Belajar dari tutupnya BORDERS

15 Sep 2011 | Cetusan, Digital

Kalian tahu BORDERS? Raksasa global retailer buku Amerika Serikat yang dinyatakan bankrupt beberapa waktu silam?
Aku bersyukur sekaligus ngelus dada karena menjadi saksi bagaimana tutupnya salah satu outletnya di mall tak jauh dari kantor sini. Boleh dibilang proses tutupnya sangat tragis, mulai dari pengumuman kecil di atas kertas putih memuat pengumuman bahwa member BORDERS tak bisa memperpanjang kartu diskonnya di meja kasir, hingga beberapa bulan kemudian meningkat menjadi diskon produk yang semakin lama semakin besar. Dan kira-kira tiga bulan silam, beberapa hari menjelang tutup total, di tengah kondisi toko yang kian melompong karena sudah habis terjual dan tak ada stock barang yang diimbuhkan lagi, mereka merabat habis produknya hingga 90% off termasuk rak-rak bukunya sendiri!

Suasana BORDERS beberapa hari sebelum tutup.. kosong melompong


Sebagai manusia yang sangat suka membaca termasuk ‘numpang baca’ di toko buku, tutupnya BORDERS itu berarti sebuah kehilangan. Utamanya karena aku kehilangan salah satu spot asyik untuk ‘tenggelam’ dalam lautan buku; sesuatu yang sedikit banyak menjadi alasan kenapa aku tak pernah suka belanja buku online karena tak bisa merasakan sensasi ketenggelaman itu.
Beberapa catatan yang kubuat terkait dengan tutupnya BORDERS adalah sebagai berikut:
 

Era Digital

Dunia bergerak dan setiap gerakannya membutuhkan perimbangan di setiap sisi yang terkait.
Mari kita amati kenyataan ini: lima puluh tahun silam, buku adalah sesuatu yang mahal karena ongkos produksi cetak yang masih sulit baik dari sisi teknis maupun operatornya. Dua puluh tahun sesudahnya, semua orang latah membeli buku karena harga yang semakin murah dan kini, tiba-tiba, buku kembali menjadi mahal bukan karena teknologi produksi yang sulit dikembangkan, tapi sumber daya kertas yang berasal dari alam/pohon lah yang semakin dipersulit pengadaannya mengingat faktor konservasi alam yang sudah mencapai taraf “tak bisa ditunda-tunda lagi” pengusahaannya.

Buku beneran dan buku "digital"


 
Orang lantas menjadi sangat selektif dalam membeli buku, karena masih banyak keperluan yang perlu dipenuhi ketimbang ‘sekadar’ membelinya. Beberapa orang yang ‘mampu’, atas nama konservasi alam, memilih untuk membeli buku dalam bentuk lain, e-book meski sebenarnya aku banyak bertanya-tanya ke diri apakah mereka membeli karena konservasi alam atau atas nama gengsi supaya tampak selalu terdepan dalam teknologi? Entahlah.
Aku sendiri, lepas dari paradigma ‘mampu’ atau ‘tak mampu’, berharap banyak semoga digitalisasi buku hanyalah ‘produk-sela’ yang ditawarkan produsen sambil menanti mereka menciptakan inovasi yang lebih bagus ketimbang e-Book. Alasannya?
Susah, Sob! Susah bener baca buku lewat screen gadget dimana huruf dibungkus plastik kaca dan menyisakan tangan kita menggerak-gerakkan panel pengatur ‘halaman’ dan mata yang lebih mudah letih membaca meski sudah di-approach berbagai macam teknologi baru untuk me-neduhkannya. Barangkali aku ini termasuk tipe orang lama yang masih susah menggeser perspektif bahwa membaca adalah memegang kertasnya, menghirup aroma kertasnya lalu membolak-balikkan halaman untuk dibaca, dan ketika menyudahi bacaan, bookmarking adalah melipat sudut kertas sebagai tanda bukannya memencet tombol ‘Bookmark’ lalu memencet tombol “OFF” pada tepi kanan atas iPad kita. Bukan.. bukan seperti itu.
 

Perpustakaan Pribadi*

Toko buku dengan sistem display per-rak-rak buku seperti BORDERS, Kinokuniya, Gramedia dan banyak retailer lainnya bagiku adalah ‘perpustakaan pribadi’ yang bisa kuakses cuma-cuma. Yang membedakannya dengan perpustakaan pribadi betulan barangkali cuma soal kepemilikan.
Nah, ketika toko-toko penyaji sensasi ‘perpustakaan pribadi’ itu tutup, kenapa kita tak memulai memoles kembali mimpi kita yang lama terbengkalai, membangun sebuah perpustakaan pribadi dalam arti yang sebenar-benarnya? Kumpulkan buku-buku lawas, bangun rak-rak buku sederhana lalu atur sedemikian rupa di sudut terindah rumah kita seolah-olah ketika kita berada di dalamnya, kita berada dalam toko-toko itu?
*maaf, untuk soal buku aku memang masih sulit untuk melepaskan untuk jadi bahan bantuan ke orang-orang tak mampu. Aku terlalu sayang pada buku dan kalau harus memilih, aku lebih suka memberi uang untuk dibelikan buku untuk disumbangkan ketimbang menyumbang buku koleksiku.
 
Cetak Buku Sendiri, Nikmati Sendiri
Bahan baku kertas menjadi sangat sulit didapatkan dan mahal dibeli barangkali karena produksi massal dari setiap produsen buku yang dilakukan selama ini. Setidaknya hingga saat ini, aku lebih merasa tak berdosa menggunakan kertas untuk mencetak tulisan-tulisanku pribadi untuk dijadikan ‘buku’ sebanyak satu atau dua edisi saja ketimbang misalnya membuang sampah sembarangan yang tidak pada tempatnya.
Untuk orang yang hobi menulis sepertiku, tutupnya BORDERS secara tak langsung memantik ide untuk mencetak buku dan memasarkannya sendiri. Tak perlu lewat penerbit bahkan tak perlu pula lewat penerbit yang menyediakan jasa print-on-demand kalau memang belum siap. Cukup cetak menggunakan printer rumahan, desain cover menggunakan software pengolah gambar, cetak dengan pilihan warna ataupun hitam putih di atas kertas yang bisa kalian pilih sendiri, bundle dan tawarkan ke khalayak sebagai buku pribadi yang dibuat dengan sangat-sangat pribadi.
Masih tak laku? Simpan saja di perpustakaan pribadi!
Menarik bukan idenya? Orisinil tepatnya!
 

Buka toko buku sendiri

Iparku pernah bercerita bahwa di salah satu sudut kota Paris ada sebuah toko buku nan mungil, tak terlalu kentara, namun sangat terkenal karena otentik, elegan dan mahalnya buku-buku yang dijualnya. Aku tak tahu alasan pasti kenapa BORDERS tutup, tapi aku yakin faktor ‘worldwide’ ikut mempengaruhi cepat-lambatnya para petinggi untuk menyatakan kebangkrutannya kepada publik. Tak lain karena bisnis yang menggurita mau tak mau membawa konsekuensi bahwa pada setiap ‘kaki’ nya, setidaknya kita harus menyediakan ‘gizi’ yang sama untuk semuanya. Bayangkan jika BORDERS menjaga konsep seperti toko buku mungil yang diceritakan iparku itu, kenyataannya pasti akan lain meski jangan dibayangkan sebaliknya, toko kecil mungil itu lantas jadi sebesar BORDERS…
Tutupnya BORDERS menggelitik ideku untuk kenapa tak membuat toko buku sendiri dengan modal buku-buku yang kita produksi sendiri? Harga? Tak harus murah, malah kalau perlu mahal. Percayalah, banyak orang memilih membeli sesuatu yang murah, tapi untuk sebuah karya yang bagus, kadang kalau ditawarkan dengan harga murah, hal itu justru membuat mereka berpikir ‘Kenapa bisa murah? Apa yang dikurangkan dari proses kreatif pembuatannya?’ dan segala kecurigaan itu terkadang benar karena harga murah berarti modal pembuatannya berlipat-lipat lebih murah daripadanya.
Menjual harga mahal untuk sebuah produk yang brilian selama masih dalam takaran wajar adalah bukti bahwa karya kita memiliki harga dan kita tak mau jual murah untuk kehilangannya.
“Lha kalau tak laku, bagaimana?”
Tak laku? Ya tutup! Apa susahnya? Pasti tak lebih susah daripada menutup gurita raksasa semacam BORDERS!

?*???? *???? *

Gimana? Apa pendapatmu kalau tiba-tiba raksasa toko buku semisal Gramedia menyatakan kebangkrutannya? Bukankah kalian akan kehilangan pula satu spot asyik untuk tenggelam dalam lautan buku yang tersusun rapi di rak-rak itu?

Sebarluaskan!

28 Komentar

  1. wah jangan sampai toko buku pada tutup, rasanya jadi gimana gitu :)

    Balas
  2. saya selalu lebih suka buku beneran, ketimbang ebook. di solo, ada teman yang punya ribuan buku di rumahnya, dan saya sering ke sana, membaca2, lalu membawa satu tas penuh buku utk dipinjam sebagai referensi menulis. sangat menyenangkan rasanya :)
    oya, jadi kapan mau nerbitin buku sendiri, mas?

    Balas
  3. Waahh gak.kebayang kalau gramed sampai tutup. coz setiap ke mall pasti ke gramed deh walo gak beli buku.. lihat jejeran buku aja udah buat aku seneng.. apalagi mempunyainya.. setuju juga tuh mas kalau sayang banget nyumbangin buku kita.. belum tentu juga bisa dibeli lagi.. itukan utk koleksi pribadi..

    Balas
  4. koleksi buku kami kakak beradik tersimpan di rumah mama, supaya anak2 dan para ponakan bisa baca
    tapi masalahnya buku2 yang dari kertas koran itu setelah puluhan tahun sudah menguning, dan anak2pun enggan membacanya,
    kalau memang diniatkan untuk koleksi, harus kertas yang awet ya, tapi jatuhnya buku jadi makin mahal

    Balas
  5. tiba2 teringat cita2ku dulu punya sebuah toko buku kecil tapi nyaman…
    nggak bisa bayangin dunia tanpa buku ;(

    Balas
  6. Orang di Jakarta mungkin masih punya banyak pilihan ya kalau Gramedia tutup? Tapi kasihan banget orang di daerah. Saya inget jaman baru kuliah dulu, betapa saya dan teman2 pengen ada Gramedia di kota kami, supaya mudah mencari buku. Saat itu internetpun masih kemewahan luar biasa. Padahal kelak, ntah disini maupun di kota2 lain, saya tak pernah ke Gramedia tuk membeli buku (karena keuangan tipis), tapi hanya numpang baca majalah gratis sambil mendengarkan alunan musik syahdu… (kecuali di Gramedia Matraman. Musiknya sux) :)

    Balas
  7. Apaa…. Andai toko buku tutuuuuppp….?
    Wong pertanyaan panjenengan baru sebatas “berandai-andai” kek gini aja aku rasane wis gak trima ngene lhoooo… Bagaimana kalo beneran kejadiann..? #speechless wis…

    Balas
  8. Aku mikir serupa. Buku akan benar-benar jadi personal sifatnya. Hanya dicetak terbatas dan ditandatangani atau dibungkus sendiri oleh penulisnya
    Lebih dari itu, buku sudah discan dan disebar luarkan sebagai ebook.

    Balas
  9. Saya sempat membaca buku “the key word” buku terbitan temen-temen blogfam yang membahas tentang pentingnya perpustakaan. Kekhawatiran paperless karena adanya e-book sempat di lontarkan ke buku itu. Tapi, menurutku jika toko sebesar Borders bangkrut. Solusinya mungkin kita bisa ke perpustakaan kota atau perpustakaan kecil yang ada di daerah kita. Dan mungkin kita bisa sebarkan jadi e-book.

    Balas
  10. Aku lebih suka buku bukan e-book. Terasa lebih nikmat saja. Nikmat di mata, nikmat pula di kantong :)

    Balas
  11. pernah kepikiran sih, tapi sekarang lebih buat ebook yang halamannya dari 10-50. Dibuat PDF, di desain covernya pake software pengolah gambar, dan tara… di sebarkan via blog. Enak, dinikmati sendiri bisa, dinikmati orang lainpun bebas. Walaupun tetap takut terkena imbas Hak Cipta kita di curi dari bagi2 ebook gratis.

    Balas
  12. yup, sempat baca berita tutupnya Borders beberapa bulan lalu.
    mau tidak mau bicara soal skala. bagi Borders, mungkin sudah tidak profit lagi, tapi bagi toko-toko buku lain rupanya masih. tidak bisa dibandingkan dengan daerah-daerah terpencil yg akses jalannya mulai terbuka, dan jaringan internetnya belum banyak.
    Kalau toko gramedia bangkrut, biarin aja, mahal sih, hihi.
    Eh, kalau cuma soal suasana untuk tenggelam, bayar saya deh buat merapikan koleksi bukumu Mas. Jelek-jelek gini saya pernah menata ribuan buku koleksi pers kampus, hehe.

    Balas
  13. hi mas donny…salam kenal. sebenarnya kita satu alumni lho, maksudnya dulu saya pernah kerja di citraweb jogja. dan orang klaten juga :) sesekali mampir ke website mas donny, dan baru sekarang ‘berani’ tulis komen, hehe
    kalau saya suka ide mas donny yang buka toko buku sendiri (meski koleksi buku saya belum banyak). tapi keinginan itu masuk dalam list cita2 saya, selain punya toko kue. kakak ipar saya sangat mencintai buku. buku2nya sudah satu gudang, mungkin saya bisa ajak dia buka toko buku nantinya..
    oya di bandung ada toko buku bekas bagus, namanya reading lights (http://readinglights.blogspot.com). toko buku tu menjual buku2 bekas berbahasa inggris. ada cafe dan semacam living room gitu, kita bisa baca buku yang dijual disitu. dan yang pasti harganya menggiurkan. kakak saya pernah beli bukunya Stephen Covey (7 habits of highly effective people) hanya dengan Rp. 35 ribu saja. saya juga pernah beruntung karena dapat buku pertama Trilogi TLOTR hanya dengan Rp. 30 ribuan…!! kapan2 kalau mas donny ke bandung mampir deh (atau jangan2 dah tahu tempatnya?)
    kakak ipar saya juga sama seperti mas donny, lebih suka baca buku degan cara konvensional. ketika saya merekomendasikan sebuah situs tempat download buku2 keren (http://www.manybooks.net/), dia bilang: boleh juga luk, tapi aku lebih suka baca buku dengan cara konvensional…
    semoga gramedia tidak tutup deh, soalnya tempat nongkrong (baca: nebeng baca buku gratis) yang asyik, hehehe…

    Balas
  14. Kalau saya punya buku yang dobel, dengan senang hati saya menyumbangkannya. :)
    Tapi.. jangan dong, jangan sampe Gramedia bangkrut. :(

    Balas
  15. aku masih menyimpan cita-cita ingin punya toko buku :)
    sebelum itu kesampean, paling nggak punya perpustakaan pribadi. *melirik rak buku yang udah kepenuhan*

    Balas
  16. Saat masih banyak waktu luang dulu, Gramedia jadi sasaran untuk menumpang baca. Tiga hari berturut-turut datang ke Gramedia, masing-masing 2-3 jam, selesai satu buku :D
    Lalu pernah bikin program sebulan beli satu buku, sempat berjalan beberapa bulan namun akhirnya terlupakan. Tak lain dan tak bukan karena terlalu banyaknya keinginan sedang penghasilan waktu itu masih pas-pasan hehe.

    Balas
  17. Saya sedih bacanya, karena saya juga suka buku…
    Jika tak punya uang, hanya sekedar jalan-jalan baca buku di toko buku sudah senang. Bahkan pembelian untuk buku setiap bulan melebihi untuk kosmetik atau pakaian.

    Balas
  18. Kalau Gramedia tutup, aku akan beli raknya, bwahahaha…. :D
    Idemu untuk mencetak sendiri buku kita, sudah kulakukan. Berbagai artikel yang pernah kutulis, kukumpulkan dalam beberapa tema. Dan kemudian, kudesain seperti buku. Setelah itu dicetak sendiri dan dijilid. Jadilah sekarang “buku-buku” itu mejeng di rak bukuku..
    Dan ternyata, sensasi melihat tulisan kita yang dicetak dengan tulisan yang ada di komputer, jauh berbeda.. Ada rasa yang sulit diungkapkan ketika tulisan-tulisan itu tercetak di atas kertas. Bahkan sebuah keasyikan tersendiri membacanya…
    Peristiwa yang paling menyedihkanku adalah ketika gempa Jogja beberapa tahun silam. Ketika itu, adikku yang lagi kuliah di ISI dan nge-kos di daerah Sewon, banyak meminjam bukuku untuk referensi tugas akhirnya. Gempa itu merobohkan kamar kosnya, dan menenggelamkan semua barang yang ada di situ, kecuali adikku sedang tidak di kamar kos tersebut. Termasuk juga buku-bukuku… Beberapa minggu kemudian, puing-puing rumah itu berhasil dibersihkan, dan terlihatlah buku-buku yang terhimpit di sana. Namun sayang, sudah tidak bisa dipakai lagi, karena rusak berat oleh hujan dan panas. Sedih betul rasanya… :(
    Ah… bagiku, rumah lebih indah jika dihias dengan rak-rak yang dipenuhi buku, ketimbang lemari penuh hiasan kristal.. :)

    Balas
  19. Salah satu cita-citaku adl punya perpustakaan pribadi.. semoga suatu saat terwujud :)
    Di sini tdk ada toko buku yg cukup representative euy.. gk tahu tuh mahasiswa di sini pada beli buku dimana
    Yg ada cuma 2-3 toko kecil, itupun didominasi buku-buku pelajaran sekolah.
    Kalo mo ke Gramedia, mesti ke makassar dulu… harap maklum kalau kadang kalap saat di sana :(
    salam,

    Balas
  20. Di kota saya bisa dibilang ngga banya toko buku, cuma hitungan jari sebelah tangan. Dan untuk sekelas Gramedia mungkin tetap menjadi favorite, apalagi peminat baca buku semakin berkurang semenjak era digital. Yah,… setidaknya tak seperti Gurita raksasa itu :)

    Balas
  21. Wah…. jangan sampe toko buku seperti gramedia tutup karena kalau tutup sulit sekali untuk menemukan buku dengan cara yang mudah. Karena saya bukan orang yang tergolong technology freak dan gadget freak dan sampe sekarang tetap memilih buku dengan yang dicetak daripada harus baca lewat e-book. Dengan buku yang dicetak lebih mudah untuk dibawa kemana – mana dan tidak mencolok perhatian juga.
    Kalau tutup mau cari buku dmana, it will be so hard and pathetic condition… apalagi untuk Indonesia yang dalam hal per e-book an belum sepesat di negara luar

    Balas
  22. saya justru setuju sama ide ‘kenapa harus murah kalau bisa mahal’ seperti yang tersirat dari tulisan mas nya di atas.. perlu dan patut maju jalan kalau yang seperti ini.. proses kreatifnyalah yang membuat kita berani pasang harga demikian bukan mas :) semangat tuk toko buku sendirinya!! jangan sampe lah mas kalau gramed musti gulung karpet sih :(

    Balas
  23. menurutku..selain untuk dibaca, buku adalah wujud dari sebuah karya seni. buku memiliki nilai dan fungsi lain selain untuk sekedar menyampaikan informasi fiksi atau nonfiksi. karena inilah menurutku, e-book takkan bisa menggantikan buku.

    Balas
  24. wah kok sedih yo aku moco iki, don?
    aku sendiri juga nggak rela menyumbangkan buku koleksiku. rasanya lebih baik memberi uang saja deh. atau aku belikan buku yg sama dg milikku (kalau masih ada). ke toko buku merupakan suatu bentuk rekreasi bagiku. walaupun tidak beli, tetapi berada di toko buku membuatku semangat. entah kenapa bisa seperti itu ya.
    kalau soal perpustakaan pribadi, aku dan suamiku sedang berusaha mewujudkannya. koleksi kami sudah lumayan. dan sebenarnya cukup menyita tempat di rumah kontrakan kami yg kecil ini. terpaksa kami mengangkutnya sebagian ke jogja karena sudah makin tak cukup lagi raknya.

    Balas
  25. Aku sebenarnya pengen bikin perpustakaan kecil untuk umum. Tapi yang namanya buku dan ilmu kan selalu bertambah dan berkembang, lama2 ya perpustakaan pasti jadi besar, dan biaya pasti membengkak…
    Kalo Gramed tutup? Yeah, aku sih ga masalah, karena kalau di Indonesia ini, yg namanya tutup itu biasanya dihandover ke siapa yang mau toh? Walopun ganti nama ujung2nya…

    Balas
  26. Ide perpustakaan pribadi itu, saya sudah cukup lama punya cita-cita itu. Yang saya butuhkan saat ini adalah sebuah rak buku yang bagus, sementara buku2nya sudah ada beberapa, ya buku2 sisa kuliah dulu.
    Tapi sayangnya sampai saat ini belum bisa saya wujudkan, rak buku itu selalu kalah prioritas oleh kebutuhan2 lainnya.

    Balas
  27. sudah tidak suka buku lagi, pengen semuanya enggak diindustrikan..
    buku sekarang banyak embel-embelnya..
    *abis baca pengantar selalu langsung lempar*

    Balas
  28. Tanda-tanda Amerika diambang kebangkrutan.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.