Bekal hidup si anak panah

27 Sep 2010 | Agama, Cetusan

Namanya Margaret, anggap saja demikian, umurnya baru 21 tahun.
Posturnya ceking, berambut sebahu, berkacamata dan berpenampilan seperti layaknya ABG-ABG seusianya.
Ia berasal dari Vietnam oleh karenanya, kulitnya kuning langsat, bermata sipit dan bertulang pipi tinggi seperti kebanyakan dari kalangan mereka berasal. Tiga tahun silam ia dikirim ke Australia oleh orang tuanya untuk melanjutkan studi di bidang yang ia sukai, graphic design. Harapan orang tuanya, setelah lulus nanti ia akan kembali ke negara asalnya dengan posisi yang lebih baik dibanding teman-teman sepantarannya yang hanya mengenyam pendidikan ‘lokal’ saja.
Dalam seminggu terakhir, Maggy, demikian aku memanggil Margaret, duduk di komputer sebelahku untuk mendapatkan “working experience”, semacam Kerja Praktek dalam sistem perkuliahan Indonesia-nya. Sehari-hari ia tak banyak bicara. Hanya berucap “Good morning, Donny” berbasa-basi sebentar lalu selebihnya tenggelam di depan komputernya dengan setumpuk pekerjaan yang telah dipersiapkan oleh supervisornya.
Meski tak banyak bercakap, namun aku sering tak mampu untuk tak memperhatikannya dalam beraktivitas.
Kadang lewat sudut mata maupun pantulan screen computer yang ada di depanku, aku bisa mendapatinya dan terus terang saja aku terpana dibuatnya. Aku sangat suka memperhatikan ketika ia sedang mengernyitkan dahi dengan mata yang dipelotot-pelototkan ketika memperhatikan sesuatu baik dari kertas maupun layar monitor, maupun saat ia tiba-tiba bisa tersenyum sendiri dan dengan celetukan “gotcha!” atau “yes!” aku bisa merasakan ia tengah mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dari apa yang ia kerjakan! Singkat kata, memperhatikannya secara sembunyi-sembunyi adalah sesuatu yang menyenangkan.
Hey… kenapa kalian diam saja sambil senyum-senyum gitu bacanya?
Kau pikir aku jatuh cinta lagi dengan wanita lain selain istriku? Oh tidak :)

Aku tidak sedang berpikir untuk menambah istri maupun membagi hati… tapi justru dengan merasakan apa yang kurasakan di atas, aku harus menyadari ada yang ‘berubah’ dari hatiku. Ya, ketika memperhatikan Maggy, pikiranku selalu tertuju kepada Odilia, putriku.
Aku berpikir seolah-olah Maggy adalah Odilia yang akan kudapati pada 20 tahun yang akan datang.
Ketika melalui screen computer dan kucari-cari dimana wajah Maggy tercermin, disitulah aku merasa seperti mencari wajah Odi, kelak.
Akankah juga ia akan sama seperti Maggy yang memiliki semangat belajar nan tinggi, kemauan kerja yang keras termasuk keseriusan dalam setiap menerima tugas meski itu hanya dalam paparan “Working Experience”? Akankah Odilia nanti juga akan berprofesi dan berpendidikan sama dengan Maggy yang tekun di bidang seni? Atau malah ia akan jadi seorang seniman di bidang lain seperti musik misalnya?
Bicara tentang masa depan dan harapan kita terhadap anak memang sesuatu yang selalu menarik!
Terlebih anak sendiri, kita merasa seperti menggali diri sendiri dan lingkungan sekitar lantas mengambil hal-hal yang menurut kita positif , yang kita senangi, lalu menaruhnya ke dalam loyang adonan dan kita tuangkan ke sosok anak kita kelak. Sehingga ketika besar nanti, anak kita adalah paduan dari segala hal yang, sekali lagi, menurut kita baik dan positif.
Bagus? Iya… namanya juga harapan orang tua.
Tapi sebentar, adilkah itu?
Adilkah bagi diri si anak untuk ‘dicetak’ sedemikian rupa sesuai harapan orang tua dan seolah tak menyisakan space untuk dirinya mengembangkan diri sesuai keinginannya?
Bagiku itu tidaklah adil!
Bagaimanapun juga meski ia adalah seorang anak, ia adalah seorang yang kelak akan menjadi orang lain yang bukan buntut, bukan ekor yang selalu menempel di pantat kita. Anak adalah busur panah yang saat ini harus kita persiapkan sebagus, setajam dan segesit mungkin sehingga ketika semuanya sudah siap, sekali tarik ke belakang, lalu lepaskan ke depan dan Ia tak kan pernah ‘kembali’ ke kita untuk menerobos maju menantang masa depan!
Lantas kalau memang demikian, apa yang kemudian menjadi yang terpenting bagi orang tua dalam mempersiapkan ‘busur panah itu’? Bagiku dan istriku, menularkan nilai-nilai baik untuk bekalnya menghadapi kehidupan adalah yang terpenting. Aku tak melulu bicara agama adalah sesuatu yang harus dipegang teguh, akan tetapi kesadaran akan Tuhan dan poin-poin Katolisitas (hal-hal kebenaran yang termaktub dalam ajaran agama Katolik) adalah sesuatu yang tetap harus Odilia pertahankan sampai kapanpun itu. Kejujuran, kesabaran serta berlaku yang terbaik bagi diri sendiri dan sesama adalah tiga hal yang harus sebanyak mungkin kami sampaikan kepadanya sehingga ketika ia dewasa dan busur telah dilepaskan, ia telah mendapatkan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Lalu selebihnya adalah bagaimana menitipkan ruang kosong yang bernama keillahian dalam diri Odi untuk setiap sesuatu yang tak pernah terjawab karena memang kehidupan ini sejatinya selalu menyisakan tanda tanya hingga akhir masa?
Ah sudah lah.. aku tak mau memperpanjang tulisan ini lagi..
Semakin banyak menumpahkan abjad di tulisan ini, aku merasa mendadak semakin tua…

Sebarluaskan!

19 Komentar

  1. Good Papa !! :D
    Memang sejatinya orang tua itu hanyalah mempersiapkan anak untuk mencapai panggilan hidupnya. Mendampingi anak agar dia menemukan bakat dan mengasah keahliannya dengan memfasilitasinya dengan baik. bukan “mencetak”nya menjadi bentuk yang kita inginkan.

    Balas
    • Sepakat .. “memfasilitasinya dengan baik. bukan ?mencetak?nya menjadi bentuk yang kita inginkan.” lucunya banyak yg terjebak karenanya orang tua banyak yg “mencetak” seperti yg mereka inginkan.

      Balas
    • @Riris dan @Dr Acer: Thanks :) Aku mencoba untuk menjadi yang terbaik.. :)

      Balas
  2. Don, benar katamu …
    Sebagai orangtua kita hanya mempersiapkan kapan sang panah siap dilepas..
    Dengan persiapan yang matang, bekal pendidikan, moral, agama yang cukup…percayalah sang anak panah tadi akan menemukan habitatnya…
    Yang penting kita berharap mereka bahagia Don..karena justru kebahagiaan ini yang paling penting dari semuanya.

    Balas
    • Aku jadi teringat beberapa entrepreneur lokal jugua non lokal, mereka mengedepankan kebebasan berpikir dan anti doktrinisasi sebagai anak panah jelas hal ini penting. Mengambil semua experience yang didapat hanya sebagai referensi bekal hidup. :)

      Balas
  3. Hahahahaaa…
    Aku suka membaca tulisanmu yang seperti ini Don. Tulisanmu selalu bisa membawa pembaca masuk ke dalam situasi itu.
    Hei…. u should write a novel. Aku akan jadi orang pertama yang beli. :)

    Balas
    • I Agree, nice post mas DV, pembaca seakan terhanyut cerita layaknya novel :) Hanya sedikit penulis yang mampu membawa pembacanya hanyut dalam alur cerita …

      Balas
      • Doakan akhir tahun ini buku ke dua gw rilis.. Bukan novel tapi kumpulan artikel pendek bareng dua temen blogger lainnya :)

        Balas
        • Mau dong ikutan tapi artikel ku ada yang pas ndak yah O_o

          Balas
        • eh novelmu cepetan hihihi

          Balas
          • ditunggu yaa.. :D *ngelirik Femmi

            Balas
  4. Seorang anak adalah tanggung jawab orang tua, dan orang tua harus mendidiknya dengan baik menjaga pertumbuhannya dengan baik, dan memberikan ilmu yang baik yang bermanfaat bagi masa depannya nanti!
    Bali Villas Bali Villa Villas in Bali

    Balas
  5. Aku sepakat mas DV, biarpun sebg oarang tua namun sang anak panah berhak secara mutlak memilih masa depannya. Sedangkan kita (kecuali saya , masih muda soalnya :P) hanya sebagai referensi belaka. :D
    Anyway, sang anak panah udah berapa umurnya mas DV?

    Balas
  6. Aku jadi ingat papa mamaku. Dengan segala daya dan kemampuan (bahkan meski dalam keterbatasan, sometimes) mereka mendukung proses kami sampai dewasa, dan mereka nggak pernah sekalipun memaksakan kami untuk sekolah di sekolah/universitas tertentu. Dibiayai, ya! dipaksa masuk ke jurusan tertentu, Tidak pernah!
    Lain betul dengan beberapa orang tua muridku yang kukenal, mereka paksa anak-anak mereka untuk les ini itu, supaya bisa jadi ini itu sesuai keinginan mereka, tanpa sadar anak-anak menjadi stress dan tertekan..

    Balas
  7. Setuju, Om, memberi bekal dasar bagi anak-anak untuk kemudian dilepaskan secara merdeka biar menancap pada sasaran yang ia ingini.

    Balas
  8. postingan yang menarik, mas don. dari margaret ke anak panah, sebuah imajinasi sekaligus analogi yang pas, bagaimana sikap ortu dalam mempersiapkan masa depan putra-putri tercinta. konon, memang ortu yang baik tak harus menjadi pemanah busur sang anak. anak2 memiliki dunianya sendiri. sebab, anakmu bukanlah anakmu, ujar khalil gibran.

    Balas
  9. saya suka paragraf kedua dari bawah.. selalu ada yang tidak bisa dijelaskan dalam hidup ini, karena itu biarlah demikian..
    Mengenai anak, rasanya memang selalu menyenangkan membicarakan tentang dia. Sering saya baru sadar, seperti inilah mungkin orang tua menyayangi saya ketika masih kecil dan perasaan itu secara tidak langsung membuat saya tersadar betapa besar kasih sayang orang tua dan rasanya sulit terbayarkan.

    Balas
  10. wis sak iki aku percoyo nek sampean wis dadi bapak mas dab hehehe amargo cara pandangmu kui aku wis tau ngalami nek mbiyen jaman rung duwe anak sempet memandang *rodo mesum ning mbasan nduwe anak mesti di kaitne karo anak hehehe aku melu ndonga ake mugo odilia suk ya nduwe semangat luar biasa eh itungane wis pitungsasi yo mas dab kudune wis medun lemah ( tedak sinten )
    awak dewe oleh memfasilitasi anak ning yo ora njur mbatesi karepe anak
    sip mugo kepinterane bapakne nurun nang anak “

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.