
Aku suka dengan Kabar Baik hari ini karena memberi sudut pandang baru tentang bagaimana Tuhan memberikan belas kasihNya kepada kita manusia. Kalau selama ini aku berpikir Tuhan mengasihi seperti seorang ayah atau ibu kepada anaknya, seseorang terhadap sahabatnya maka kali ini Tuhan mengasihi seperti Ia melihat domba-domba yang tak bergembala; lelah dan terlantar.
Belas kasihNya
Dimana bedanya?
Sebelum mencari bedanya, mari kita petik Kabar Baik tulisan Matius di bawah ini,?
Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. (Mat 9:36)
Seorang ayah atau ibu secara naluri mengasihi anaknya. Seseorang otomatis mengasihi sahabatnya tapi Kabar Baik hari ini membuatku bertanya, jika yang mengikutiNya itu hanya sedikit dan tidak tampak lelah dan terlantar, adakah Yesus tetap berbelas kasih kepada mereka?
Ketika merasa lelah dan terlantar
Pertanyaanku di atas tidak perlu dijawab. Yang perlu dijadikan sebagai gagasan adalah kita sebagai manusia seharusnya tak perlu malu apalagi gengsi untuk menyatakan bahwa kita ini lelah dan terlantar dalam menjalani hidup supaya belas kasihNya semakin besar terhadap kita.
Sekitar enam tahun silam aku pernah bergelut dalam satu masalah yang tak ringan. Segala macam cara kucoba dan hasilnya seperti membentur tembok, selalu gagal dan gagal.
Lalu pada satu malam, aku menatap salibNya dan berkata kepadaNya, ?Tuhan? piye iki? Aku kudu piye meneh? Tulungana aku, Gusti! (Tuhan, bagaimana ini? Aku harus berbuat apalagi? Tolonglah aku, Tuhan – jw)? Ketika berdoa, aku memang lebih senang menggunakan Bahasa Jawa karena itu adalah bahasa ibuku.
Pagi harinya, jawabanNya datang melalui tanda. Tanda itu kuikuti dan Puji Tuhan, masalah yang selama ini tampak begitu gahar dan seolah aku tak kan mampu mengatasinya jadi lunglai di hadapan Tuhan.
Waktu itu sempat muncul pertanyaan nakal, seandainya malam itu aku tak benar-benar mengajakNya bicara seperti yang kutulis di atas, adakah keesokan paginya aku akan mendapat jawaban dari Tuhan?
Aku tak tahu.
Tapi yang kurenungkan hari ini, bersandar pada tulisan Matius di atas, aku berpikir bahwa caraku berbicara kepadaNya malam itu kuanggap sebagai usahaku untuk ?cari perhatian? (caper) kepadaNya supaya Ia melihat dan berbelas kasih kepadaku! Ia melihat kelelahanku dan menolongku!
Tapi pertanyaannya sekarang, kapan saat yang tepat bagi kita untuk bisa mengaku bahwa kita sudah lelah dan terlantar di mataNya? Kalau memang Ia berbelas kasih pada yang lelah dan terlantar, kenapa sejak awal didera masalah kita tak usah berusaha saja tapi langsung minta tolong dan bersikap seolah kita lelah dan terlantar?
Belas kasihNya yang menyelamatkan
Tentu bukan itu intinya.
Tuhan memberi kita karunia yaitu akal dan budi untuk membantu kita menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Jika kita terlampau cepat ?melambaikan tangan ke arah kamera? lalu berteriak, ?Tuhan, aku lelah!? apakah kalian tak malu kalau Dia bilang, ?Lelah? Sudah sejauh mana kamu memakai akal dan budimu??
Lagipula, jika kita baca ulang ayat di atas, orang-orang yang mengikuti Yesus itu tidak menyatakan bahwa diri mereka lelah dan terlantar! Mereka justru seperti tak kenal lelah dan tak peduli adakah mereka terlantar atau tidak pokoknya mengikuti Yesus. Yang terjadi justru Yesus yang melihat kelelahan dan keterlantaran mereka!
Maka sebagai orang beriman, teruslah berusaha untuk mengikuti jalanNya sebagai jalan hidup kita. Kabar Baik hari ini menguatkan kita supaya kita tak perlu merasa takut untuk lelah dan tak perlu khawatir kita terlantar. Ia selalu memberi kelegaan dan menjaga kita. Bahkan ketika menurutNya kita memang sudah benar-benar lelah dan terlantar, belas kasihNya menyelamatkan kita!
Sydney, 8 Desember 2019
0 Komentar