Lupa ber-Indonesia ketika sedang berada di Indonesia itu bagi beberapa orang bisa dijadikan bahan untuk menganggap aku jumawa dan bagai kacang lupa kulitnya. Padahal di kedalaman hati, aku sama sekali tak menganggap itu bahan untuk menjadikan diri ini tinggi, tak jua karena lupa pada kulit yang kusengaja meski terjadi.
Misalnya tentang berucap terima kasih.
Karena di sini aku terbiasa mengucapkan, ?Thanks? ke mbak-mbak dan mas-mas pramusaji restoran, ketika hal itu kupraktekkan di Indonesia, beberapa kuucapi ?Makasih..? mereka malah diam terperangah dan alhasil aku diketawain teman-teman, ?Di sini nggak usah pake makasih-makasih-an! Mereka OK kok (walau gak di-terimakasih-i)…?
Tapi itu bukan yang hendak kubahas di sini karena nanti naga-naganya malah dikira aku makin jumawa. Aku mau membahas satu hal: cara menyeberang jalan.
Liburan ke Tanah Air tempo hari, 10 – 17 Juni 2016, aku tersadar telah kehilangan skill menyeberang ala Indonesia.
Dulu, sebelum pindah ke Sydney delapan tahun silam, nyebrang di Jalan Solo yang ramainya bukan kepalang pada jam-jam sibuk itu perkara sekuku jari!
Tinggal angkat tangan arahkan ke arus lalu lintas untuk meminta jalan, lalu bergerak pelan-pelan dan tibalah kita di seberang dengan selamat.
Tapi kemarin, boro-boro Jalan Solo, nyeberang di Seturan saja aku gemeteran!
Aku harus minta tolong Teddy dan Kunto supaya bisa nyeberang dengan selamat.
Lalu apa yang membuatku tak bisa lagi nyeberang ala Indonesia?
Malam harinya aku memikirkan dalam-dalam.
Kuajak Kunto berdiskusi saat mengantarkanku pulang ke Klaten.
?Di Australia itu, Kun? nyebrang terpaku pada zebra cross. Pokoknya kalau kita nyebrang di zebra cross, tutup mata pasti selamat!?
?Ngono, Don?? tanyanya sambil manggut-manggut…
?Iya? eh, tapi nggak juga, karena tempo hari ada anak kawanku sudah nyebrang di zebra cross juga masih ditenggel mobil! Tapi pokoknya rata-rata begitulah!?
?Nggak ada yang curi-curi nyebrang selain di zebra cross??
?Ya ada? tapi kalaupun harus curi-curi nyebrang tidak di zebra cross tetep tak terlalu menyeramkan karena penduduk Australia itu kan totalnya cuma sepersepuluh-nya Indonesia!?
Ya! Nyebrang di Australia mengikuti aturan. Orang dipaksa untuk seturut aturan.?Lalu bagaimana dengan nyebrang di Indonesia.
Setelah kupikir-pikir malam itu, aku berkesimpulan bahwa prinsip menyebrang di Indonesia itu adalah bergerak sambil menghitung momentum.
Yang terutama adalah jalan dulu! Mau nyebrang? Jalan!?Sambil jalan kita harus berhitung kapan potensi momentum kecelakaan dengan kendaraan yang berlalu-lalang terjadi.
Misalnya ada lima kendaraan dari sisi yang berlawanan, kita harus bisa membayangkan dan menafsir secara numeris seberapa kencang lima kendaraan itu bergerak dan kapan mereka akan sampai di titik lintasan tempat kita menyeberang.
Nah, pergerakan maju satu per satu langkah adalah pergerakan menghindari pertemuan kita dengan mereka di titik yang sama!
Jadi kalau dipikir-pikir hebat juga ya orang Indonesia, mereka berjalan sambil menghitung, menghitung sambil menghindari kecelakaan!
Pemikiranku malam itu tak berhenti di sini.
Aku sampai pada pikiran bahwa cara hidup di kedua negara, Australia dan Indonesia pun sedikit banyak juga dipengaruhi cara menyeberang jalan itu tadi!
Aku jadi teringat salah satu komentar kawanku yang lama tinggal dan studi di Australia. Ia tak kekurangan satu apapun, pekerjaan bisa dibilang juga sudah mantap.
?Tapi gw nggak krasan, Don?? ujarnya waktu itu, sekitar sepuluh tahun lalu.
?Kok bisa??
?Terlalu monoton hidup di sini!? balasnya.
Tentu saja aku tak percaya. Bayanganku waktu itu tentang luar negeri apalagi negara maju seperti Australia adalah serba WOW!
Tapi kini aku menyadarinya memang benar apa yang dikatakannya.
Hidup di Australia kebanyakan adalah hidup seperti orang menyebrang di zebra cross tadi, mengikuti aturan. Semua diatur.
Tapi ketika kita terbiasa (untuk diatur) lalu menghadapi hal yang tak beraturan seperti yang terjadi dengan cara menyeberang di Indonesia, orang-orang di sini tak kan siap untuk menyesuaikannya dalam sekejap.
Jadi, kalau kalian lihat film Hollywood dan melihat adegan kecelakaan beruntun di perempatan gara-gara seorang pengemudi melarikan mobilnya ketika lampu masih merah, itu benar-benar bisa terjadi di sini! Kenapa? Karena orang sini lebih melihat lampu petunjuk ketimbang keadaan sekitar. Merah ya berhenti, hijau ya tancap gas!
Sementara hidup di Indonesia benar-benar ?hidup? seperti cara menyeberang tadi.?Kamu mau maju, ya maju dulu bertahap. Hindari momentum tubrukan atau ditubruk dan bergerak cepat ketika tiba-tiba kendaraan tampak memperlambat lajunya.
Oh ya, kita juga perlu punya bleger/pawakan yang tinggi besar sehingga ketika kita mengacungkan tangan kanan minta jalan, mereka setidaknya akan melihat, sukur-sukur bisa membuat mereka tampak gentar karena badan kita yang lebar.
Malam itu aku pulas tertidur karena puas bisa memetakan hal yang sepele tapi ternyata penuh perhitungan dan memuaskan benak.
Keesokan paginya, ketika aku harus menyeberang di Seturan, aku tak perlu bantuan Teddy dan Kunto lagi.
?Yakin?? tanya Teddy.
?Iya.. kalian duluan nanti lihat aku sudah bisa seahli apa??
Mereka menyeberang dan dari seberang Teddy dan Kunto memberi aba-aba ?Ayo, maju!?
Dengan percaya diri, kuangkat tangan tinggi-tinggi, maju selangkah demi selangkah, berkelit di tengah motor yang berlalu lalang lalu sampai di seberang.
Ya, aku sukses ber-Indonesia!
0 Komentar