Beberapa tahun belakangan aku semakin bisa mengerti bahwa seorang yang mengaku beragama itu belum tentu beriman. Proses yang kutempuh untuk bisa mengerti hal ini bukanlah melalui jalan pintas melainkan lelaku yang terjal dan berliku.
Perlu kalian tahu, aku memutuskan lebih mendalami agama yang kuanut sekitar dua puluh tiga tahun silam. Waktu itu aku diajak pacar yang sekarang jadi istriku untuk ikut retret di pertapaan Karmel di Malang, Jawa Timur.

Sejak saat itu, api di dalam hidupku berkobar untuk mencari tahu lebih banyak tentang iman, Tuhan dan tentu saja agama. Berbagai aktivitas bina iman kujalani dan ikuti. Mulai dari aktif di persekutuan doa ala karismatik hingga pendalaman iman. Mulai dari bantu-bantu main musik hingga pernah suatu waktu aku diangkat jadi pengurus kepemudaan nasional.
Sekitar tahun 2003, waktu forum diskusi semakin bermekaran di Internet, pun aku terjun dalam forum-forum apologetik; mempertahankan iman Katolik. Lewat debat dengan banyak orang dari berbeda keyakinan, aku terpacu untuk belajar dan jadi lebih haus untuk mencari tahu tentang ini dan itu.
Semakin berproses, semakin aku merasa beragama. Tapi beriman? Kupikir begitu seharusnya hingga ada satu peristiwa kecil yang jadi penyentil besar dan mengganggu kenikmatanku untuk tenggelam dalam indahnya pengetahuan-pengetahuan agama waktu itu.
Begini…
Setiap akhir pekan, aku selalu pulang dari Jogja ke rumah orang tuaku di Klaten. Rumah yang ditinggali orang tua dan adikku itu adalah rumah warisan dan alm kakekku adalah orang yang sangat memperhatikan tata aturan ruang. Misalnya kakus, letaknya diatur hingga sepuluh meter jauhnya dari dapur, di luar rumah utama.
Sehingga ketika kami mau boker, ya harus keluar dari rumah utama. Nah, ‘sialnya’ kakus itu letaknya ada di dekat kerumunan pohon pisang yang dipelihara oleh Nenekku. Kalian tahu kan mitos tentang pohon pisang? Di belakang kakus, hanya dipisahkan jalan kampung, adalah rumah tetangga yang dibiarkan kosong sejak pertengahan tahun 1950an dan terkenal angker. Oh ada satu lagi yang kelupaan. Di antara toilet dan kamar mandi, ada sepetak tanah yang dipakai oleh alm Eyang buyutku untuk mengubur janin yang gugur dari kandungannya. Di atasnya dibangun pusara mungil dan selalu diberi kembang. Serem kan?! (Dulu waktu kecil aku diajari untuk ‘nyuwun sewu’ ketika lewat di depan makam tersebut. “Mbah, nyuwun sewu kula kebelet!”)
Dari sejak kecil, aku selalu minta antar untuk ditemani boker ketika hari menggelap. Ketika sudah besar, karena rasa takutku juga ikut besar, aku berusaha untuk boker sebelum matahari terbenam supaya gak ketahuan kalau masih penakut!
Nah, malam itu, tiba-tiba aku kebelet boker. Karena nggak tahan lagi, aku pun dengan rela menahan malu bilang pada Mama, “Mah, aku kebelet eek. Ter’ke, Ma! (Anterin, Ma -jw)”
Mama pun tertawa ngakak. “Oalah Le… Le! Baru aja ngomongin agama dan kamu begitu berapi-api, lha kok boker aja nggak berani! Nggilani! Di mana apimu?!”
Aku tak bergeming. Yang kutahu Mama mengikutiku dari belakang dan di dalam toilet, alisku mengerut makin mengkerucut karena beberapa hal. Pertama untuk mengeluarkan tinja supaya cepat selesai karena aku benar-benar ketakutan, kedua karena aku tak henti memikirkan apa yang dikatakan Mamaku itu karena apa yang ia katakan tidak salah! Sama sekali tidak!
Sejak malam itu aku melihat ada dinding yang begitu tinggi dan kokoh membatasi ruang iman dan agama.
Agama kupandang sebagai ilmu selayaknya banyak ilmu yang kupelajari selama ini. Ia berada di satu ruang. Tapi mempraktekkan agama yang adalah mempraktekkan ilmu, ia ada di ruang lainnya.
Tugasku sebagai orang yang sudah terlanjur mau untuk belajar adalah membobol tembok sehingga tak ada lagi batas antara agama dan iman yang bisa dipraktekkan…
Berhasilkah?
Belum. Tapi ada progres. Aku masih penakut. Aku masih banyak melakukan kesalahan yang agak kontras dengan apa yang kupelajari dalam agama. Tapi setidaknya aku memandang itu semua bukan sebagai bukti kegagalan. Aku justru makin teguh beragama. Kelemahan yang kulihat kuanggap sebagai kesadaranku dalam mengelola tanda bahwa aku ini lemah, bahwa masih ada tembok di ruang agama dan iman yang kupegang yang harus terus kugempur dan runtuhkan. Mumpun masih ada tenaga, mumpung masih ada waktu…
Kadang dalam mendidik anak, niat orang tua sebetulnya baik namun caranya salah (menakut-nakuti). Itu jaman dulu waktu saya kecil, sering diberitahu jangan keluar rumah saat senja, bisa diculik kuntil anak. Padalah niatnya agar saya segera berhenti bermain, cepat mandi, dan bersiap makan malam bersama.
Tapi sekarang metode itu tidak lagi saya gunakan untuk anak saya.