Suatu waktu, dua puluh lima tahun silam, Nenekku berkeinginan menebang pohon duwet (anggur Jawa) yang sudah tua dan tak berbuah lagi. Baginya, pohon tua yang sudah tak berbuah lagi, jika dibiarkan hidup konon hanya akan jadi sarang gendruwo/hantu saja. Maka iapun bertanya pada salah satu tetangga yang berprofesi sebagai tukang kayu, bilamana ia memiliki kenalan yang bisa menolongnya untuk menebangkan pohon duwet itu tadi?
Dua hari berlalu dan di satu siang yang terik, empat pria setengah baya, masing-masing membawa sepeda lengkap dengan rombongnya (bak di kanan kiri sepeda terbuat dari jalinan bambu) datang ke rumah untuk menanyakan apakah nenekku jadi menebang pohon.
“Lho, kok banyak sekali yang datang? Saya cuma butuh seorang saja.. takut mahal biayanya.” tukas nenekku yang bukannya pelit berkata demikian tapi memang keadaan ekonomi yang mendesaknya saat itu.
“Oh, nganu, Bu. Kami ini nggak nuntut uang malah kami yang mau menawar berapa duit yang harus kami bayar untuk dapat nebas pohon duwetnya Ibu.” Wealah, alih-alih disuruh membayar, yang ada justru sebaliknya, Nenekku hendak dibayar atas pohon duwetnya.
Tapi, berbeda dengan nenekku, beda pula dengan temanku yang hendak kuceritakan kisahnya di bawah ini. Jika nenekku dibayar karena ia hendak menebang pohon, temanku ini justru sebaliknya, harus membayar sedemikian banyak hanya untuk menebang pohon yang tumbuh di petak tanah yang hendak ia banguni rumah di atasnya.
Anggaplah namanya Jarwo, temanku itu tadi. Setahun silam, kuingat betul ia pusing tujuh keliling gara-gara sebatang pohon GumTree (eucalpytus; tanaman khas Australia yang juga tumbuh di Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua) berdiameter dua meter dan tinggi sekitar 10 meter tumbuh dengan sehatnya tepat di tengah lahannya. Bukannya ia tak berpikir sebelum membeli tanah itu, tapi Ia yang berasal dari Indonesia, semula berpikir pula dengan cara Indonesia bahwa perkara menebang pohon ya paling repot cuma memanggil sang penebang, ditebang dan beres!
Tapi beres-nya ternyata tak semudah ‘beres’ itu.
Ia butuh waktu, tenaga dan biaya. Mula-mula ia harus menghubungi council (semacam kantor kecamatan) apakah pohon itu termasuk yang dilindungi atau tidak. Dan sialnya, ternyata benar, pohon yang menjulang tepat di tengah-tengah tanahnya itu adalah salah satu dari sekian banyak pohon yang dilindungi untuk tetap hidup di kawasan councilnya. Ia tak habis akal. Ia memakai jasa pengacara untuk memperkarakan pohon itu ke pengadilan.
Setelah menyelesaikan tata administrasi perkara, majulah ia ke pengadilan dengan harapan di akhir keputusan, Sang Hakim berpihak padanya dan ia bisa menebang pohonnya. Proses pengadilan ternyata berlangsung alot, butuh sekitar 4 bulan sebelum ketok palu. Dan meski pada akhirnya ia menang, pohon boleh ditebang, ia harus membayar ongkos ganti sebesar 20 ribu dollar Australia ?atau sekitar 180 juta rupiah dengan estimasi satu dollar Australia seharga 9000 rupiah kepada pemerintah melalui council-nya.
Dipikirnya selesai kasus pohon hingga di situ, iapun mulai mempersiapkan tenaga-tenaga profesional untuk menebang pohon. Tapi alangkah kagetnya ia ketika pada suatu sore, sepucuk surat dari council datang menyatakan bahwa ada tata-cara penebangan pohon yang harus ditaati terkait dengan kondisi spesifik si pohon. Atas pertimbangan tuanya usia si pohon, council mewajibkan Jarwo untuk melakukan penebangan pohon dengan metode tree surgery, suatu cara untuk membunuh pohon secara perlahan lalu mematikan syaraf tertentu pada akarnya hingga langsung.. dood!
Masih karena uzurnya si pohon, council menyatakan bahwa banyak binatang telah ?menggantungkan hidup? nya pada pohon itu tadi. Oleh karenanya, Jarwo harus memastikan bahwa dua minggu sebelum hingga seminggu sesudah pohon itu dimatikan, ia harus memasang sebuah box untuk menangkap para binatang yang kebanyakan adalah burung itu tadi lalu memberikannya pada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang telah ditentukan.
Total jendral, Jarwo akhirnya harus merogoh koceknya tak kurang dari 30 ribu AUD atau sekitar 270 ?juta rupiah!
Aku tak habis pikir dan bersyukur betapa nenekku tidak tinggal di sini, karena kalau tidak tentu ia sudah harus menanggung hutang yang sangat besar hanya demi merobohkan sebatang pohon di tengah petak tanah yang ia beli dengan uangnya sendiri.
Aku tak bilang bahwa kenyataan yang dihadapi si Jarwo adalah sesuatu yang buruk dan tak masuk akal karena pada kenyataannnya memang demikian adanya. Tapi, ada satu pikiran yang tiba-tiba muncul terkait dengan hal di atas, bahwa atas nama konservasi alam dan penyelamatan lingkungan, kita terkadang cenderung bertindak terlalu ekstrim.
Ekstrim merusak, dan ekstrim memeliharanya?
Dua hari berlalu dan di satu siang yang terik, empat pria setengah baya, masing-masing membawa sepeda lengkap dengan rombongnya (bak di kanan kiri sepeda terbuat dari jalinan bambu) datang ke rumah untuk menanyakan apakah nenekku jadi menebang pohon.
“Lho, kok banyak sekali yang datang? Saya cuma butuh seorang saja.. takut mahal biayanya.” tukas nenekku yang bukannya pelit berkata demikian tapi memang keadaan ekonomi yang mendesaknya saat itu.
“Oh, nganu, Bu. Kami ini nggak nuntut uang malah kami yang mau menawar berapa duit yang harus kami bayar untuk dapat nebas pohon duwetnya Ibu.” Wealah, alih-alih disuruh membayar, yang ada justru sebaliknya, Nenekku hendak dibayar atas pohon duwetnya.
Tapi, berbeda dengan nenekku, beda pula dengan temanku yang hendak kuceritakan kisahnya di bawah ini. Jika nenekku dibayar karena ia hendak menebang pohon, temanku ini justru sebaliknya, harus membayar sedemikian banyak hanya untuk menebang pohon yang tumbuh di petak tanah yang hendak ia banguni rumah di atasnya.
Anggaplah namanya Jarwo, temanku itu tadi. Setahun silam, kuingat betul ia pusing tujuh keliling gara-gara sebatang pohon GumTree (eucalpytus; tanaman khas Australia yang juga tumbuh di Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua) berdiameter dua meter dan tinggi sekitar 10 meter tumbuh dengan sehatnya tepat di tengah lahannya. Bukannya ia tak berpikir sebelum membeli tanah itu, tapi Ia yang berasal dari Indonesia, semula berpikir pula dengan cara Indonesia bahwa perkara menebang pohon ya paling repot cuma memanggil sang penebang, ditebang dan beres!
Tapi beres-nya ternyata tak semudah ‘beres’ itu.
Ia butuh waktu, tenaga dan biaya. Mula-mula ia harus menghubungi council (semacam kantor kecamatan) apakah pohon itu termasuk yang dilindungi atau tidak. Dan sialnya, ternyata benar, pohon yang menjulang tepat di tengah-tengah tanahnya itu adalah salah satu dari sekian banyak pohon yang dilindungi untuk tetap hidup di kawasan councilnya. Ia tak habis akal. Ia memakai jasa pengacara untuk memperkarakan pohon itu ke pengadilan.
Setelah menyelesaikan tata administrasi perkara, majulah ia ke pengadilan dengan harapan di akhir keputusan, Sang Hakim berpihak padanya dan ia bisa menebang pohonnya. Proses pengadilan ternyata berlangsung alot, butuh sekitar 4 bulan sebelum ketok palu. Dan meski pada akhirnya ia menang, pohon boleh ditebang, ia harus membayar ongkos ganti sebesar 20 ribu dollar Australia ?atau sekitar 180 juta rupiah dengan estimasi satu dollar Australia seharga 9000 rupiah kepada pemerintah melalui council-nya.
Dipikirnya selesai kasus pohon hingga di situ, iapun mulai mempersiapkan tenaga-tenaga profesional untuk menebang pohon. Tapi alangkah kagetnya ia ketika pada suatu sore, sepucuk surat dari council datang menyatakan bahwa ada tata-cara penebangan pohon yang harus ditaati terkait dengan kondisi spesifik si pohon. Atas pertimbangan tuanya usia si pohon, council mewajibkan Jarwo untuk melakukan penebangan pohon dengan metode tree surgery, suatu cara untuk membunuh pohon secara perlahan lalu mematikan syaraf tertentu pada akarnya hingga langsung.. dood!
Masih karena uzurnya si pohon, council menyatakan bahwa banyak binatang telah ?menggantungkan hidup? nya pada pohon itu tadi. Oleh karenanya, Jarwo harus memastikan bahwa dua minggu sebelum hingga seminggu sesudah pohon itu dimatikan, ia harus memasang sebuah box untuk menangkap para binatang yang kebanyakan adalah burung itu tadi lalu memberikannya pada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang telah ditentukan.
Total jendral, Jarwo akhirnya harus merogoh koceknya tak kurang dari 30 ribu AUD atau sekitar 270 ?juta rupiah!
Aku tak habis pikir dan bersyukur betapa nenekku tidak tinggal di sini, karena kalau tidak tentu ia sudah harus menanggung hutang yang sangat besar hanya demi merobohkan sebatang pohon di tengah petak tanah yang ia beli dengan uangnya sendiri.
Aku tak bilang bahwa kenyataan yang dihadapi si Jarwo adalah sesuatu yang buruk dan tak masuk akal karena pada kenyataannnya memang demikian adanya. Tapi, ada satu pikiran yang tiba-tiba muncul terkait dengan hal di atas, bahwa atas nama konservasi alam dan penyelamatan lingkungan, kita terkadang cenderung bertindak terlalu ekstrim.
Ekstrim merusak, dan ekstrim memeliharanya?
wahahaa, ngeri baca kisahnya si Jarwo, kalo di Indonesia duit segitu udah bisa bikin rumah lagi yang lumayan bagus.
Saya setuju kalo kita emang terlalu ekstrim, termasuk ekstrim mengkomen :P
Eh dab, kok font-nya rumangsaku agak aneh, ada yang kecil ada yang besar, emang disangaja yak?
Glek, maturnuwun….
bener katamu fontnya emang besar kecil soalnya semalam aku pake notepad trus ku paste trus kuedit lagi di notepad dan ku paste ulang ;)
Sekarang udah betul harusnya :)
wah3x, tu duit cuma buat nebang satu pohon. mending buat ane, ane beli hama,seranggga pemakan pohon,zat2 kimia buat ngeracunin akar, hancur dah tu pohon. masih sisa duitnya 100 juta hahahha
Heheheh yg 100 juta buat beli mobil. Ya ngga?
hehe aku mau minta tolong.apa nama racun pembunuh pohon?karena saya juga kerepotan nyapu daun kering dari 3pohon besar di pekarangan rumah ku.suami bersikeras mau memelihara tuh pohon,tapi saya ingin membunuhnya secara diam diam.tolong ya cara yang paling jitu dan tidak ketahuan oleh siapa siap.trims
Wuaah!! *njondil*
270 juta buat nebang pohon? Kenapa pohon itu nggak dibiarkan saja, dan justru dijadikan bagian eksotis dari rumah yang dibangun? Lagipula, punya pohon yang diameternya 2 meter, itu hebat sekali lho! Wahh … Mas Jarwo kok nggak minta pertimbanganku sih (emang elo siape … hihihi …)
Don, bahasamu sudah bener ya, ‘dibanguni’ rumah? Weh … kok rodo aneh. Kuwi rak seko boso Jowo ‘di-deki’ to, podo karo ‘ditanduri’, dll? Tapi ‘dibanguni’? Ah! *gedhek-gedhek*
Sengojo mbikin kata yang kontroversial (halah) supaya njenengan komen kok, Bu… :))
Tak tahu lah harus berkata apa… itu duit beneran tuh? Aje gile. Memang sarap itu hakim, main peras aja. Tau begitu harusnya diracun aja sendiri, layu layu sendiri, ga ada yang terlalu memperhatikan. Masa diperiksa terus pekarangan masyarakat setiap hari -_-…
Btw, kalo memang tanaman dilindungi kenapa gak suruh mereka cabut aja seakar akarnya, terus dipindahin? Wong cuman 10 meter :)
Beneran lahh :)
Tapi denger2 di US sana lebih kejam ya?
Katanya kalau daun menjulur dikit aja ke jalan kena denda seceng? :) Bener ngga tuh?
mending rasah ditebang wae pohone..
sayang duite..tur kan mesakke hewan-hewane jadi tergusur
Don, kok rasanya aku setuju dengan keputusan hakim itu ya? Kupikir, kalau lingkungan tidak dilindungi, dan orang dg mudah menebang pohon, alam akan mudah rusak. Mungkin jika dilihat dari uangnya, besar sekali ya. Tapi aku mikirnya, kalau dunia ini sudah rusak, investasi yang dibutuhkan akan jauh lebih banyak lagi. Kita manusia kan memang sudah tugasnya memelihara alam, bukan merusaknya. Mungkin ini kesannya ekstrim dlm memeliharanya. Tapi bukankah manusia juga sudah sangat ekstrim dalam merusaknya? (Spt yg kamu tulis di kalimat terakhir.) Itu harga yg harus dibayar…
Lagipula kalau mau membangun rumah, kenapa temanmu itu tidak memilih tempat yang memang sudah disediakan untuk lahan perumahan saja? Dan kalau mau membeli dan membangun rumah di sana, kan bisa tanya2 dulu gimana aturannya? Mestinya kalau dia beli tanah dengan pohon sebesar itu, dia sudah tahu konsekwensinya dong… Teliti sebelum membeli. (Ah, aku sok tahu kali ini hehehe)
Kris,
pendapatmu ada bener dan tidaknya…
Dari sisi idealisme sebagai pelestari lingkungan, well putusan hakim itu benar…
Tapi, pada kenyataannya si Jarwo tadi mbangun rumah ya di lahan yang memang dijual untuk dibanguni rumah. Di sini sangat tidak memungkinkan sekali kalau orang bisa mbangun rumah di lahan yang tidak diijinkan untuk dibanguni…
Begitu kira2, Mbakyu hehehe
di sana hakim-e gak bisa disogok toh Don? Hebat ya? Terus duit segitu gede masuk kas council ya, kalau pengelolaannya bener pasti berpengaruh untuk kenyamanan publik ya? Ck ck ck..jadi ada keuntungan-keuntungan dari peraturan itu.
1. Yang pertama, alam tetap terjaga (mudah-mudahan tetap seimbang)
2. Yang kedua, mendatangkan income untuk council asal tidak disalahgunakan pasti kembali untuk rakyat juga kan ya?
3. Yang ketiga, akan memperkecil lingkup orang-orang yang hobby membalat hutan (hayah..makin melantur), maksudku..makin sedikit orang yang berani semena-mena kepada alam.
Ekstrim gak ekstrim, rasanya kita semua harus mulai menghargai alam ya, apalagi di negara yang banyak hutan gundulnya (hayoo..negara mana itu?)
Hehehehe aku nggak bisa ngejawab apakah sistem pemerintahan di sini benar2 bersih 100% :) Tapi sejauh yang kutahu, garansi 100% itu hanya mampu diberikan oleh Tuhan, to? :)
Jadi inget cerita seorang kawan yang harus berurusan dengan pengadilan setempat, gara-gara gak sengaja mobilnya nglindes tumbuhan yang baru tumbuh di tepi jalan di Arab saudi
Oh kupikir kamu mau bilang kalau kamu tiba2 inget aku yang belum bayar STNK Supra hehehe
Yang lain2 saya masih bisa mengerti, tapi bagian yang saya kutip diatas itu sinting! :evil:
Hehehe, itu cuma istilah dan ekstensifikasi kata “tebang pohon” kok, Bro…
harga pohonnya….ampuuun daaah…. ;-) tapi saya bener bener kagum ama pemerintah disana…sampai hal kecil pun dipikirkan…itulooh, binatang binatang yg bergantung hidup dari pohon itu aja mereka pikirkan kelanjutannya…apalagi manusia yaa…..
Hehehehe, betul itu!
Tapi kadang ya tampak repot juga karena aku merasa binatang terlalu dilindungi :)
itulah bedanya Indonesia dengan negara lain, diluar gak berharga mahal disini bisa selangit. di Indonesia murah malah cenderung gak laku, malah diluaran sana diagung-agungkan. di Sidney nebang penuh prosedur yang berliku, di Indonesia tinggal dibalak dimana2 malah pemerintahnya seperti di acuhkan. Itulah Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. :lol:
salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Semoga kita tidak hanyut dalam pembandingan yang buta, Mas…
Justru semoga pemaparan tulisan saya ini bisa jadi ya.. setidaknya riak dalam membangun Indonesia yang anda dan saya cintai ini…:)
Saya jadi ingat quote menarik “Semua yang berlebihan tidak baik, kecuali ibadah (tentunya)” :)
Betul itu. Mas Bro! :)
Gile mahal bener ya. Kalau aku mending pohonnya dibiarkan saja jd hiasan rumah drpd semahal itu.
Tp ada baiknya kita emg hrs tahu jg tata cara di negara orang ya..
Masalahnya kalau dibiarkan akan merusak rencana yang sudah disetujui para tetangga… ( di sini mengatur rencana pembangunan rumah pun harus dapat persetujuan dari seluruh… skali lagi, seluruh tetangga…)
ribet kan :)
another sharing:
hati-hati kalo beli tanah di irian, karena yang dijual hanya “tanah”nya tdk termasuk pohon yang ada di dalamnya, jadi kalo kita menebang pohonnya akan di”tagih” sama ex empunya tanah
juga kalo beli tanah harus benar-benar teliti dalam pembuatan perjanjiannya, krn kalo tdk jelas bisa bisa ditagih lagi dr ex empunya tanah saat menggali tanah untuk fondasi, dan mereka cuma bilang “kan beli tanah.. ya itu yg kami gali itu tanah (yg kamu beli)”
Hahahahahaha.. ceritanya menarik!
Komentarmu memperkaya kontenku, Bro.
Suwun!
aku juga mau komen senada dengan Broneo di atas, bahwa di beberapa daerah di Indonesia harus detail menyebutkan antara beli rumah dan beli tanah. Bila kita beli tanah, itu artinya kita hanya beli tanahnya saja, sementara bangunan yang ada di atasnya tidak termasuk, atau sebaliknya jika kita hanya beli rumah, maka tanah (lahannya) tidak termasuk.
saran nih buat temanmu itu Don, daripada mengeluarkan uang banyak buat menebang pohon itu, mending dibikin saja rumah pohon. lebih eksotis kayaknya, hehehe… :D
yups… aku setuju denganmu, segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik; terlalu berhati-hati ataupun terlalul sembrono… :)
hmmm… menarik sekali
Saya jadi ingin komentar lagi tentang kondisi di jalan2 besar yang baru di daerah denpasar dan sekitarnya, dimana banyak terdapat bangunan2 besar yang baru dan juga ruko2. Yang saya sedih, begitu besar dan luas bangunannya, tak ada satu pun pohon perindang disana. Saya tidak tahu apakah ketika mengurus IMB ada persyaratan tertentu agar sekian persen lahan digunakan untuk kebun atau pohon perindang.
Kebayang gimana sewotnya masyarakat Aussie yang bikin peraturan njelimet begitu hanya untuk menebang pohon kalau melihat kenyataan yang ada di Indonesia. Jaman aku masih kecil, di Riau setiap hari ratusan truk kayu gelondongan diameter 1-2 m hilir mudik tanpa ada yang meributkan. Jaman sekarang, diameter kayu yang diangkut sudah menyusut hingga paling-paling 0,5 m aja. Tapi tetap aja penebangan kayu berjalan dengan peraturan yang longgar mengenai perijinannya.
Anyway, menurutku peraturan yang dibuat council tempat tinggal temanmu itu memang sedikit berlebihan. Terkesan Parno…
saya kagum ama pemerintah sana. sebaiknya memang temanmu ini mempertimbangkan untuk membangun bersama dengan si pohon itu. saya pribadi suka rumah yang banyak pohonya, apalagi pohonya udah gede. sayang dipotong.
terlalu mahal!! mending beli lombok dan tomat buat nyambel…
“Ekstrim merusak, dan ekstrim memeliharanya?”
Baguslah… seimbang kalau begitu. Kalau disini kan masih banyak merusaknya daripada melihara.
seharusna tidak buleh ekstrim menabng pohon heheh merusaknya,,,
berkunjung dan ditunggu kunjungan baliknya
salam blogger
makasih
:D
saya baru tau kl urusan pohon aja bisa seribet ini.. ada lagi yg namanya tree surgery, mematikan pohon secara perlahan dan mematikan syaraf tertentu.. walah pusing hehe..
apalagi bisa sampe masuk pengadilan dan bayar ratusan juta. membingungkan :mrgreen:
duit segitucuma bwt nebang pohon??
wah wah wah
Aku pernah nonton channel TV luar…disc*very channel kl ga salah.. di situ ada seorang warga yang berperkara dengan pengadilan “hanya” gara-gara dia memangkas dahan pohon di pekarangannya sendiri. (mesakke wes simbah-simbah) kupikir, itu hanya formalitas, tapi baca postinganmu in, wadezig!! aku mak njenggirat, weh, ternyata tenanan to proses dan biaya unutk mengeksekusi sebatang pohon itu njlimet dan mahal!
Busyet deh…Rp.270 juta? Wahh udah bisa dapat rumah KPR tuh….tinggal masuk aja.
Dan akhirnya Jarwo tetap menebang pohon tadi?
Don, di Jakarta, saat mau ijin IMB juga harus disetujui tetangga, minimal di depan rumah, di kiri kanan rumah dan belakang rumah. Juga gambar rencana IMB harus diberikan agar tetangga memahami seperti apa kira-kira nanti bentuk bangunannya dsb nya.
keren! salut dgn pemerintah Australia. coba kalo peraturan itu diterapkan di sini.. bakal hijau nih Indonesia
sebenarnya peraturannya bagus toh?
mencegah supaya orang gak sembarangan dengan alam.
tapi temen kamu yang sialnya ndak tahu peraturan dari awalnya hahaha…
kata suamiku, dia lebih tahu hukum jerman daripada di indonesia wkwkwkwk…
soalnya di sana ikut peraturan berarti tidak bermasalah.
apakah itu kejadian nyata di Australia? Terlalu merepotkan ya
Urusan nebang pohon yang tumbuh di tanah sendiri begitu rumitnya disini, Don. Kalo dikita gak ribet ya. Sukurlah saya masih di Indonesia.
owww…mahalnya gile bener!! udah bisa buat bangun rumah tu duitnya…ck ck…tapi salut ya buat perlindungan alamnya di sana..coba di tempat kita jg seperti itu..pasti g ad lg illegal lodging ya
Hi Don, ceritanya ” Si Jarwo” itu kok mirip sekali dengan ceritanya parentsku ya…Ya mahalnya, ya troublenya…Apakah “Jarwo” itu merupakan singkatan dari Joyce / Rina / Wibowo ? :)
betul banget tuh mas…
aku jadi inget penggundulan hutan2 di wilayah riau demi SAWIT!
dan kejadian pohon yg menghalangi wirelessku put susahnya minta ampun untuk ditebang kudu naik ke direktur chevron langsun…wakakaka…
akhirnya bukan pohon yg di potong tapi wirelessku yg ditinggiin :D payah bgt!
Duuh, kenapa nggak dipindahkan saja? Tanaman juga “hidup”, kenapa tiba-tiba mesti dibunuh hanya karena manusia yang butuh…
wah… pemerintah semakin aneh saja…. hehehe
its a great article, lets see https://news.unair.ac.id/2019/08/04/wujudkan-cinta-lingkungan-dengan-tanam-ribuan-pohon-di-unair/?lang=id