Berharap pada titik normal yang baru, akan setidak normal apakah hal itu?

13 Mei 2020 | Kabar Baik

Salah satu hal yang paling kerap kudengar dari pengalaman kita bersama mengarungi badai pandemik COVID19 ini adalah tentang ?normal yang baru.?

Berharap normal yang baru

Sebelum pandemik kita memiliki dan menikmati ?kenormalan? kita. Tiba-tiba karena COVID19, kita harus diam di rumah, tak boleh ini, nggak boleh begitu. Banyak pekerjaan hilang, tak terhitung kerugian demi kerugian yang coba dikalkulasikan. Dan akhirnya dalam kegamangan ini kita berharap pada satu bentuk kenormalan yang baru. 

Kenormalan yang mewujud karena pandemik dan barangkali karena kita sudah terbiasa dengan ketidaknormalan ini dan menganggapnya jadi suatu normal yang baru!

Adakah hal itu salah? Tidak!

Kenormalan dan kemampuan kita beradaptasi

Menurutku ini justru menunjukkan betapa besarnya kuasa Tuhan dalam menganugerahi kita dengan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika kita sudah bisa beradaptasi terhadap satu hal yang baru, itulah kenormalan kita selanjutnya!

Setelah sekian lamanya aku selalu pacaran jarak dekat, untuk pertama kalinya, pada awal 2001 silam, aku dan pacar baruku waktu itu itu memutuskan menjalani hubungan jarak jauh. Aku di Jogja, dia di Australia.

Kalau semula dengan pacar-pacar sebelumnya yang satu kota, aku sangat mudah untuk bertemu mau setiap hari, seminggu sekali tapi kali itu, karena jarak yang membentang, pertemuan hanya bisa terjadi sekali dalam setahun. Itupun kadang tak pasti! Hubungan kami isi dengan berkomunikasi lewat SMS, telepon atau chatting baik melalui mIRC (aplikasi chatting jaman dulu) atau Yahoo Messenger.

Awalnya tentu berat.?
Apalagi kalau rasa kangen datang tanpa undangan! Apalagi kalau pas lagi di jalan melihat kawan berboncengan dengan pacar. Malam minggu sepi, makan di warung sendirian, ke Gereja pun tak ada yang bisa digandeng.

Kawan-kawanku waktu itu banyak yang mengusulkan aku supaya cari aja yang dekat! ?Ngapain jauh-jauh? Yang dekat pasti banyak kok yang mau denganmu!? begitu ujar mereka.

Tapi lama-kelamaan semua jadi kebiasaan.

Menikmati kenormalan yang baru

Bukan karena aku sok kuat. Bukan karena aku tak percaya pada pandangan mereka bahwa ada banyak cewek yang mau denganku (uhuk!) tapi tentu selain karena mencintai pacarku, aku merasa nyaman dengan ?kenormalan? baru tersebut. Normal untuk tidak memboncengkan siapa-siapa pada malam minggu, normal untuk tidak menggandeng siapa-siapa saat ke gereja dan?normal-normal? lainnya.

Malah aku begitu menikmati ?kenormalan baru? itu! Aku bisa punya begitu banyak waktu luang untuk mengembangkan hobiku, merawat pertemanan dengan banyak kawan dan bebas mau pergi ke mana saja! Di bagian yang akhir ini, aku justru sering mengolok-olok kawanku yang selalu tak bisa kuajak pergi main-main pada malam minggu dengan alasan ?pacaran.?

Kawan,
kita punya cara pandang yang berbeda tentang apa itu normal. Di mata orang yang punya persepsi berbeda, kita ini tidak normal dan demikian juga sebaliknya.?

Di mata kehidupan sebelum pandemik, apa yang kita lakukan saat ini dengan banyak melakukan social distancing adalah satu hal yang tidak normal. Tapi andaikan social distancing dan banyak standard baru lain terkait pandemik ini jadi sesuatu yang harus kita lakukan dalam jangka waktu yang lama, bagi anak-anak yang lahir setelah pandemik, ketika mereka kita beritahu bagaimana interaksi dan kehidupan sebelum pandemik, di mata mereka, barangkali kitalah yang justru dianggap tidak normal!

Perubahan normal yang tidak menyenangkan

Lalu apa yang harus kita khawatirkan tentang perjalanan menuju kepada titik normal yang baru karena pandemik ini?

Tepat dugaanmu! Titik-titik perubahan! Perubahan itu tidak menyenangkan! Kenapa? Karena kita harus mengeluarkan tenaga dan perhatian untuk berubah! Karena kita tidak tahu seperti apa dan sampai kapan kita harus berubah menyesuaikan untuk pada akhirnya menuju pada satu normal yang baru! 

Bicara tentang hal-hal yang harus disesuaikan dan hal-hal yang tidak kita ketahui, aku tertarik mengutip apa yang jadi pesan Kabar Baik hari ini. Seperti ditulis Yohanes, Yesus berkata bahwa setiap ranting yang tidak berbuah, dipotong! Setiap ranting yang berbuah, dibersihkan supaya ia lebih banyak berbuah lagi.(lih. Yoh 15:2)

Hidup kita adalah pohon itu dan saat ini Tuhan sedang mempercantik pohon kita! Membuang bagian yang menurutnya tak membuahkan dan membersihkan yang berbuah supaya lebih lebat lagi.

Pandemik ini menyesakkan tapi dalam kerangka iman kita kepadaNya, kita percaya pada akhirnya nanti kita bisa melihat dan hidup dalam kenormalan demi kenormalan baru yang sedang dikerjakanNya.

Berlandaskan iman terhadap Tuhan, kita tak lagi bertanya akan sejauh apa pandemik ini mengoyak dan membahayakan hidup kita. Pertanyaan justru sebaliknya, masih kurang percaya apa kepadaNya karena Tuhan selalu ada dan menjaga dalam sejarah hidup manusia seberapapun jauh kita mengarungi kenormalan demi kenormalan yang terjadi dan berlalu di masa silam?

Semoga tulisan ini menguatkan di saat kita begitu lelah terhadap banyak pemberitaan yang melelahkan!

Sydney, 13 Mei 2020

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Secara umum, manusia termasuk makhluk yang adaptif. Itulah cara untuk bertahan hidup selain makan, minum, berkelahi (kalau purba ya fisik melulu), dan berkompromi. ?

    Balas
    • Welcome back, Paman!!! :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.