Selama di Jakarta kemarin, meski cukup jarang, tapi sekalinya jalan-jalan di beberapa pusat perbelanjaan terkemuka, aku dibuat takjub tak hanya oleh megahnya bangunan dan ‘Wow-nya’ koleksi bermerk yang mereka jual, tapi juga harga yang melabeli setiap apa yang dijual di sana yang menurutku sangat tidak masuk akal.
Pada sebuah etalase butik terkenal di sebuah mall di Jakarta Selatan misalnya, selembar kaos oblong polos warna putih dibandrol seharga 350 ribu rupiah! Semangkuk sop buntut yang di dalamnya hanya ada lima gelintir potongan buntut sapi dihargai 128 ribu rupiah dan secangkir kopi ukuran jumbo, seingatku harus diongkosi nyaris lima puluh lima ribu rupiah padahal di Sydney, dengan kualitas kopi yang lebih nikmat tak sampai $4 atau sekitar 36 ribu rupiah murahnya!
Siapa yang sanggup membelinya? Ada?
Siapa yang sanggup membelinya? Ada?
Aku tak mau menebak berapa besar gaji kalian yang hidup di Jakarta untuk kumasukkan dalam perbandingan perhitungan guna menjawab pertanyaanku barusan. Tak etis.
Tapi aku ingat, di sebuah perempatan dekat Lebak Bulus sana, ada spanduk bertuliskan, “Dicari Driver dengan gaji per bulan 4 juta!”.. maka marilah kita menjadikan uang sebesar 4 juta gaji sopir yang sedang dicari itu untuk dijadikan sample yang sangat acak untuk melanjutkan tulisan ini.
Taruhlah driver yang akhirnya dipekerjakan memiliki sebuah keluarga kecil, seorang istri dan dua anak yang masih kecil-kecil. Sang istri bekerja sambilan membuka warung di rumah dengan pemasukan ‘lumayan’, dua juta rupiah besarnya.
Tapi dengan total gaji enam juta rupiah, jika dikonversikan dengan cangkir kopi, hanya akan mendapatkan 110-120an cangkir saja, sementara untuk menebus sop buntut, jika dibelanjakan semua, uang enam juta hanya akan tertukar dengan 46 mangkuk saja sedangkan untuk menebus kaos, paling hanya dapat tujuh belas lembar, tak lebih. Dengan begitu, sanggupkah ia bahkan untuk mengimpikan memiliki hidup yang mewah meski kemewahan itu secara ngawur telah kupermak melalui representasi kaos, sop buntut dan kopi?
Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan bahkan kurang dari itu? Mereka yang tinggal di pemukiman kumuh ibukota? Mereka yang berlindung di bawah jembatan layang dan terpaksa harus diam di tanah-tanah ilegal yang jika satpol PP datang menghabisi maka habis pula kisah tempat tinggal mereka?
Namun itulah uniknya hidup dan hebatnya Jakarta.
Meski ada ratusan ribu (bahkan mungkin jutaan) yang miskin, mall-mall terus mampu memutar hidupnya hari ke hari yang dalam logika sederhana berbunyi: mereka tidak rugi karena tak sepi pembeli!
Maka yang menarik sekarang, berapa kira-kira gaji atau penghasilan mereka yang bisa mereguk hidup nan mewah dan megah itu?
Sebelum kulemparkan jawaban pada sebuah entah, mari kita menelusuri perandaian kasar dariku berikut ini.
Andai ada sekeluarga yang jumlah dan komposisinya sama dengan keluarga pak supir tadi, seorang ayah, ibu dan dua anak tapi bedanya mereka punya pembantu yang kini dihalusnamakan jadi Asisten Rumah Tangga alias ART.
Keluarga ini merasa perlu pergi ke mall setiap weekendnya, sekali di hari sabtu dan satu lagi di hari minggu karena menurut mereka, begitulah cara menikmati hidup di Jakarta.
Pada hari sabtu, pagi menjelang siang mereka membesut kota menuju ke salah satu mall ternama di Jakarta Selatan, dekat dengan rumah kediaman mereka.?Petualangan dimulai dengan makan di food court, kali ini bukan sop buntut tapi nasi liwet khas Keprabon Solo, mumpung gubernurnya orang Solo, siapa tahu dengan mengonsumsi nasi liwet bisa sebijak Jokowi.
Nasi liwet per porsi 37 ribu rupiah plus minuman seharga 10 ribu per gelas, untuk ayah dan ibu, tinggal dikalikan dua, 94 ribu rupiah. Sementara untuk anak-anaknya, karena masih kecil mereka makan bawaan dari rumah, sebuah adonan buah-buahan organik import dari Australia yang bisa didapat di salah satu gerai di dalam mall dengan harga 75 ribu. Lalu untuk sang pembantu eh ART maksudku, karena kastanya beda, ia tidak makan seenak tuan dan puannya. Sepotong donat dan softdrink untuknya siang itu, 15 ribu rupiah harganya.
Setelah kenyang, sang istri hendak belanja kebutuhan sehari-hari, mampirlah mereka ke supermarket yang ada di level bawah di mall tersebut. Beli ini, beli itu, tak sampai setengah jam, sejuta lebih dihabiskan untuk keperluan sebulan. Sementara sang ibu belanja, anak-anak bersama si ART (“si”, bukan “sang”) dihibur oleh beraneka macam wahana mainan yang baru akan ‘nyala’ kalau dimasuki koin yang entah berapa sekarang harganya untuk sekali putar sekitar 2-3 menit lamanya.
Usai menemani istri belanja, si ayah tak mau kalah. Dibelinya kaos oblong warna putih yang mungkin karena diberi label merk terkenal maka ia dilayakkan untuk dihargai 350 ribu tadi. Meski kaos itu tak membuat perut buncit si ayah tampak mengecil, tapi ia dengan pede memadupadankan kaos itu dengan celana jeans skinny yang tak kalah mahalnya (dan sebenarnya tak kalah tak cocoknya untuk dikenakan di badannya yang makin tambun), 1.4 juta harganya!
Capek berbelanja sementara waktu masih ‘terlalu pagi’ untuk dihabiskan.. keluarga kecil plus ART tadi mampir ke coffeeshop dan uang senilai 120 ribu tunai dibayarkan untuk menebus dua gelas ukuran besar capucinno sementara si ART lagi-lagi dibedakan, tak dibelikan apa-apa, cukup sibuk mengurus anak-anak tuan dan puannya sembari otaknya curi-curi membayangkan andai ia mampu membeli kopi seperti halnya pak supir yang kubayangkan tadi mengimpikan impiannya ngopi di mall.
Total semuanya? Diluar angka perhitungan pasti, diluar ongkos bensin dan segala macam depresiasi terhadap mobil yang dipakai dan lain sebagainya, kalau kusebutkan angka tiga juta tentu tetap masuk akal, kan? Itu baru sabtu, lalu minggunya? Sabtu dan minggu berikut-berikutnya?
Bagaimana dengan pengeluaran-pengeluaran yang lain yang pasti tak kalah besarnya untuk biaya pengembangan diri anak melalui sekolah, aneka ragam kursus dan tetek bengeknya?
Biaya spa istri, biaya komunikasi, tunjangan kesehatan, biaya potong rambut sang ayah, biaya laundry jas kerja biaya sewa apartemen untuk pacar gelapnya dan lain-lainnya?
Jadi, berapa sebenarnya biaya yang diperlukan untuk menaklukkan Jakarta kalau itu hanya diartikan sebagai cara mengenyam segala macam tawaran-tawaran hidup dalam kemegahannya?
?If you live for having it all, what you have is never enough.? – Vicki Robin
Jakarta itu bukan hidup. Tapi membeli dan menjual gengsi.
Wah, masa iya semuanya begitu? :)
yo gak semua sih. tapi sebagian besar -_-‘
…. Start- Program – Calculator …… :D
Bah… anak kantoran pake komputer :) Ambil sempoa dong :)
di Jakarta, kalau nuruti yang begitu-begitu, nggak ada habisnya. yang jadi masalah adalah, kadang teman-teman kita ada yang seperti itu dan satu dua kali kita kadang ikut dengan gaya hidup seperti itu. menurutku, yang perlu dilakukan adalah menahan diri dan mengatur prioritas. itu lagi-lagi cuma mudah diucapkan atau ditulis. nek dilakoni tenan, yo embuh.
menahan diri itu memang yang paling susah.. tapi yang paling susah lagi menurutku menentukan semesta jakarta yang seberapa yang harus ditaklukkan :)
Jakarta, mungki kota paling serba ada dan fleksibel sedunia. Kita mau makan sepuluh ribuan? Ada. Seratus ribuan? Ada juga.
Jadi butuh berapa untuk menaklukkan jakarta? Buat makan wae lah, bisa saja 3x10000x30, 900rb. Atau bisa juga, 3x100000x30, sembilan juta sebulan. Bisa juga lebih. Baru soal makan.
Baru soal makan sudah bicara menaklukkan Jakarta? Emang Jakarta itu sebesar perutmu? :)
Maka dari itu toh mas don, tak kasih kata baru di ujungnya. Perutku besar, tapi gak sebesar jakarta. Atau cocotmu :mrgreen:
Maha besar hamid dengan segala lemaknya.
Wahahahahahha… maine njuk pisik! ;)
mengulang kembali.. biaya hidup di jakarta gak mahal kok.. yg mahal itu GAYA HIDUP!
Top!
Nah, bener ini!
Anyway, beberapa waktu lalu Om DV itu cerita-cerita soal tinggal di Jakarta gitu. Akhirnyaaa, akupun berpetualang di.. Pinggiran Jakarta. :P
Wah dimana tuh? Bodetabek pasti kalau bukan “ja” nya :)
Di DE, Om. :P
DE itu dalam aturan singkatan negara internasional berarti Germany :) So, bukan belanda depok tapi jerman depok :)
Tulisan ini menarik sekali. bagi yang tinggal di ibukota perlu baca ini. :D
makasih, Mbak
Menahan diri!
kuncinya itu mas Don. aku sekarang hidup di Jogja, dengan gaji yang relatif sama dengan Jakarta (bahkan lebih besar), dan merasakan bahwa hidupku tidak serta-merta menjadi mewah. Jogja, seperti halnya Jakarta, menawarkan extrim kanan dan kiri (kadang dengan level yang hampir sama dengan Jakarta), tergantung mana yang kita pilih. di Jakarta saya bisa nabung dan bisa hidup dengan 1 istri (hehehe), dan 2 anak dengan hanya 3 juta sebulan, dengan tetep ngangsur mobil dan ngangsur rumah juga. Bisa banget!
Tapi gaya hidup mewah bagi sebagian orang adalah sesuatu “kewajaran”, karena mendapatkan uangnya pun dengan susah payah (pulang malem, makan ati, etc). Uang itu lari kemana kalo tidak kemudian dipakai untuk menyenangkan diri dan keluarga kita? itu analisis sederhana saya. Apakah kemudian itu tampak hedon atau tidak, kembali pada batas yang ditetapkan oleh si orang itu.
Satu hal, Jakarta membuat nilai uang menjadi sangat kecil dibanding daerah daerah lain. di Jogja selisih 1-2ribu masih sangat terasa, di Jakarta selisih 10,000, jika lebih nyaman tempat belinya, ndak masalah. itu yang saya rasakan.
Biasanya jadi silent reader, tapi sekarang pengen komen.
Wah, skalinya komen langsung nancep… jadi menahan diri dan menentukan cakupan yang harus ditaklukkan ya :) ?
yg anonim.. waww 3 juta sebulan dgn 1 istri n 2 anak n masih bisa ngangsur mobil n rumah? hebat… #tergelitik ikutan komen jugah.. anaknya umur brp? sdh sekolah kah? tinggal di daerah manakah di jkt mas?
Hallo Mbak Marlene, saya menghabiskan waktu Jakarta coret alias Pamulang, kurleb 10km dari TB simatupang, kantor saya. Akan tetapi sempat saya 2 tahun di Lebakbulus.
Saya kasih info tambahan dulu, karena sepertinya tulisan saya kurang jelas. Anak saya dua duanya belum sekolah (dulu sebelum pindah ke Jogja, 4 tahun dan 2 tahun). Nah untuk masalah hutang, prinsip saya cuman satu, saya mau hutang apapun dengan cicilan kecil dan periode yang cepat. Saya ga pernah bisa nabung mbak (ha cuman 3 juta setengah gaji saya), tapi perusahaan saya kebetulan cukup royal dengan bonus tahunan, bisa digunakan untuk DP mobil dan DP rumah. Alhasil, nyicil mobil baru cuman setahun dan nyicil rumah 45/120 dengan 6 tahun saja.
Bukan maksud untuk sombong, tapi saya merasa bahwa seberapapun yang kita dapat, dengan kemampuan pengendalian diri (yang luar biasa, hehehe, saya bahkan sempet dibilang pelit sama temen-temen), Jakarta itu bukan sesuatu yang susah untuk ditaklukkan. 8 tahun kemudian saya pindah ke Jogja :)
Oya, umur saya sekarang 33 tahun, jadi ya bisa dibilang cukup lama lah di Jakarta ;)
Ini bedanya tinggal di kota besar di Indonesia dengan tinggal di kota2 besar negara maju yang lebih layak huni. Di Surabaya, agak susah menghabiskan akhir pekan tanpa mengeluarkan uang (belanja dan jajan di Mal). Sementara ketika tinggal di Sydney, kami bisa bahagia hanya dengan jalan2 ke Darling Harbour (taman gratis), piknik dengan bekal dari rumah (yg sudah jelas halal :p). Cuma bermodal tiket kereta api 3x $2,5 atau setara Rp 70.000.
Nah, agar tidak ditaklukkan Surabaya (kota terbesar kedua katanya?), kami memilih melipir ke Malang setiap akhir pekan, makan minum (gratis) di rumah mertua, bermodal bensin dan tiket tol. Belanja bulanan di supermarket yang tidak berada di dalam Mal, beli buku, sepatu, dan baju sebisa mungkin pesan online. Gaul? Cukup di dunia maya.
Hmmm menarik penjelasanmu! Semoga para ‘gang dolly’ lover juga bisa menemukan solusi online setelah tempat mainnya dibubarkan gubernur yang janjinya muluk-muluk itu :)
Eh btw dari Surabaya ke Malang tiap minggu pasti kenyang makan kue lumpur ‘Lapindo’ ya? :) *sodorin flat white*
Ih di Malang pun sekarang mulai kek Surabaya. Mal udah beranak pinak jadi 5 biji. Belom lagi yang embel2nya plaza dll -_- Mau rekreasi kemana yang gratisan? ya paling ke sendang biru -_-‘ ato makan jagung bakar di Payung
Aku menyerah, gak sanggup menaklukkan jakarta. Dan mlipir ke mbekasi – mbogor.
Kalau dipikir dengan cara seperti ini, memang rasanya tidak akan masuk akal mas. Apalagi jika dimisalkan gaji seseorang yg 4 juta menghidupi keluarga, jangankan di Jakarta, di Bali saja rasanya itu termasuk sulit jika dengan gaya hidup seperti itu.
Akan aku jawab ketika aku terbangun dan menyadari aku telah menjadi Eyang Subur ..
Waaks
Tulisan yang menarik mas Don …
Seberapa besar biaya yang kita perlukan untuk menaklukkan Jakarta tergantung dari seberapa tangguh kita mampu menaklukkan diri kita sendiri. sehingga kita bisa ngomong, “wis. sudah” seperti lulus kuliah. :-)
Komenmu juwara, pantes cum laude :D
Jakarta itu indah…setelah tahu bahwa tingkatan hidup dan potensi mendpatkannya juga terbuka lebar….kalo 30juta/bulan kurang ternyata di jakarta jika cuukup rajin dengan pekerjaan yang sama tapi company yang berbeda tersedia lebih dari itu..malah bisa 1,5x lipatnya…jadi penaklukan hidup di jakarta bisa memacu karir dan pendapatan seseorang….ibarat kue lapis…lapisannya ratusan…tinggal pilih di lapis keberapa…
yg plg bener itu ya tetep bawa bekal sendiri dr rumah buat makn siang hihihihi
Sebuah keluarga dengan 2 anak, yg hobby shopping & nongkrong di cofee shop?
Ini mah ngegambar keluarga mu sendiri…wkwkwkwkwk
Anyway, percaya gak percaya..supir salah satu keluarga di jkt gapoknya saat itu (2008-2010) kisaran 3.5jt,diluar tunjangan keluarga (seingat saya kalo ada kebutuhan buat keluarga tinggal minta ke juragan), buat uang makan ma uang jajan sehari2 jg tinggal nodong juragan atau ngutip uang tol & bensin yg udah siap di dalam mobil (jujur dulu kalo lagi bokek saya jg sering ikutan ngutip, hehehe).
Jam kerjanya? Jam 5.00 udah standby di garasi, balik lagi ke garasi paling cepat jam 23.00, setiap hari masuk kec libur lebaran.
Dan jangan salah banyak supir dijakarta yg rangkap jabatan jadi bendahara juragannya, so jangan heran walau supir, rekening tabungannya bisa lewat 1M :D
Kalau anda semua jalan ke monas di hari minggu, akan terlihat ribuan orang2 yg didominasi menengah bawah menikmati hiburan. Luasnya monas, para penjual balon, makanan dorongan, sepeda listrik dgn harga sewa yang murah, odong2, delman, dan ratusan hiburan lainnya yang tak kalah menarik dengan apa yang ada di mall atau pun diluar negeri. Kenikmatan bukan didasari teknologi tercanggih, atau alat termahal, tapi suasana yang ramai, senyuman para pengunjung, yang mungkin dinegara2 barat agak jarang kita dapatkan. Ketika saya mengajak ngobrol keluarga yg kebetulan main kesana juga, mereka sangat terbuka, dan mulailah percakapan yang hangat bahkan pertanyaaan2 personal seperti kerja dimana, naik apa; dll pun langsung terjadi secara natural.
Ada banyak tempat liburan, atau hiburan anak2 jakarta yang kalau kita lihat dari perspektif barat, “Horrible, unsafe etc” tapi bagaimanapun hiburan tersebut sangat nikmat dirasakan. Mainan2 seperti pasar malam yang menghampiri hampir setiap kampung2, komedi putar, odong2 yang masuk ke gang2 sempit, cukup untuk menghibur dan memberikan anak2 trsebut hak mereka dalam “dunia main”.
Pergi ke mall, dilakukan oleh masyarakat menengah- menengah atas. Yang umumnya juga sesekali. (walaupun ada yg tiap minggu) Fenomena ini terjadi pada keluarga yang minim kesadaran, atau “diatas awan” dari segi penghasilan. Penghasilan yang gampang didapat (mgk korupsi, warisan yang melimpah, dsb). Saya berpenghasilan lebih dari 30 juta perbulan. Tapi saya dan keluarga jarang ke mall. Karena yang kami dapatkan apabila ke mall adalah semakin tingginya jiwa konsumtif, perlombaan materialisme, ego, dan perasaan sedih, karena tiap apapun yang kami capai, selalu kurang melihat yang orang lain capai.
Saya masih membiarkan anak saya bermain dgn anak2 kampung, (kami tinggal diciputat), main speda, lari2an, petak umpet, bola, dsb. yang dirasakan anak saya lebih indah dari sekedar ke mall, atau bermain game. Segala bentuk permainan fisik yang saya support, sementara game dan komputer, alakadarnya (Usia 7tahun).
Jadi apa yang dilihat mas/mbak diatas, kaus 350rbu, dsb hanyalah persentase kecil dari penduduk jakarta. Jangan lupa kota ini dipenuhi kurang lebih 13 juta orang! jadi yang kita lihat minggu ini di mall belum tentu minggu depan orang yang sama.
Negara maju punya pola yang berbeda, dari segi budaya, kultur, dan tata cara. Jadi rasanya kurang fair memberikan penilaian + berbanding – maksud saya bandingkan yang baik disana dengan yang baik disini, lalu bandingkan yang buruk disini, dengan yang buruk disana. + berbanding +, (-berbanding -).
misalnya, hiburan di jakarta sampai kerumah2, tapi diaussie ga kan?? lagi males keluar ketuk aja pintu tetangga, ngobrol dibikinin kopi, udah senang, di aussie susah kan??
Penyakit materialisme, konsumerisme, dan individualisme merupakan penyakit impor dari dunia barat. nenek moyang kita sangat bahagia hidup dengan memotong singkong dan menikmati nya hangat2 dengan keluarga. Menunggu musim mangga, lalu memetik nya untuk dinikmati. Lalu datanglah kolonialisme yang memaksa kita memproduksi kopi kita secara masal untuk diekspor, nanas kita untuk diproduksi di afrika dan south amerika, dsb.
Saya sering dan cukup muak mendengar orang2 yang bilang “luar negeri lebih hebat, lebih enak, lebih nyaman” (saya sendiri pernah berdomisili diluar negeri). Tapi rata2 mereka yang pernah diluar negeri, akan pada akhirnya kembali, dan merasakan hidup di indonesia, walaupun polusi(seperti jkt,), living standard yang lebih rendah, ternyata lebih merasakan makna hidup dibandingkan setiap hari melihat tembok di negara maju, karena kurangnya sosialisasi dan individualisme yang tinggi.
Diluar negeri, kita mulai kangen sayur asem, ibu2 jamu gendong yang berteriak depan rumah, tukang sayur yang mempermudah istri belanja, dan ribuan keunikan lain yang hanya didapatkan ditanah tercinta ini. Puluhan teman bule saya, mati2an pingin tinggal di Indonesia, (sebagian married dan tgal disini), mereka bilang; hidup tanpa jiwa, atau sebagian mengatakan; teman saya disini lebih baik dari adik saya yang hanya saling telpon mungkin setahun sekali. Atau, nenek salah seorang mereka yang berusia 80tahun, harus menyetir sendiri untuk belanja ke super market, karena tinggal di apartemen nya snedirian,.
maka dari itu, saya pikir, lebih bijak kita membandingkan yang baik di luar, dan yang baik disini, atau yang buruk disana dan yang buruk disini. supaya terlihat fair perbandingannya. Karena kalau hanya melihat yang buruknya saja, comment ini akan penuh dengan kualitas hidup yang buruk yang saya dan mungkin anda rasakan ketika di luar negeri.
grass greener on the other side, but no!
my home is my heaven
setuju bangettt.. “luar negeri lebih hebat” muak gw dengernya. dikit2 kalo ada buruk disini… “namanya juga orang +62.”
gaji yg di atas tinggi2 banget… gw mengenyam gaji 4,12jt sebulan baru taun ini.. sedih gw kalo inget tittle gw s1 yang ikut kerja ke temen gw yg hanya lulus SMA.
sampe detik ini gw terjebak dengan ketagihan gaji yg dari sisi takabur sangat tidak mencukupi(gw udh nikah blm pny anak).
Pernah gw sedang naik motor berhenti di lamer dan samping gw moge BMW, gw ga naksir harga tuh motornya yg udh jelas2 pasti harga selangittt, gw hanya melirik sepatunya aja yg gw pikir harganya sebulan gaji gw.
gw nemuin ini tulisan saat ada sodara yg udh tanya2 ketemenya via snap whtsapp mengenai tour travel ke LN. eL eN broooo yg gw membuat gw iri positif. sementara gw blm bisa liburan kmn2 masih berkutat ngurusin perut aja.
kapan takluknya nih kopi gocapan kalo kerja gini aja…