Belajar Dari Sandy…

23 Jan 2023 | Cetusan

Hari Jumat minggu lalu aku dan keluarga diberi kesempatan Tuhan untuk belajar satu segi lain tentang cinta.

Setelah pekerjaan membuat pekarangan depan dan belakang rumah selesai, aku dan Joyce berpikir sepertinya sudah waktunya menyelesaikan satu hal yang selama ini tersimpan dalam backlog, memelihara anjing. 

Aku dan Joyce tumbuh dalam keluarga yang memelihara binatang, khususnya anjing. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk mengenalkan hal yang sama kepada anak-anak supaya mereka belajar mencintai, bertanggung jawab dan sekaligus menghargai kehidupan dari seekor anjing.

Sudah sejak beberapa minggu terakhir kami mencari informasi via internet. Memelihara anakan sudah kami coret dari opsi pilihan karena harga yang terlampau mahal. Pilihan selanjutnya adalah mencari yang sudah agak sedikit besar tapi juga tak terlalu tua.

Hari Kamis malam, kami sampai pada dua pilihan. Seekor staffie (American Staffordshire Terrier) hitam berusia empat tahun bernama Nero atau seekor beagle betina berusia satu tahun setengah, Sandy.

Kami akhirnya memilih Sandy karena pertimbangan usianya yang masih lebih muda dibanding Nero. Makin tua anjing makin membuat mereka rentan terhadap sakit dan untuk membawa ke dokter hewan, ongkosnya tidaklah murah.

Jumat sore kami janjian untuk bertemu dengan Sandy di rumah pemiliknya yang ternyata tak terlalu jauh dari tempat kami tinggal.  Pertama kali melihat Sandy, kami langsung jatuh hati.  Tak sampai lima belas menit, transaksi terjadi dan kami membawa Sandy pergi.

Tak langsung pulang, dari situ kami mampir dulu ke shopping centre dekat rumah untuk membeli peralatan Sandy; tempat tidur, selimut, tali untuk membawanya jalan-jalan hingga mainan dan shampoo khusus anjing. Sepanjang berjalan di selasar pertokoan ada begitu banyak orang memuji Sandy dan tentu itu membuat hati kami hangat.

Sekitar jam delapan malam kami membawa Sandy ke rumah. Sandy kami ajak berputar-putar rumah dan sekitar lingkungan supaya lebih mudah baginya merasa nyaman, “This is your forever home, Sandy!” kataku padanya di pelataran belakang rumah yang baru saja jadi itu.

Tapi sekitar pukul sepuluh malam, sesuatu yang tak kami sangka terjadi. Waktu itu kami sedang nonton tv di atas bersama Sandy lalu tiba-tiba salah seorang dari kami (kami sepakat untuk tak mempublikasikan siapa) tiba-tiba mengeluhkan gatal-gatal di sekujur tubuh dan hidung yang berair. Setelah ditelisik, rupanya alergi itu bersumber bersumber pada bulu-bulu Sandy yang rontok.

Kami berpikir berbagai macam cara untuk mengatasi hal ini. Mulai dari mengakali untuk mengisolasi Sandy sementara waktu, membawa ke dokter untuk mengurangi bulu yang rontok dan beberapa alternatif lain. Tapi sepertinya keputusan untuk mengembalikan Sandy pada pemilik lamanya adalah yang terbaik.

Mumpung baru semalam!
Mumpung Sandy belum terlalu banyak beradaptasi dengan rumah dan kita! Mumpung kita belum terlalu lekat dan sayang kepadanya!

Hmm,tapi yang terakhir itu ternyata salah. Karena sejak sesaat setelah kami membuat keputusan bulat hingga saat tulisan ini kurawi, aku masih terus berusaha membangun kembali situasi hati supaya tetap tegar meski tanpa Sandy.

Semalam itu, aku dan Joyce tidur di sofa menemani Sandy yang tidur pulas di tempat tidurnya tepat di bawah sofa. Kami terjaga hingga hampir subuh tiba karena paham, malam itu adalah malam pertama sekaligus terakhir dengannya.

Pagi harinya sebelum mengantarkannya kembali, aku menemani Sandy jalan-kalan di sekitar rumah. Aku tak lagi menggunakan frase “Your forever home” tapi memintanya untuk menikmati sebelum kami mengantarnya pulang ke rumah pemilik lamanya.

Dalam perjalanan, anak-anak tak berhenti menangisi Sandy. Mereka minta supaya kami mengubah keputusan tanpa mereka sadar bahwa keputusan itu memang sejatinya sangat berat kami ambil tapi harus terjadi demi kebaikan bersama.

Sesampainya di rumah si pemilik lama, aku dan Joyce yang jatuh luruh, menangis sejadi-jadinya di depan pemilik lama saat menyerahkan Sandy dan peralatan-perlatan yang sudah terlanjur kami beli sehari sebelumnya.

Sandy sendiri langsung berlari masuk ke dalam rumah tanpa meninggalkan barang satu pelukan atau jilatan terakhir pada kami. Dan sebenarnya, meski berat untuk melihat tapi itulah yang ingin kami tahu bahwa Sandy bahagia meski kami harus membangun kembali hati untuk move on di hari-hari berikutnya.

Sandy menjadi anjing pertama bagi anak-anak dan anjing ke sekian bagiku dan Joyce meski tak sampai 24 jam kami berinteraksi dan memilikinya. Darinya kami belajar banyak hal. Tentang keluarga, tentang keteguhan dalam berkeputusan dan tentang bagaimana memanfaatkan waktu yang terbatas untuk cinta yang sejatinya tanpa batas…

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Keren om …enak dibacanya

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.