Berbohong secara konsisten

15 Jun 2022 | Cetusan

Berbohong itu membutuhkan konsistensi meski kalau bisa jangan konsisten dalam berbohong karena membangun konsistensi untuk setiap kebohongan itu melelahkan!

Waktu SMA dulu hampir tiap malam minggu aku berbohong pada pacarku, pacar pertamaku. Dia tinggal di asrama yang mengharuskanku mengembalikannya sekitar  jam 6:30 sore! Padahal kan kalian tahu sendiri di sekitaran jam itu bahkan matahari pun masih sok jumawa dengan memendarkan jingga seolah nggak mau kalah pada kelam yang datang merangkai malam!

Awalnya nggak suka, malam mingguan kok jadi sabtu sorean! Tapi lama-kelamaan aku merasa asyik karena mengembalikan pacar di sore hari berarti bisa menikmati malam minggu lebih panjang lagi bersama teman-teman! Ahay!

Pacarku bilang aku harus pulang tapi nyatanya aku tak pernah pulang. Aku pergi ke arah selatan asrama hanya seratus lima puluh meter jauhnya untuk nongkrong semalam-malaman dengan anak-anak kampung sekitar asrama.

Kenapa aku nggak jujur saja?
Karena pacarku nggak suka aku nongkrong bersama mereka. Nongkrong berarti main gaple, minum alkohol dan mabuk-mabukan. Satu-satunya hal positif hanyalah main gitar karena pacarku suka ketika mendengarkanku bermain gitar. Eh tapi ya jadinya nggak suka juga sih karena main gitarnya nggak di depan dia…

Jam tiga pagi biasanya aku baru tidur numpang di rumah teman.Empat jam kemudian bangun dengan kepala berat karena sisa alkohol, numpang mandi dan gosok gigi lalu menjemput pacar untuk ikut perayaan ekaristi jam 8:30 pagi di Gereja Kotabaru.

“Semalam kamu nyampe kost jam berapa?” tanyanya ngecheck di atas sepeda motor.

“Hmmm nggak lama, jalan gak terlalu macet, jam tujuh udah parkir di kostan…” jawabku ringan.

“Trus ngapain aja di kost?” tanyanya lagi.

“Yaaaa… dengerin radio, jam sembilan Mama telpon trus jam sepuluh aku udah tidur…”

“Doa malam nggak?”

“Ya iyalah… masa enggak…”

Pegangannya ke pinggangku makin kencang. Tanda dia percaya pada ceritaku… 

Cerita itu selalu kuulang seperti sebuah litani dan secara otomatis konsistensi terbangun dalam diriku bahwa setiap malam minggu aku nggak pernah nongkrong bareng anak-anak kampung setempat. Bahwa aku gak pernah minum alkohol. Bahwa aku gak pernah genjrengan gitar bareng mereka dan melakukan hal-hal silly things yang nggak patut kuceritakan di sini seluruhnya hehehe…

Bahwa aku… aku setelah ngapel ya pulang ke kost. Puter radio. Cuci kaki. Doa. Tidur…

Lalu kenapa aku tiba-tiba bikin tulisan dengan tema ini? 

Karena ada beberapa kawan lain yang-nggak-punya-akun-facebook-jadi-gak-usah-kepo-njing yang sayangnya tidak jago dalam berbohong karena gagal membangun konsistensi cerita.

Misalnya ada yang bilang kepadaku tentang dimana ia dulu tinggal.

“Aku dulu SMA di Jogja sama kayak kamu, Don! Sekolahnya aja yang beda…”

Tapi lain waktu dia bercerita, “Dulu waktu SMA, sepulang sekolah aku pergi ke mall sama temen-temen trus baliknya mampir beli Mekdi di Sarinah… lawas banget ya hahaha!”

You’re right! Mana ada Sarinah di Jogja?
Trus tampangnya memucat karena tersadar dia salah menyusun cerita. 

Kunci berbohong menurutku adalah dengan membangun kenyataan baru dalam pikiran yang berbeda sama sekali dari kenyataan yang terjadi di alam nyata. Namanya juga membangun kenyataan ya harus lengkap tentang siapa saja yang ada di sana, kapan, di mana, bagaimana dan tetek bengek lainnya.

Jadi misalnya seperti kawanku tadi. 
Kalau mau mengaku sekolah di Jogja ya dia harus membangun kenyataan dalam pikiran bagaimana sih rasanya sekolah di Jogja itu? Apa saja kegiatan yang dilakukan setelah sekolah? Nama-nama tempat? Berapa harga makanan dan minuman di sana waktu itu? Hal-hal yang terjadi saat itu? Siapa saja kawan yang diajak main atau siapa saja kawan yang jangan sampai disebutkan karena dia adalah common friend dariku dan kalau aku tanya ke dia maka akan hancurleburlah kebohongannya, dan lain-lainnya.. pokoknya harus super detail.

Dan itu bukan akhir dari segalanya. Ketika sudah bisa membangun kenyataan dalam pikir kita harus mulai menggunakannya sebagai landasan bercerita dan menghilangkan kenyataan yang sebenarnya terjadi yang hendak kita tutupi.

Capek ya?
Iya! Oleh karena itulah, oleh karena kecapekan yang kualami, akhirnya aku memutuskan untuk pelan-pelan berhenti berbohong. 

Jadi seperti yang kubilang di atas, berbohong itu membutuhkan konsistensi meski kalau bisa jangan konsisten berbohong karena membangun konsistensi dalam satu kebohongan itu melelahkan!

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Agar kebohongan tidak terungkap, perlu ditutup-tutupi dengan kebohongan yang lain. Suwe-suwe yo kesel, Mas! :))

    Balas
    • Lha yo kuwi, investasi kejujuran itu penting untuk menghajar utang bohong ya haha

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.