Berpartisipasi untuk tetap mengawetkan bumi sebagai planet yang layak ditinggali barangkali adalah demikian…
Lebih dari satu dekade aku mengukuhkan diri sebagai orang yang harus mencukupi hidupnya melalui singgungan dengan dunia komputer dan internet. Selama itu, jika dirata-rata barangkali tak kurang dari setengah waktu per hari kuhabiskan dengan jalan bekerja di depan layar komputer. Ada begitu banyak hal yang harus kukerjakan di situ. Mulai dari pekerjaan hingga hiburan pun terkadang cukup bisa terpenuhi hanya dengan memandang dan mengamati informasi-informasi yang bersliweran di layar komputer.
Namun meski demikian, satu hal yang sejak dulu tak bisa kuatasi hanya dengan menggunakan layar komputer adalah ketika aku perlu membaca detail sebuah dokumen.
Bagi kalian yang pernah kuliah Teknik Informatika dan ingat tentang mata kuliah Pengantar Ilmu Komputer barangkali ingat betapa kebanyakan dari kita hanya bisa membaca scanning di layar komputer dan demikianlah halnya denganku.
Misalnya ketika butuh membaca email yang panjang lagi penting, aku dengan spontan langsung memencet tombol Ctrl+P untuk mencetaknya dalam format kertas, membacanya lalu kalau perlu memberi bubuhan ini itu di atas kertas menggunakan pensil ataupun pena.
Belum lagi ketika mengunduh ebook dan membacanya. Namanya saja ebook, tapi pada kenyataannya, ia menjadi buku yang sebenarnya yang lantas kucetak dan kubaca.
Kenapa bisa demikian?
Jauh dari segala teori yang pernah kupelajari, pada dasarnya aku merasa bahwa ketika aku menggenggam kertas dan membaca tulisan yang dicetak adalah lebih ‘meyakinkan’ ketimbang hanya memelototi screen layar dan membaca di sana.
Ini memang menyangkut pola kebiasaan; menyangkut tentang apa yang kita dapat dan pelajari pada awal kita bertumbuh. Aku, dan sebagian besar dari kita, tumbuh pada masa dimana kertas telah dapat diproduksi dengan mudah dan murah dan kita terbiasa dimanja oleh keadaan tersebut. Sehingga, ketika datang sebuah era baru dengan teknologi terbaru ditambah lagi dengan concern yang semakin meninggi menyangkut konservasi alam yang menuntut kita untuk beralih dari ketergantungan terhadap sesuatu ke suatu yang lain, dalam hal ini kertas ke layar monitor, kita cenderung gagap menanggapinya.
Aku berharap kebiasaan ‘buruk’ ini akan semakin terkikis dalam diri kita serta terlebih pada mereka, manusia-manusia yang baru akan dewasa sekitar 10-20 tahun lagi.
Aku tak bisa membayangkan jika anak-anak generasi Odi, anakku, nanti masih juga harus mencetak email ataupun ebook maka harus ada berapa juta pohon yang harus ditebang untuk diproses menjadi kertas hanya demi kenyamanan dan atas nama kebiasaan yang telah uzur usianya itu? Anak-anak, bagaimanapun juga harus dibiasakan untuk melakukan interaksi dengan layar komputer sebanyak mungkin dan perlahan-lahan melupakan bahwa kertas adalah media yang baik untuk dibubuhi tulisan dan dibaca. Mereka harus mengubah pola pandang bahwa pohon adalah makhluk hidup yang bisa membantu kita lebih pada bagaimana membantu menciptakan lingkungan hidup yang layak ketimbang sebuah bahan baku untuk kepentingan-kepentingan pribadi kita seperti misalnya untuk keperluan properti, furniture dan kertas itu tadi.
Jadi, please, stop bagi kalian yang barangkali sudah tak sabar mencetak postingan ini untuk dibaca dan jadi teman tidur… :) *eh emang ada?
Kalimat penutupnya asik juga.
Kebetulan baru saja saya menerima email yang berisi file jadwal perkuliahan semester baru. Tadi sempat juga berniat mencetak file excel tersebut karena agak ribet juga melihatnya di komputer. Tapi saya urungkan niat itu, saya lantas pencet Ctrl+F saja dan masukkan inisial saya untuk mengetahui di kelas mana saya harus mengajar nanti.
Kalau saya malah biasanya memasukan di Google Doc :) itu sih dulu sekarang …hhmm kadang catet di notes kadang via iPad aja liatnya
Kasihan orang-orang yang jauh dari akses komputer, Om. Kalau kertas masih dapat didaur ulang, rasanya masih baik-baik saja, Om. Tapi, memang ketika pohon ditebang perlu diadakan reboisasi berkelanjutan sehingga tak ada jeda kehilangan “kehijauan”.
Salam kekerabatan.
Aku penikmat membaca buku yang bener-bener buku… sekumpulan kertas bercetak dan dijilid itu…
aku belum pernah nyetak/ngeprint e-book.. dan sejujurnya aku nggak bisa membayangkan 20 tahun lagi aku harus membaca buku melalui layar komputer.. lha wong sekarang aja kelamaan melototin layar komputer mata udah terasa pedih je… kalau saat itu nanti masih ada buku yang konvensional, barangkali aku akan tetep milih buku (semoga saat itu sudah ditemukan pengganti kertas yg ramah lingkungan dan nggk perlu membabat hutan …)
Alternativenya kalau ada buku ya biarlah membuku, kalau ebook ya STOP mencetak dokumen digital :)… menurut ku lho
Ia mas DV, ini soal kebiasaan aku pun dulu begitu demennya CTRL + P
sekarang sejak hadir punya iPad jadi terkurangi. Jadi lebih seringnya transfer data via iTunes.. :))
Sama sepertimu mas, aku juga lebih senang membaca ebook yang sudah ku print. Tapi sejak 3 tahun belakangan ini aku selalu meng warning diri sendiri ketika ingin memencet Ctrl+P perlu gak? jadi sekarang lebih terbiasa melototin email yang panjang2 atau ebook dengan script2 yang menyebalkan bahkan kurang titik satu pun systemku gak jalan :D
well semua hanya masalah kebiasaan sebenarnya, satu kebiasaan yang harus kulakukan adalah ngeprint Timesheet hahahaha…*ini mah harus kale!*
Aku ga bisa menikmati membaca buku di komputer karena bukunya tak bisa dipeluk.
Membaca buku yang asyik adalah sambil memeluk guuling dengan latar belakang lagu yang sayup2 terdengar di radio…..atau sambil duduk di ruang keluarga yang sepi….
Lagipula pusing Don kalau baca buku di kompie, apalagi mata tua begini
kalau sudah depan monitor maunya keluyuran online mas, …
jadi kalau mau baca (“yg lebih serius gitu”), yaa saya print dulu.
masalah kebiasaan memang …
aku gak bisa baca lama2 di kompi takut pake kacamata ntar..secara gitu kerjaan saya juga teng manteng kompi mulu..jadi maaf masih suka saya print tuh..
gw dulu sering kek gitu. banyak yang dicetak. habis baca, buang begitu saja.
sekarang, udah hampir gak pernah. termasuk lirik lagu :D
yah kalo sampean ora nyading printer koyo aku yo ora nyetak mas tur yo aku ra nduwe sih hehehe dadi moco nang komputer wis cukup
piye kabare buah hati …. semakin sehat lan wis pinter opo sak iki kapan mulih jogja … kangen ra sampean mas
iya nih. saya jadi malu.. namanya doang e-book, tapi tetep aja kadang2 di print (biarpun cuma bagian tertentunya). abisnya susah, baaangg…
lagian si dokumen tercetak itu punya satu kelebihan yang tidak dimiliki dokumen digital, yaitu: bisa dibaca saat mati lampu (terutama klo mati lampunya siang hari).
eh.. selain itu buku kan bisa dibawa goler2, atau naik kereta, atau ke mana aja, tanpa khawatir batrenya abis ;)
Don kenapa gak beli gadget khusus utk baca e-book aja?
Beberapa tahun belakangan saya justru lebih suka baca produk digital. lebih simple dan efisien .
Beberapa minggu yang lalu saya baca statistik keuntungan koran, katanya menurun karna para pembaca mereka sudah beralih ke situs digital macam detik.com . Sebenarnya ada takutnya juga sih, karna walaupun sangat menymbut produk digital dengan positif, saya juga masih ingin Buku konservatif tetap eksis.
Bagus neh…informasi-informasinya, bisa nambah info ane, thank you. bro.