• Skip to primary navigation
  • Skip to main content

Donny Verdian

superblogger indonesia

  • Depan
  • Tentang
  • Arsip Tulisan
  • Kontak

Berapa Denda Membuang Sampah di Australia?

9 Juni 2009 53 Komentar

1

Tulisan menyoal sampah beberapa waktu lalu membuatku senang karena meski tak dikomentari banyak orang, beberapa yang masuk kupikir bukanlah komentar sampah namun sebaliknya; sangat baik dan ikut membangun-menguatkan konten yang kutulis.

Salah satunya adalah dari sobat lamaku, Krismariana.
Editor lepas yang setahun lalu hijrah dari Jogja ke Jakarta itu menyarankanku untuk menulis lanjutan soal penanganan sampah di Australia dengan satu cakupan yang lebih ketat yaitu denda. Akupun lantas menyisihkan waktu beberapa lama untuk sekadar mencari bahan dan memikirkan bagaimana cara menuliskan ke dalam artikel ini. (tenan iki Kris, ora ngapusi hehehe…)

Dari hasil surfing di internet, aku mendapati begitu banyak aturan tentang sampah di negeri ini.
Penanganan sampah di sini merupakan urusan dari pemerintahan state (negara bagian) yang langsung dikerjakan dan disesuaikan oleh masing-masing council (setingkat kecamatan). Jadi bisa saja aturan yang mengikat di council yang satu berbeda dengan council yang lain. Beruntung aku mendapat link di sini yang cukup jelas dan sepertinya menjadi tolok ukur bagi semua council di NSW (New South Wales — negara bagianku) untuk menentukan bagaimana penanganan pembuangan sampah itu.

Kalau kita amati betul-betul dokumen singkat itu, ada beberapa pokok denda yang harus dibayarkan tanpa melalui pengadilan apabila kita ketahuan melakukan pelanggaran.

Denda bagi orang yang membuang sampah sembarangan adalah 375 AUD atau 750 AUD untuk perusahaan.
Sementara itu, denda untuk membuang sampah ke tempat-tempat seperti tepian jalan ataupun hutan-hutan kecil (bush) adalah 1500 AUD untuk perorangan dan 5000 AUD untuk perusahaan.

Nilai uang itu juga bakalan bisa naik lagi kalau kita tidak terima dengan tuduhan lantas memejahijaukan pemerintah council ke pengadilan.

Sekilas tata aturan itu hampir sama di semua negara, bukan?
Ada aturan, ada sanksi dan ada ekskalasi denda dari pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Permasalahannya sekarang adalah, apakah aturan beserta denda tersebut benar-benar dilakukan atau tidak?

Di Australia, jawabanku adalah tidak selalu!

Kenapa demikian, karena kalau memang benar-benar sudah dilaksanakan semua pasti sudah benar-benar tidak akan kutemui puntung rokok ataupun gundukan sampah lain di beberapa tempat di sini. Kalau dilaksanakan benar-benar, maka yang bakalan jadi pertanyaan balikku adalah dengan sistem seperti apa pemerintah bisa mendeteksi setiap ceceran sampah yang tak terbuang ditempat yang semestinya sekaligus bagaimana pula mendeteksi siapa pembuangnya? Memasang kamera di setiap tempat? Bisa jadi akan membantu meringankan tapi tak mengatasi seluruh detail areal publik yang ada bukan?

Lalu kalau demikian, apa bedanya dengan negara lain?
Bedanya adalah pada nilai komitmen dan konsistensi dari manusianya serta evaluasi dari pemerintah terkait dengan tata aturan yang sedang dijalankan.

Seperti yang kubilang pada postingan sebelumnya, kwalitas mental manusia adalah yang terutama.
Optimalisasi penggunaan media untuk menularkan virus kebersihan dan bahaya sampah seperti televisi, buku, radio, internet, pelajaran-pelajaran di sekolah hingga pesan-pesan moral di bungkus kemasan produk yang dijual sangat kentara diberlakukan di sini. Pemerintah dan lembaga swadaya non pemerintah mengajak masyarakat untuk melek dan diingatkan terus menerus untuk selalu konsisten terhadap komitmen pemeliharaan lingkungan dan sampah.

Sementara evaluasi adalah tentang bagaimana pemerintah mampu melihat indikasi kegagalan/keberhasilan ataupun stagnasi dari pelaksanaan aturan yang ada. Dalam hal sampah, parameter-parameter keberhasilannya tentu bisa dilihat dari seberapa banyak sampah yang terbuang pada tempatnya dan yang tidak, berapa angka kegagalan penanganan sampah dan lain sebagainya.

Nah, kalau sudah demikian, ketika konstruksi tata penanganan sampah sudah sedemikian kuat, bukankah denda pada akhirnya hanyalah penjaga gawang terakhir dari sebuah proses dan persoalan ketika semua jalan sudah tak mampu membendung lagi?

Semua lantas menjadi lebih mudah.
Pemerintah bisa mengirit uang untuk penanganan kerusakan lingkungan dan kerugian lainnya akibat sampah, dan penduduk seperti aku pun bisa tetap membelanjakan uangnya untuk hal-hal lainnya tanpa harus was-was membayar denda yang aujubilah besarnya itu!

Sebarluaskan!

Ditempatkan di bawah: Australia, Cetusan

Tentang Donny Verdian

DV, Superblogger Indonesia. Ngeblog sejak Februari 2002, bertahan hingga kini. Baca profil selengkapnya di sini

Reader Interactions

Komentar

  1. samsul arifin mengatakan

    9 Juni 2009 pada 7:56 pm

    Lalu kalau demikian, apa bedanya dengan negara lain?
    Bedanya adalah pada nilai komitmen dan konsistensi dari manusianya serta evaluasi dari pemerintah terkait dengan tata aturan yang sedang dijalankan.

    Indonesia payah dalam hal ini. Aku jadi bingung sendiri sebenarnya. Dengan rendahnya kesadaran sebagian besar penduduk Indonesia dalam membuang sampah ini, aku seringkali “ikut2an”. Padahal dulu aku malu kalau membuang sampah sembarangan. Kalau habis makan permen, bungkusnya tak bela2in masuk sakuku dulu sebelum masuk tong sampah. Huh!!

    Balas
    • DV mengatakan

      9 Juni 2009 pada 7:56 pm

      Itulah, Mas…
      Semua berawal dari lingkungan yang akhirnya malah mengubah niat baik kita ya :)

      Balas
  2. femi mengatakan

    9 Juni 2009 pada 8:43 pm

    Betul, denda adalah pengamanan terakhir. Seharusnya memang semua sosialisasi atau campaign yang ada menunjukkan tujuan dari peraturan itu sendiri (bukan hanya larangan buang sampah, termasuk larangan merokok, larangan lalu lintas, dll) bukan malah menonjolkan dendanya. Kalau menunjukkan denda sebenarnya secara psikologis malah akan membuat orang melakukannya secara sembunyi-sembunyi (lama-lama jadi terang-terangan karena ngerasa mampu bayar denda, paling tidak mampu buat nyogok). Yang harus dibina sebenarnya mental disiplin untuk urusan seperti ini. Ironisnya di negara yang kata orang ramah dan tidak egosentris seperti negara maju (baca : Amrik, Ausie, Singapore yang di Asia) malah mental disiplinnya kurang sekali padahal ya kalau tidak disiplin itu kan berarti sangat mengganggu kepentingan orang lain. Sebaliknya di negara maju yang serba tidak mementingkan remeh temeh alias individualitis justru mengagungkan disiplin sebagai salah satu bentuk keperdulian mereka terhadap kepentingan bersama dan kelangsungan lingkungan. Ironis tetapi ya demikianlah adanya. Berarti kualitas mental manusia di negara individualis mungkin memang lebih mantap ya hehehe… Secara semua tidak boleh sembarangan gitu loh daripada harus malu dilihat orang beda sendiri alias serampangan sendiri

    Balas
    • DV mengatakan

      9 Juni 2009 pada 8:43 pm

      Semoga menjadi kesimpulan… yaitu mentalitas ya..:)

      Balas
  3. Ayu mengatakan

    10 Juni 2009 pada 4:45 am

    Wah kalo urusan sampah, orang Jerman itu World Master dalam hal ngurusin sampah.
    Tiap kota juga ada aturan sendiri2. Ini ngomongin sampah rumah tangga yah.Misalnya di Frankfurt hanya ada 3 tong kayak di tempatmu skrg (aku hbs baca artikel sebelumnya), tapi di Bad Nauheim tempat tinggalku sblm pindah ke Budapest ada 4 : utk sisa makanan (organic), paper, sampah yg bisa di daur ulang dan sampah sisa. Belum termasuk sampah khusus utk peralatan listrik, besi, meja kursi dll (pusing deh pokoke)
    Dan Bad Nauheim kotanya bersihhhhhhhh banget, aku juga sering liat orang ambil kotoran anjingnya dan buang ke tempat sampah khusus utk kotoran anjing, jadi jalan2 sudah bawa plastik sampah.
    Aku rasa bisa jalan bukan krn dendanya tapi karena tingkat kesadaran manusianya sudah tinggi. Ya kayak kamu pas di food court liat anak kecil bersihin baki makanan kan jadi sungkan, nah di sini juga begitu. Selain itu biasanya ada yg negur kalo sembarangan, entah tetangga entah orang lewat :)
    Di Frankfurt aja belum begitu sadar, masih banyak sampah yg dicampur tp krn kota besar orang2nya cuek…jadi ya begitulah….gak ada rasa sungkan kali jadinya ya?
    Belum lama ini aku liat reportage di USA mereka udah ada mesin untuk memisahkan sampah… jadi praktis buat kita semua sampah jadi satu yg misahin nanti mesin.
    Di Jerman sedang jadi bahan diskusi nih ..masalah sampah. Karena kita bener2 banyak menghabiskan waktu utk misah2in sampah. Dan juga bingung karena kode bungkus macem2 bikin bingung orang ini termasuk kategori sampah yg mana dan pada akhirnya jadi salah buang.Jadi mendingan dihapus aja, toh technologi skrg sudah canggih.
    Kalau di Budapest, gak beda jauh sama di Indo. Sampah gak dipisah, pada buang sembarangan juga …aku rasa krn ada pikiran: toh ada yg bersihin ini.Tiap pagi masih ada yg nyapu jalanan kayak di Indo, masih manual gitu pake sapu..gak pake mesin…pertama liat sempet kasian …tp skrg udah biasa ;)
    Yang jelas karena tempat tinggalku termasuk daerah turis, jadi lumayan bersih deh. Untung deh, anakku awalnya gak betah je disini..regete pol jarene kayak Jakarta hihihi ;)

    Balas
    • DV mengatakan

      10 Juni 2009 pada 4:45 am

      Ah, di sini orang jalan-jalan bawa anjing juga bawa kantong plastik untuk njagain kalau anjingnya berak sembarangan :)
      Yang repot kalau pas anjingnya mencret hahahaa :)

      Balas
  4. DM mengatakan

    9 Juni 2009 pada 10:31 pm

    Tepat! Mau di Klaten, mau di Sydney, mau di New Yorkartohadiningrat, mau di Timbuktu, tetap: manusianya.
    Di Indonesia, toh tetap ada peraturan, entah perda, entah apa, dsb. Tapi masyarakat dan punggawa kerajaan kadang ya sama saja.
    Peraturan masih jadi sekadar peraturan. Denda menjadi sekadar dongeng sahibul hikayat. Belum persoalan TPA yang masih jadi persoalan di banyak kota (piye ning kono, Su?).

    Balas
    • DV mengatakan

      9 Juni 2009 pada 10:31 pm

      Lho, sik.. sik.. sik… aku takjub jhe kok tumben-tumbennya kamu komentar serius di blog abal-abalku ini :)
      Nganu Dan, yang patut kita banggai adalah, TPA di Indonesia bisa jadi tempat deklarasi pasangan capres-cawapres hahaha :)

      Balas
  5. DM mengatakan

    10 Juni 2009 pada 12:52 am

    @DV:
    Bantar Gebang?
    Halah-halah, Su… Manajemen kesan aja itu. Jangan tercuri hatimu. Hati kita! Hihihi.

    Balas
    • DV mengatakan

      10 Juni 2009 pada 12:52 am

      Aku nggak tercuri oleh pencuri-pencuri itu, Kawan ;)
      Aku cuma mau mencontohkan betapa “kreatifnya” kita :)
      Iya kan.. huahuahua :)

      Balas
  6. Luigi mengatakan

    10 Juni 2009 pada 11:14 am

    Selain manusia-nya, ya pemerintahnya gak bisa setengah hati dalam menegakkan (enforcement) peraturan yang sudah ditetapkannya..

    Balas
    • DV mengatakan

      10 Juni 2009 pada 11:14 am

      Pemerintah kan juga komponennya manusia, Mas..:) Jadi tetap pada kualitasnya tho :)

      Balas
  7. Eka Situmorang - Sir mengatakan

    10 Juni 2009 pada 4:19 am

    Kualitas manusianya yang beda ya ?
    Makanya Mas DV
    pulango ke Indonesia
    dibangun gitu lho negarane
    :p

    Balas
    • DV mengatakan

      10 Juni 2009 pada 4:19 am

      Pulang? Emoh, lha kamu masih tinggal disitu :)
      Aku mau pulang kalau kamu mau dinikahi anggota DPR itu dan ngasi gaji dollar ke akyu :)
      Hauahahaha!

      Balas
  8. sawali tuhusetya mengatakan

    10 Juni 2009 pada 10:24 am

    membuang sampah sepertinya sudah menjadi bagian dari lutur masyarakatnya, mas don. betapa susahnya mengubah kultur yang mewaris secara turun-temurun. entah, berapa generasi lagi bangsa kita bisa menumbuhkan kesadaran budaya bersih.

    Balas
    • DV mengatakan

      10 Juni 2009 pada 10:24 am

      Kita harus mulai dari sekarang, Pak. Yuk!

      Balas
  9. edratna mengatakan

    10 Juni 2009 pada 9:01 pm

    Saat sempat mendapat tugas seminar ke Brisbane, sekaligus mengunjungi anakku, saya jalan-jalan sendiri ke museum (anakku kuliah), melihat pemutaran film tentang kota Brisbane. Ternyata saat tahun 80 an, kota Brisbane (terlihat dari foto2nya) masih banjir, dan belum sebersih saat saya ke sana. Hal ini dikuatkan juga oleh Ms Valma, temapat anakku kost. Dan yang bergerak kaum mudanya, dan disiplin ini terus diomongkan, diawasi, dan dimonitor…menjadikan kota Brisbane indah dan bersih.
    Setiap hari, selama 10 hari disana, setiap pagi saya memandang melalui jendela Stamfort Hotel, sungai yang bersih beserta Citicat (perahu) yang mondar mandir melayani penumpang. Benar2 tak terbayangkan jika dulunya suka banjir dan kotor.
    Jadi…sebetulnya kita bisa kan, asal semuanya mau menyingsingkan lengan, dan pemerintahannya tegas serta memberi contoh dalam pelaksanaan nya sehari-hari

    Balas
    • DV mengatakan

      10 Juni 2009 pada 9:01 pm

      Betul Bu, itu intinya, “Jadi sebetulnya kita bisa” :)
      Semoga memang “betul-betul” dalam arti implementasi ya…:)

      Balas
  10. Dian mengatakan

    11 Juni 2009 pada 7:06 am

    Bener. Komitmen paling penting mas. Sayangnya sebagian besar orang merasa kalau sampah itu masalah kecil yang nggak perlu komitmen sampe segitunya.
    Lha wong komitmen sama hal yang besar saja masih sering pada luput kok.
    Halah! malah curhat.

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 7:06 am

      Hehehehe, terkadang sebuah negara membentuk karakter apatis dan terlalu menjeneralisasi permasalahan :)

      Balas
  11. arikaka mengatakan

    11 Juni 2009 pada 1:26 pm

    saya mau introspeksi aja deh ke doiri saya..
    masih suka serambangan soale..
    .. ;P

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 1:26 pm

      Sip, hal yang terbaik adalah tidak menyalahkan, tapi mulai saat ini juga untuk melakukan yang terbaik!

      Balas
  12. anderson mengatakan

    11 Juni 2009 pada 5:00 am

    Bro, kalo di Indonesia masalahnya dah kompleks dengan inti persoalan tetap pada manusianya. Okelah kita kasih denda tinggi supaya orang-orang itu jera membuang sampah sembarangan. Nah, waktu ada yang tertangkap tangan dan akan didenda, hakim yang mutusin perkaranya nawarin damai. Trus dendanya ngga jadi, trus hakimnya dapat uang damai. Gitu deh… teteup aja manusia nya yang jadi masalah utama. Nice topic Bro…

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 5:00 am

      Betul Bro! Dan nggak cuma di Indonesia saja kok, dimanapun itu…

      Balas
  13. frozzy mengatakan

    11 Juni 2009 pada 5:58 am

    Di Jakrta, saya mulai lihat di tempat2 umum tempah sampah basah dan kering sudah mulai dipisahkan, lengkap dengan labelnya. tapi kenapa masih ada sebagian bahkan masih banyak yang tetap membuangnya dimana aja yah? sampah basah dibuang di tempat sampah kering, sampah kering dibuang di tempat basah. ngga mungkin dong ga bisa baca. apa proses edukasi dari yang berwenang yang kurang ? atau seperti kata mas DV, kualitas manusianya yang memang beda ?
    yah…begitulah…Indonesia…

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 5:58 am

      Saya nggak berani bilang kualitas manusia yang berbeda, tapi barangkali memang kita butuh proses pembentukan karakter bertanggung jawab yang sedikit lebih lama. Ide untuk membuat tempat sampah basah dan kering di Jakarta, terlepas dari sudah diimplementasikan atau belum, adalah satu kemajuan yang bagus.
      Kita perlu dukung itu!

      Balas
  14. mascayo mengatakan

    11 Juni 2009 pada 6:26 pm

    kalau susah mengubah kultur orang lain,
    susah nggak yaa mengubah kultur diri sendiri.
    wis .. saya tak lanjutkan prakteknya saja deh … membuang sampah pada tempatnya.
    semoga bisa nular kayak virus H1N1 .. unstopable! (*weleh aku ki sopo toh?!)

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 6:26 pm

      Hahahaha, kawan lama saya bilang ketimbang H1N1 mendingan R4N1 si caddy cantik itu :)

      Balas
  15. Tuti Nonka mengatakan

    11 Juni 2009 pada 7:01 pm

    Di Yogya, lembah kali Code di Kewek yang dulu mengerikan karena menjadi tempat pembuangan sampah raksasa, sekarang sudah tertata dengan baik, bersih dan rapi. Artinya, kalau ada kemauan, sebenarnya kita bisa kok menata kota.
    Tapi memang sampah selalu menjadi permasalahan dimana-mana. Orang suka nyampah, tapi malas ngurus sampah.
    Langkah yang terbaik adalah disiplin mulai dari diri sendiri ya.

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 7:01 pm

      Betul, Bu! Sampah itu sudah ditakdirkan menjadi masalah manusia selama manusia masih membutuhkan satu hal di luar tubuhnya.

      Balas
  16. zee mengatakan

    11 Juni 2009 pada 9:04 pm

    Don,
    Gw jd mikir, di Indonesia kan kualitas mental nya jelas jauh dibanding di luar negeri. Bahkan dengan penerapan denda pun kita cuek. Bagaimana kalo pakai kekerasan, langsung kurungan? Pasti diprotes.
    Pembenahan mental memang yg paling utama di sini.

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 9:04 pm

      Dimanapun, tak hanya di Indonesia.

      Balas
  17. grubik mengatakan

    11 Juni 2009 pada 10:59 pm

    iya, semua persoalan pasti pada akhirnya akan melibatkan: faktor menungsone…
    lha, nek cara menangani sampah komentar piye? haha…

    Balas
    • DV mengatakan

      11 Juni 2009 pada 10:59 pm

      Cara nangani komentar sampah ya ditutup aja commenting systemnya.
      wani ra? :)

      Balas
  18. Eka Situmorang - Sir mengatakan

    12 Juni 2009 pada 12:12 am

    @Mas DV :
    Gilaaaaaaaaaa penyiksaan tiada akhir
    gue disuruh kawin sama agt DPR yang tua bangka ituh
    !@#%%^&*(
    suamiku nesu
    hahahahhaha
    Btw aku udh mo pindah koq, so njang balio (kek lagu nich) udh mo pindah ke bulan gue hahahaha

    Balas
    • DV mengatakan

      12 Juni 2009 pada 12:12 am

      Hahahaha, ngapain pindah ke Bulan?
      Eh btw aku mau koreksi.. yang benar bukan “njang” tapi “ndhang” :)
      Dasar ndeso! :))

      Balas
  19. Financial Blog mengatakan

    12 Juni 2009 pada 5:13 am

    Peraturan kan di buat untuk di langgar nah itulah yang sekarang ini terjadi di indonesia wkwkwkwkkw

    Balas
    • DV mengatakan

      12 Juni 2009 pada 5:13 am

      wakakakak dot com

      Balas
  20. Brandal Surga mengatakan

    12 Juni 2009 pada 4:43 pm

    Persoalan di indonesia emang bener2 komplek. Ngomongin sampah aja pasti nabrak2 ke soal2 yg laen.
    Entah kapan orang indonesia terbangun mentalnya dalam sgala bidang…

    Balas
    • DV mengatakan

      12 Juni 2009 pada 4:43 pm

      Welah.. kok malah ngomongin indonesia?

      Balas
  21. Chandra mengatakan

    12 Juni 2009 pada 6:53 pm

    Errrr gue mo komen apaan ya…hehehe…
    O ya!!!!
    Gue hanya mau mengingatkan jikalau suatu saat Blackberry Bold dikau sudah engkau anggap sebagai sampah, dan kau memutuskan untuk menggantinya dengan Blueberry Bold, mohon Blackberry Bold-nya jangan dibuang ke bin khusus HP bekas di Dick Smith! Serahkan ke gue, gue siap menampung!! wakakaakakakakak..
    Lanjuuuttttt…

    Balas
    • DV mengatakan

      12 Juni 2009 pada 6:53 pm

      Hahahahahaha.. gw malah baru tau kalo di Dick Smith ada bin khusus HP. Btw, dick smith ganti logo dan warna yah, tapi nggak semakin men-dick hehehe :)

      Balas
  22. alfaroby mengatakan

    12 Juni 2009 pada 11:56 pm

    memang sih… masalah sampah bukan lah masalah kemarin sore.. udah banyak diperdebatkan dan diperbincangkan sejak jaman doeloe kala.. dan bahkan sudah ada undang undang yang mengatur akan hak tersebut..
    kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup dan lingkungan sekitarnya saya rasa benar benar kurang banget…
    sistem penegakan hukum yang amburadul juga patut menjadi diskusi yang menarik…

    Balas
    • DV mengatakan

      12 Juni 2009 pada 11:56 pm

      Sip!

      Balas
  23. Muzda mengatakan

    13 Juni 2009 pada 9:50 am

    Dua hari aku berusaha mikirin komentar yang berisi untuk tulisanmu yang serius ini, tapi kok gak ketemu yaa ..
    Akhirnya malah jadi nyampah di sini.
    Begini, aku mau bilang, aku baru aja mbuang sekantung plastik sampah plastik.
    Berapa dendaku ??

    Balas
    • DV mengatakan

      13 Juni 2009 pada 9:50 am

      Lha itu.. itu komentarmu udah berbobot sekali :)

      Balas
  24. Ria mengatakan

    14 Juni 2009 pada 3:04 pm

    mmmmm….sepertinya memang indonesia harus belajar banyak!

    Balas
    • DV mengatakan

      14 Juni 2009 pada 3:04 pm

      Belajar terus kapan kerjanya :)

      Balas
  25. zam mengatakan

    20 Juni 2009 pada 2:06 am

    ternyata ra ning Indo, ra ning Aussie, podo ae.. hihiihih..
    masih banyak yg nakal.. :D

    Balas
    • DV mengatakan

      20 Juni 2009 pada 2:06 am

      He eh! :)

      Balas
  26. kris mengatakan

    23 Juni 2009 pada 12:26 am

    wooo tulisanmu kali ini menyebut2 diriku to don? walah, telat aku le moco. lha kesuwen neng dunia nyata, jd gak nyentuh dunia maya blas! hehehe.
    btw, jd kesadaran ki penting yo don. termasuk utk hal membuang dan mengelola sampah. pertanyaan selanjutnya: kapan yo masyarakat Indo secara keseluruhan duwe kesadaran dan kemauan utk tdk membuang sampah sembarangan?

    Balas
    • DV mengatakan

      23 Juni 2009 pada 12:26 am

      Nyato kowe ki :)
      Nek soal kapan masyarakat Indo, wah nek kuwi ditakoke karo capres-cawapres wae ra bakalan ono sing iso… ora iso njawab opo ora iso ngubah, mbuh nek kuwi :)

      Balas
  27. Bocah Getas mengatakan

    20 April 2011 pada 2:53 pm

    Mampir nich…
    menarik sekali blog anda, dan saya sangat suka..
    Salam….
    oh ya ada sedikit info nich tentang bibit jabon dan kayu jabon semoga bermanfaat…

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

  • Depan
  • Novena Tiga Salam Maria
  • Arsip Tulisan
  • Pengakuan
  • Privacy Policy
  • Kontak
This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish.Accept Reject Read More
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT