan baiknya itu.

Maka jadilah kami menuju ruang keluarga. Di sana Joyce menyiapkan dua buah rosario pemberian mamaku ketika sakramen pernikahan dilangsungkan, 18 Oktober 2008 yang lalu. Di tengah meja, tak lupa Joyce menyalakan sebatang lilin kecil dan di sebelahnya diletakkan kertas panduan doa.

“Kamu yang mimpin ya..” tukas Joyce.
“Ya iyalah….apa aja nih intensinya?”
“Hmmm.. ya syukur aja kita berdua udah bisa kemari dan titip doa buat kesehatan si Simba hehehe”

Maka untaian rosario pun tercipta. Darasan demi darasan doa yang ada di dalamnya kuhayati betul-betul sementara di benak aku tetap membayangkan tarzan kurus yang gendut perutnya bergelanyutan ke sana kemari… lamat-lamat kuperhatikan siapa tarzan super wagu tapi gagah berani itu.. oh itu aku!

Dan hari pun berganti…
Pagi hari keempat di tanah terjanji, 5 November 2008 dan seperti biasa aku kedinginan!
Sekarang sudah pakai gatal-gatal di permukaan kulit.. aku sedikit ketakutan jangan-jangan aku terkena sakit gatal khas ndeso, biduren. Aku tak tahu apa nama Indonesianya apalagi English-nya, tapi yang jelas sakitnya sangat menjengkelkan karena gatal seluruh badan tak keruan dan obatnya pun tak kurang menjengkelkan CTM dan Pretnizon. Dua-duanya obat tidur… dan aku harus tidur sehari-harian? No way!
Anak Tuhan ndak boleh malas, begitu kata lagu di Sekolah Minggu dulu!

Untunglah gatal segera berlalu dan aku bisa melanjutkan pagi itu dengan beraktivitas.
Hal pertama yang kulakukan setelah sarapan adalah kembali membuka komputer untuk ber say hi dengan teman-teman di Indonesia melalui YM! Sesudahnya check email dan.. oh, aku baru tersadar semalam ketika aku tidur, sebuah pesan singkat datang dari Pak Acheng, mantan partner di Citraweb dulu yang masih bersahabat denganku hingga kini. Beliau mengabarkan bahwa ibu si Riza (mantan partner juga) meninggal dunia semalam di Magelang sana.

Tak menunggu lama akupun menelponnya, mengucapkan salam duka dan selesai. Tut.. tut… tut….

Selanjutnya aku melanjutkan pekerjaan yang belum selesai kemarin hingga kira-kira pukul 10.00 am karena aku harus pergi ke kantor Imigrasi di Parramatta untuk exchange visa dari yang prospective marriage menjadi spouse visa.

Setelah bergegas ke WC melakukan hajatan lalu mandi dengan cukup tergesa-gesa akupun setengah berlari-lari kecil menuju ke bus stop menanti si 601 lewat dan menjemputku. So far so good, pintu rumah telah terkunci, pintu pekarangan juga, kompor telah mati, Simba telah kuantar untuk boker supaya tak terulang lagi peristiwa boker salah tempat kemarin dan ohhhhh! SWEATER! Ya, aku kelupaan bawa sweater!

Padahal oh padahal, aku lihat di forecaster dan mencocokkan di termometer rumah bahwa suhu hari ini berkisar di angka 15 derajat celcius. Tapi terlambat untuk mengambil, 601 telah tampak batang hidungnya! Kembali ke rumah berarti menanti satu jam lagi untuk kedatangan 601 berikutnya.

Ya sudah, nekat saja. Bermodal kaos Levis dan jeans bermerk yang sama, aku menantang cuaca hari ini.

Tak sampai tiga puluh menit bus melaju dan sampailah aku di Parramatta.
Begitu turun dan brrrrrrrrrr…. duinginnya nggak ketulungan. Aku merasa seperti orang asing di tengah kerumunan orang. Hmmm seperti merasa menjadi cewek berbikini 2 pieces di Indonesia yang sedang ramai UU Pornografi, seperti menjadi orang telanjang yang masuk ke dalam Ambarrukmo Plaza di Jogja sana.

Saltum! Yak, aku salah kostum! Sementara si bule-bule yang biasa kedinginan saja pagi itu tampak bersweater dan berjaket tebal, eh lha aku yang orang Tegal Blateran Klaten van Java yang baru empat hari menginjakkan kaki di Sydney sudah berani berkaos dan celana jeans saja menghadapi suhu seekstrem itu!
Kenthir!

Tapi ya sudahlah, selanjutnya aku menyusuri jalan di terminal cepat-cepat, menyeberang ke arah Westfield, Max Brenner dan naik ke tangga atas untuk mencari gedung Imigrasi. Tak seberapa lama kemudian urusan selesai, aku diberi segepok formulir yang harus diisi dan diberi tahu untuk datang lagi secepatnya demi baiknya semua urusan yang akan kulakukan.

“Cool, thanks mate!” sapaku ke seorang berdarah India yang kuingat betul adalah orang yang kutemui enam bulan lalu di tempat itu juga.

Keluar dari Gedung Imigrasi, suhu juga tak beranjak naik dan hmm masih ada satu urusan administratif lagi yang harus kulakukan di siang yang dingin itu. Aku berjalan cepat mirip di film-film itu menuju ke Registry of BDM lagi. Kebetulan kantornya tak seramai hari kemarin, maka tak sampai 10 menit akupun terlayani dengan baik oleh seorang bule wanita muda berliontin salib. Aku mendadak heran, baru kali ini aku menemui seorang bule berkalung liontin salib. Dan kalian juga jangan mendadak heran kenapa aku jadi sok perhatian memerhatikan kalung dari seorang bule wanita…
Jangan berpikir macam-macam!

Aku segera kembali ke terminal dan menunggu 601.
Duduk di halte sementara di sebelahku ada seorang wanita tua sekitar 70 tahunan usianya.

“Kamu nunggu 604?” tanyanya
“Ah, nggak.. im waiting for 601!”
“Oh, Castle Hill?”
“Yup!” Aku mengangguk pelan. Moodku untuk bicara sebenarnya tak terlalu bagus karena aku sedang asyik masyuk chatting di mobileku dengan Yulia, sahabatku di Indonesia.

“Kenapa kamu nggak pake 604 saja?”
Halah, ini bule kenapa mendadak begini????

“Hmmm.. im not really sure.. ” Aku tersenyum tipis.
“Brapa lama kamu sudah nunggu?”
“Hmm around 40 minutes!”
“OMAIGODDD!” Dia seperti terkesiap mendengar penuturanku, entah apa yang ada di dalam benaknya yang pasti aku tak terlalu memperhatikan dengan jelas.

Ia pun berlalu dengan kegirangan ketika 604 favoritnya itu lewat. “Bye now, thanks” ia melambai ke arahku.
Akupun menjawab sekenanya. Lalu kira-kira sepuluh menit kemudian bus yang kunanti-nantikan pun datang. Tapi kali ini sungguh berbeda keberadaan fisiknya dengan bus-bus sebelumnya.
601 yang kutumpangi ini sangat old school. Tak ber AC, siku-siku yang tegas di bentuk badannya pun tak ada. Nyaris seperti bis tahun 70-an dengan tempat duduk yang tak terlalu empuk meski satu hal yang tetap kusaluti terhadap keberadaannya, bersih!

Aku pun naik dan betapa aku tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan karena meski butut, bagaimanapun juga saat-saat yang dingin menggigil seperti ini aku sangat membenci AC dan bus tua inilah jawabannya!

Sesampainya di rumah, aku cepat-cepat mengecheck ke arah Simba dan bersyukur lagi karena ia tak meninggalkan kotoran di dalam rumah. Aku pun kembali beraktivitas di depan komputer. Ya kerja, ya chatting, ya browsing, ya bales komen blog… dan ya.. kalian bisa membayangkan berapa persen waktu yang kuhabiskan untuk masing-masing hal dari itu semua.

Sore menjelang, pukul 6.00 pm telah lewat sementara matahari masih tinggi, kulongok ke arah depan dan istriku belum juga pulang. Tak lama setelah itu tiba-tiba bel pintu depan berbunyi, ada orang datang. Si Simba menyalak-nyalak tak keruan sementara aku mengintip keluar.
Ada orang berperawakan tinggi dan besar, profil mukanya orang Indonesia.

“Ye… can i help you?” teriakku dari dalam rumah.
“Ya, Pak.. saya mau antar catering!” Oo benar kataku, indonesian man!
“Oh sebentar Pak, saya ambilkan uangnya!”
Akupun bergegas ke atas mengambil dompet dan mengeluarkan uang.

“Ini Pak makanan untuk hari ini dari Bu Kristina.”
“Baik, ini uangnya ya… kembalinya sepuluh dollar!” Lalu ia merogoh sakunya mengeluarkan kembalian dan menyerahkannya padaku.

“Besok-besok kalau rumah kosong saya letakkan cateringan-nya disitu ya” ujarnya seraya menunjuk tempat di bawah pilar halaman depan.

Aku hanya mengangguk dan ia pun pergi.
Sesampainya di dapur aku melongok menu hari itu dari catering yang baru pertama kali datang itu.
Hmmm ada perkedel kentang dan soto ayam, menyenangkan.. Hidup Indonesia!

Satu jam terlewati sesudahnya dan aku mulai bosan dengan keadaan.
Akupun keluar sebentar mengajak Simba berkelana di kebun belakang. Tak apa, meski kedua tangan kulipatkan selalu ke depan dada dan bulu-bulu di permukaan kulit pada berdiri tanda mengigil, tapi demi sebuah suasana baru aku rela melakukannya.

Pukul 07.30 pm, Joyce datang.
Wajahnya tampak kusam karena kecapekan tapi jalannya tetap tegap setegap saat kami pertama kali berjumpa delapan tahun yang lampau di warnet Labyrinth, Yogyakarta.

Keberadaan yang seperti itu terus terang menimbulkan gejolak yang tak kecil di dalam hati.
Sebagai lelaki aku ingin yang lebih tampak kusam dan tampak jauh lebih lelah daripadanya.
Tapi apa daya, aku memang harus menyelesaikan urusan administrasi semuanya ini lebih dulu baru kemudian mencari pekerjaan, menggaet “sulur” yang telah disediakan Tuhan entah apapun itu lalu perlahan-lahan menghidupi keluargaku dari hasil keringatku sendiri.

Acara malam itu sebenarnya kami hendak memutar VCD kesukaan Joyce, Warkop DKI tapi rencana itu tak kesampaian. Ada segepok formulir yang harus diisi yang ternyata juga mendatangkan konsekuensi untuk mengumpulkan banyak dokumen-dokumen lainnya.

Kami berdua tak menyangka akan sebanyak itu pekerjaan untuk sekedar mengganti visa. Hingga pukul 09.30 pm urusan belum kunjung terselesaikan sementara kami telah semakin lelah.

“Yuk kita tidur dulu, kamu besok harus kerja.. Biar ini aku selesaikan besok hari!” Tanganku kuusapkan ke rambut hitamnya. Ia pun mengangguk lalu kami naik ke atas, merebahkan badan dan kutemani Joyce untuk tidur terlebih dulu.

Sementara ia telah terpejam aku masih nyalang.
Pada atap-atap kamarku yang kupandangi dan di tengah bising suara heater portable yang kunyalakan barusan, aku membayangkan sulur-sulur tarzan bertumbuhan di situ. Semakin lama semakin besar dan kuat.
Aku tersenyum pada Tuhan yang tak kunjung kasat mata! Padanya kuungkapkan syukur.. Syukur untuk semua sulur yang telah kugenggam dan akan selalu tumbuh bagiku.

Sekian hari keempat! Auououo… salam tarzan!

Sebarluaskan!

24 Komentar

  1. malesnya pasti tidur kalo dah minum CTM. Coba pake intidal OD ga bikin ngantuk soalnya bojoku minum itu.
    hmmm… Sama2 klatennya sama2 kena penyakit ndeso, biduren.

    Balas
    • Hehehehe iya jhe..
      Salam buat suami yo!

      Balas
  2. DV, saya terharu baca kisahmu, terbayang anak sulungku yang juga awalnya gamang sekali saat mau ikut isterinya, yang sedang bekerja sambil kuliah di Miami.
    Saat itu aku mendorongnya untuk berani melangkah, anggap aja seperti bulan madu ke Amrik. Dan dia dapat visa dependent, yang artinya tak boleh bekerja di Amrik. Tapi atas dorongan isteri dan ibu, dia berani melangkah. Dan bos yang di Indonesia menawarkan, dia bisa tetap mengerjakan pekerjaannya melalui internet, dan tetap ada pemasukan.
    Ternyata sulur Tuhan (istilahmu) membuat dia melangkah terus…dan disana dia akhirnya malah test untuk ambil kuliah S2 (padahal dulu di uber-uber untuk segera menyelesaiakan S1 aja susahnya minta ampun)….dan sekarang dia di Fairfield sejak awal Oktober. Ternyata seharusnya dia mengurus dulu visanya dari dependent visa jadi visa student, yang perlu waktu 90 hari. Sesuai saran lawyer dari universitasnya, dia tetap menyelesaikan kuliah CSI, pertengahan Nop ini dia balik lagi ke Miami, dan sementara menunggu pengurusan penggantian menjadi visa student, akan ambil sertifikasi programming , yang nanti bisa untuk bekal kerja. Dan bulan Maret 09 kembali lagi ke Fairfield.
    Memang melelahkan, tapi itulah proses yang harus dilewati…..Dan karena Donny belum terlalu sibuk, saya malah jadi menikmati tulisanmu. Teruslah menulis Donny, biar adikmu, dan ayah ibumu membaca di Indonesia, dan mengetahui perkembanganmu, bahwa Donny dan Joice baik-baik aja di Sidney.

    Balas
    • Ibu, boleh percaya boleh tidak, saya menangis membaca komentar Ibu.
      Bukan, bukan tangisan kesedihan tapi justru tangis haru yang membuat saya menjadi semakin teringat bahwa saya tidak sendirian.
      Tetaplah sharing di sini ibu dengan kisah-kisah indahmu, akupun menikmatinya!

      Balas
  3. Jadi ikut-ikutan kedinginan nih… ;)
    Seperti tarzan, sulurmu sebenarnya ada dimana-mana, tinggal kejelianmu, mana yang akan digapai lebih dahulu.
    Saya janji, inshaAllah bakal mengikuti kisahmu beradaptasi sampai hari ke 100, tanpa putus! Take care!

    Balas
    • Aduh Mbak Yoga, makasih atas janjinya..
      Doakan saya ya!

      Balas
  4. Hare geneh pake heater??!
    Tunggu winter!!
    hehehehehehehee….kidding! :p

    Balas
    • HUahuahuauauahuahuahua…. ini kan di Hills, Bo!
      Beda ama granville..:)

      Balas
  5. Luar biasa ulasannya Mas Donny. Seolah saya juga ikut di sana mengiringi langkah Mas Donny. Ditunggu kisah berikutnya.

    Balas
    • Trims Pak Rafki. Semua ini hanya satu bentuk perjuangan melawan lupa :)

      Balas
  6. nah, dari ceritamu wae wis konangan dab.
    bahwa wong indonesia adalah wong ampuh2.
    buktinya….berani menantang dingin di negri orang, padahal wong landhane dewe gak berani.
    terus, ampuh dalam urusan menunggu….40 minutes yang bikin landhane ohmaiGod…, buat wong indonesia adalah bukan apa2….
    hidup endonesa !

    Balas
    • Heheheh benar juga, kita ampuh karena terpaksa… :)

      Balas
  7. Sulur-sulur itu akan tetap ada, Don. Selama kita percaya bahwa akan selalu ada sulur-sulur bagi kehidupan kita.
    (rimbamu makin dalam, Dab)

    Balas
    • Terimakasih Mas!
      Yang makin dalam biasanya makin enak dan menantang.
      Doakan, selalu!

      Balas
  8. hehehe.. skarang aku kedinginan mulu, ga di kantor, di ruang kuliah, payahhh!! padahal bulan depan mau ke europe.. kumaha atuhhh?? hihihihi!!!

    Balas
  9. hehehe.. skarang aku kedinginan mulu, ga di kantor, di ruang kuliah, payahhh!! padahal bulan depan mau ke europe.. kumaha atuhhh?? hihihihi!!!

    Balas
    • Cie yang mau ke europe.. kaya juga ya kamu, Ti hehehe

      Balas
  10. ngapusi si slamet

    Balas
  11. duh, DV. gimana sih hari panas gini pake heater? gak usah disebutin atuh, kesannya gimana gitu loh. ini kan summer. :D
    kopdar ya? hihi! males ah, ntar kamu dateng-dateng pake winter coat pula. kan tengsin. *becanda*
    selamat menemukan lebih banyak sulur dalam kehidupanmu, DV.

    Balas
    • Huahuahuahuaa…
      Nggak usah banyak cingcong deh Mbak, brani kopdar atau nggak, itu aja… :)
      Ngakak guling-guling!

      Balas
  12. untunge gak cuman nggawe kaos singlet :D

    Balas
    • Hahahaha tadinya mau telanjang dada tapi takut ngelanggar UU Pornografi :)

      Balas
  13. Mas, biduren iku boso indonesane kaligata.

    Balas
    • Ouwwww.. kaligata tho..
      Wah makasih makasih…
      Tapi namanya lucu ya, sekilas mirip kayak Kalibata :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.