Berjumpa Dengan Budi

25 Mar 2008 | Cetusan

Beberapa malam yang lalu, di sebuah warung makan secara tak sengaja aku bertemu dengan seorang teman lama.
Sebut saja Budi. Aku mengenalnya lebih dari sepuluh tahun yang lampau selagi SMA. Ia bukan teman se-SMA ku tapi seingatku dulu, aku kenal dengannya dari temanku yang lain yang juga adalah temannya.
Lalu percakapan pun terjadi.

“Eh… kamu Donny tho?”

“Eh iya! Sik, sebentar… hmmm kamu Budi?”

“A-ha! Belum lupa kamu!”
Kami pun berjabat tangan.

“Hire dab[1] ?”

“Pahin![2] Lha awakmu?”

“Ya… ya apik begini hehehe! Kerja apa Mas sekarang?”
Dia diam… cuma pringas-pringis saja.

Terus terang ketika hendak menuliskan tulisan ini aku merasa kesulitan bagaimana melukiskan perubahan yang terjadi pada dirinya melalui percakapan antar kami.
Dan benar saja, aku memang gagal menggambarkan perubahan sifat kemaskulinannya dari potongan percakapan di atas.
Budi yang kukenal dulu dengan sekarang ternyata sudah berubah. Seingatku dulu dia termasuk salah satu orang keras dan kuat yang kesehariannya selalu akrab dengan gangnya tawuran, alkohol, dan seks bebas.
Tapi sekarang kok jadi kemayu[3]. Ia mengenakan tindik besar di telinga kanan. Kaosnya berwarna-warni, ngepas betul, cenderung kekecilan di badannya yang memang berotot di lengan dan dadanya tapi berlemak pula di perutnya.
Rambutnya dibiarkan cepak tapi dengan semir kuning keemasan di beberapa sisinya. Di atas rambutnya itu tadi ia selipkan sebingkai kacamata hitam yang tampak tak terlalu mahal.
Lalu kemayunya itu tampak betul sejak aku melihat cara jalannya, menatapku, kaget karena melihatku, berjabat tangan dan yang terakhir adalah gaya bicaranya yang lengkap dengan lenggak-lenggok tubuhnya dan kerlingan matanya.

Kalau saja aku punya nyali tentu sudah kutanyakan habis betul tentang semua ini.
Tapi kami sudah tak bertemu sekian lama. Bahkan untuk memanggil namanya langsung sebagai Budi dan Donny pun canggung sudah, karena usia kami yang memang sudah merambat menua ini membuat kami telah banyak belajar tata krama yang lebih advanced untuk sekedar bertanya hal-hal yang seperti itu tadi.
Tapi yang namanya ingin tahu toh tetap jadi ingin tahu. Sesuatu yang tak terbendung hingga terjawab tuntas.
Aku pun berusaha memancingnya kembali dengan bertanya dan bertanya sembari menghabiskan hidangan kami masing-masing.

“Weleh.. ditanya kok malah mringis. Tenan ini dab, sibuk apa sekarang?”
Aku berusaha menghaluskan pertanyaan kerja dengan sibuk.

“Wah ya apa aja Mas! Apa aja kukerjakan tapi sekarang sering bantu teman pameran fashion!”

“Ooo”

“Tapi nek keseharian ya aku ada di seberang situ itu lho!”
Dia menunjuk ke satu tempat.

“Ohh… di salon itu?”

“Iya… jadi kapster!”

“Ohhh.. wah besuk kalo meh potong rambut aku ke tempatmu aja brarti ya!”

“Ah, kamu… lha wong juga masih belajar kok, Mas!”
Tangannya menepuk lenganku dan matanya mengerling-ngerling ke arahku.

Aha!
Terjawab sudah, meski tak sampai bisa bertanya langsung kenapa dia bisa berubah seperti itu tapi setidaknya ada bukti-bukti yang mendukung kekomplitan hipotesaku yaitu bahwa dia telah berubah menjadi agak sedikit feminin. Entah kenapa, pria-pria yang kukenal dan memiliki sifat kemayu itu biasa bekerja di lahan seperti itu?
Meski mungkin dalam hal ini aku juga masih gamang untuk memutuskan benar tidaknya anggapanku ini karena hmmm.. mana yang lebih benar, perubahan sifat atau penggalian sifat yang justru sebenarnya tak pernah kentara sebelumnya?

Singkat kata, percakapanku dengannya pun usai setelah kami menyudahi makanan kami masing-masing.
Sembari menyerahkan kartu nama, aku pun bergegas pergi meninggalkan dia dan segala kekemayuannya itu.

Di tengah jalan aku berpikir kembali, kenapa bisa dia seperti itu? Waktu yang tak lebih dari 10 tahun toh telah benar-benar menanggalkan sifat keras dan genthonya, lalu tiba-tiba belok arah menjadi seperti sekarang.
Apa ia sudah begitu putus asanya terhadap dunia kerja lalu dia harus mengubah perilakunya untuk mendapatkan yang sekarang ia dapatkan?
Tapi apa ya mungkin proses keputusasaan itu bisa se-ekstrim itu hingga bisa mengubah seseorang seperti dia?
Kalau aku jadi dia, barangkali ketika aku putus asa, aku akan memilih menjadi debt collector atau sekalian terjun ke dunia preman mengingat “bakat” yang sudah dimilikinya? Tapi kenapa ia tak berpikir seperti aku?

Apa ia memang sebenarnya memiliki sifat seperti ini jauh sebelum kukenal tapi karena tidak adanya wahana dan lingkungan yang mengijinkan maka semuanya itu baru tampak sekarang?
Atau ia terlalu banyak menonton televisi yang sekarang seperti mengumbar pria-pria kemayu sebagai trend setter setidaknya dalam tata cara meng-MC dan bersosialisasi di depan kamera?
Ah! Aku tak tahu dan sepertinya aku memang terlalu banyak ingin tahu.

Di bilangan Timoho, satu blok menjelang kantorku dari arah selatan, terdapat sebuah spanduk besar berisi iklan sebuah majalah pria dewasa lengkap dengan gambar wanita setengah telanjang yang menarik mata.
Kurasakan ada yang berdenyut di bawah perut kian lama kian menjadi…
Ah Aku masih cukup normal sebagai pria, ternyata!

  1. Bahasa prokem khas Jogja. Dalam Bahasa Jawa berarti “Piye, Mas?” Dalam Bahasa Indonesia berarti “Bagaimana (kabarmu), Mas?”
  2. Bahasa prokem khas Jogja. Dalam Bahasa Jawa berarti “Apik!” Dalam Bahasa Indonesia berarti “Baik (Kabarnya)!”
  3. Genit
Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. berdenyut…? apaan ..? puser ?

    Balas
  2. Iye! Puser, Ndi!
    Gila loe! Sempet-sempetnya komen di blog artis kayak gue padahal sabtu loe merit :)

    Btw, gw brangkat ama si Daniel! Baek banget tuh dia, knapa loe gak merit ama dia aja sih?
    Hihihihi

    Balas
  3. Hahaha!! Itulah Don, saking baeknya aku, kurelakan dia menikah dengan orang lain… Hihihi! :-P

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.