Bekerja untuk bule. Menakutkan?

23 Apr 2015 | Cetusan

Beberapa bulan lalu aku sempat ditawari pekerjaan lepas (freelancing), sebuah proyek pengembangan situs web milik seorang pengusaha di Australia.

Karena waktu yang sangat terbatas sementara kesibukan yang seolah tanpa batas, aku menolaknya tapi mencoba memberi arahan untuk menggunakan jasa seorang teman, sesama developer yang tinggal di Jogja (nggak usah nebak siapa orangnya, pasti salah!)

Awalnya, terlebih setelah tahu jumlah uang yang bakal didapat, kawanku ini amat bergembira. Tapi setelah ia tahu bahwa perusahaan yang menginginkan situs web itu milik seorang ?bule?, ia menolak tawaranku dengan alasan bahwa bekerja dengan bule itu merepotkan, banyak maunya dan maunya sempurna!

Aku tak menyalahkan alasannya karena aku pernah berada pada posisinya dan merasakannya. Sejak 1998 hingga 2008, di Jogja aku berkecimpung dalam dunia pengembangan situs web dan kebanyakan klien-ku adalah bule.

?Mas Donny bisa datang ke kantor saya sekarang?? tanya seorang klien dengan Bahasa Indonesia terpatah-patah, bule tentu saja.

?Bi? bisa, Pak!? aku langsung loncat ke atas motor dan menuju ke rumahnya yang terletak di selatan Jogja padahal waktu sudah menunjuk jam delapan malam lebih!

Atau pernah lagi seorang klien, bule juga, mengabariku bahwa situs webnya tiba-tiba tak mau bekerja padahal sembilan bulan pertama bekerja dengan baik dan login info untuk file transfer protocol sudah pula kuserahterimakan.

?Mas Donny tolong betulkan situs web saja, rusak nih! Kamu apain??

?Lah, Pak saya nggak tahu, kan username dan passwordnya sudah diganti Bapak berbulan-bulan yang lalu??

?Iya tapi tolong lah, ini saya sedang pameran di Swiss jadi banyak yang mau visit website saya! Kan sayang kalau mereka visit tapi error?!?

Ia lalu mengirimkan login info FTP-nya untukku dan ketika kucoba benahi, ternyata code milikku telah diganti secara banal!

Atau yang lebih parah lagi, masih bule nih, aku mengerjakan sebuah website miliknya, dari sejak awal pembuatan design, aku selalu mendapat persetujuan/approval tapi lalu tiba-tiba ketika sudah selesai, dengan santainya ia bilang, ?Kok kurang gimana gitu ya hasilnya??

Kalau sudah begitu, aku bisa jawab apa selain, ?Oh, jadi mau dibikin gimana lagi??

?Cobalah, Mas Donny dipikirkan lagi untuk bikin yang lebih bagus!?

?Iya, Pak tapi kan dari awal kita sudah setuju setiap tahap pengerjaannya??

?Iya? waduh gimana ya??? Garuk-garuk kepala, ?Manajermu namanya siapa? Aku mau telpon sekarang deh!?

Kalau sudah begitu kalian tahu kan seperti apa akhiran ceritanya?

Dari cerita-cerita di ataslah aku maklum dengan kekhawatiran kawanku tadi tapi persoalannya sekarang adalah, benarkah hanya bule yang seperti itu?

Bagaimana dengan klien yang bukan bule?
Atau? jangan-jangan manajer kita malah lebih kejam dari bule paling kejam sekalipun?!?

Marilah kita jujur pada titik ini bahwa yang banyak maunya, yang maunya sempurna dan merepotkan itu bukan hanya klien bule kita, tapi bisa jadi semua yang merasa punya hak untuk melakukannya karena perlindungan negara terhadap kita tak pernah bisa maksimal!

Lho kok tiba-tiba nembaknya ke negara?
Ya iya! Karena negara itu adalah regulator! Ia harusnya menjaga supaya hubungan antara perusahaan dan pegawai, hubungan antara klien dengan pegawai sebuah perusahaan, berjalan dengan baik, tak ada yang dikecewakan dan tak ada yang merasa lebih dimenangkan.

Tapi coba tengok soal peraturan jam kerja saja, misalnya.
Adakah sanksi yang otomatis akan dijatuhkan negara terhadap sebuah perusahaan kalau ada karyawan yang dipaksa kerja hingga larut malam tanpa kesepakatan tambahan gaji misalnya?

Atau, perlukah kita untuk punya kenalan Pak A dan Bu B terlebih dahulu di departemen tenaga kerja untuk kita bisa dimenangkan dalam kasus melawan perusahaan ataupun klien? Lalu bagaimana jika kita tak punya kenalan sama sekali? Akankah kita ditanggapi atau sekedar didiamkan lalu berujung pada komentar kita bahwa ternyata hukum memang tajam ke bawah dan majal ke atas?

Jadi jangan salahkan bulenya! Bisa jadi bule-bule yang ada di Indonesia memang bersikap seperti itu karena sama dengan perusahaan tempat kita bekerja, mereka tahu bahwa hukum bisa dimainkan dan ditawar-tawar!

Lalu bagaimana dengan pengalamanku berhadapan dengan klien bule di ?negara bule? seperti Australia ini?

Ketika pindah dulu, 2008, rasa takut itu pasti ada, malah lebih besar penampakannya ketimbang saat di Jogja yang hampir tiap hari juga berhadapan dengan klien bule.

Jangan-jangan mereka represif? Jangan-jangan mereka lebih semau-maunya sendiri?

Tapi anggapan demi anggapan itu sirna begitu saja. Kian kemari aku berpikir bahwa ketakutan dan kekhawatiran yang dulu pernah hingga itu adalah sesuatu yang sia-sia!

Ini lagi-lagi bukan karena bulenya tapi karena sistem peraturan yang terimplementasi cukup baik di sini.

Perlindungan terhadap tenaga kerja dilakukan pemerintah tanpa pandang bulu; semua dilaksanakan sebaik-baiknya dan seotentik apa yang tertuang dalam peraturan resminya.

Hal yang mungkin jarang ditemui di Indonesia tapi terjadi di sini; jika kita sedang berada dalam sebuah meeting, lalu tiba-tiba meeting terus bergulir melewati batas waktu kerja yang tertulis dalam kontrak kerja. Tiba-tiba kita bilang, ?Sorry guys, i need to go now!? dan tak ada seorang pun berhak melarang karena peraturannya memang demikian. Meski pada prakteknya, semua akan berakhir pada kompromi bagaimana kita mau mengorbankan waktu kita meski sedikit.

Atau mau yang lebih ekstrim lagi dan ini pernah terjadi dulu. Aku sedang bertemu dengan klien, lalu tiba-tiba Joyce telpon dengan paniknya bilang bahwa Odilia sakit dan ia merasa harus ke rumah sakit saat itu juga. Aku semula canggung untuk mengutarakan ini kepada klien, tapi karena tahu dilindungi hukum, dengan datar aku bilang, ?Sorry, but i need to go to hospital for my daughter now!? Alih-alih marah, mereka malah menawariku untuk memanggilkan taksi jika kuperlukan malah ada yang sampai rela menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang saat itu juga.

Tau kenapa? Di sini ada hukum tersirat meski tak tertulis, business is business but family (come) first!

Dan yang terakhir yang tak boleh ketinggalan dan menurutku sangat penting adalah dokumentasi kerja. Dokumentasi berisi kesepakatan kerja dari kedua belah pihak, kita dan klien (atau pada dokumentasi kontrak kerja antara kita dan perusahaan) adalah sebuah landasan yang bisa kita tarik panjang hingga ke pengadilan jika diperlukan.

Taruhlah kita terlibat dalam proyek.
Dokumen SoW, Scope Work, sangat penting karena hal itu adalah pedoman kerja kita pada proyek. Kapan proyek dimulai, apa saja prinsip-prinsip pengerjaannya, output proyek yang ditunggu klien, tenggat waktu pekerjaan dalam hitungan detail serta cost proyek. Semua tertera di situ.

Sehingga, jika dalam proses pengerjaan ada pihak yang merasa dirugikan, semua dikembalikan pada pembicaraan SoW document. Jika masih tetap tak merasa terselesaikan, bermodal dokumen itu, kita bisa menempuh jalur hukum untuk bisa diputuskan melalui pengadilan.

Jadi, masih takut kerja untuk bule?
Saranku, sebelum mengalamatkan rasa takutmu pada mereka, periksakanlah takutmu terhadap hal-hal yang lebih fundamental level ketakutannya, ?Apakah negara, pemerintah, melindungiku jika terjadi apa-apa dalam interaksiku dengan perusahaan dan klien??

Sekali-kali ubah mainsetmu, dari yang semula ?Jangan pikir apa yang telah negara berikan kepadamu tapi berpikirlah sebaliknya apa yang kau berikan pada negaramu!?,

menjadi sesuatu yang lebih revolusioner,

?Jangan ambil pusing pada apa yang kau berikan pada negaramu, tapi tuntutlah apa yang bisa diberikan negara kepadamu yang telah kau ongkosi dengan pajak yang kau bayar, darah dan keringatmu??

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Soalnya memang diimplementasi hukum. Teman saya duluu, pernah ribut sama bos (bukan bule) karena ternyata perusahaan tidak bayar jamsostek.Dia nuntut haknya tapi justru dia yang kalah setelah beberapa kali sidang di pemda.
    Paragraf terakhir itu mantap, Don.

    Balas
  2. btw malah jadi pengen tau, kalau gaya orang australia itu dalam memimpin timnya seperti apa sih kebanyakan?

    Balas
    • Ga bisa digeneralisasi sih tapi ya lebih santai :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.