Kalian tahu bancakan?
Ide dasarnya adalah syukuran biasa, menyuguhkan nasi tumpeng (biasanya bukan nasi kuning), suwiran ayam, ikan teri, aneka jenis sayuran seperti bayem, kecambah, kacang panjang yang dirangkum dalam nama gudhangan, sambal hitam, telur rebus diiris kecil-kecil serta gudhe… sesuatu yang aku hanya bisa menyebutkan tapi tak mampu mendeskripsikannya dalam kata-kata apalagi mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia.
Yang lantas membedakan bancakan dengan syukuran lainnya barangkali adalah karena bancakan ini melibatkan anak-anak, dan bukannya orang tua, sebagai audiensnya. Bancakan biasanya diadakan dalam rangka memperingati hari lahir. Bisa sepasar (lima hari dalam hitungan Jawa), selapan (35 hari) bisa pula pada acara ulang tahun anak-anak.
Tata caranya, para audiens yang anak-anak itu dikumpulkan di satu tempat, biasanya di depan pintu dapur rumah si pembuat acara. Lalu, si pemilik acara memberikan ‘pidato singkat’ terkait dengan ucapan syukur yang diujubkan dan diakhiri dengan permintaan aklamasi dari semua yang hadir “Dadi, adik-adik nyuwun dongane nggih..!” Dan audiens yang sudah nyaris meleleh air liurnya di sudut bibir melihat nasi bancakan di depan mata itupun tergesa-gesa berucap “Nggihhhhhh!!!!!” demi semakin cepatnya pincukan daun pisang berpindah tangan…
Nah, hari Sabtu kemarin, meski berbeda tempat, akan tetapi orang tuaku nun jauh di Klaten sana mengadakan bancakan untuk memperingati selapanan (35 hari kelahiran) Odi, anak pertamaku. Bagi Papa dan Mama, bancakan adalah salah satu ritual penting yang tak bisa tidak harus dilakukan karena kami adalah orang Jawa.
Ide bancakan yang digulirkan pertama kali ketika Odi masih berusia sekitar satu minggu itupun lantas memantik syaraf nostalgiaku. Tak mau kehilangan momentum, sabtu pagi kemarin aku berkirim sms ke Citra, adikku, supaya mem-foto prosesi bancak’an yang akan diselenggarakan sore harinya. Aku ingin menunjukkan seperti apa bancak’an itu pada istri dan ibu mertuaku selain aku ingin pula merasakan ‘spirit’ bancakan yang telah begitu lama mengendap di kerak dasar otakku.
Tapi yang menjengkelkan, bahkan hingga minggu sore tak ada sms balasan apalagi liputan foto yang kuharapkan dari Citra.?Hingga akhirnya akupun menelpon Mamaku pada minggu malam hanya sekadar untuk bertanya bagaimana jalannya bancakan kemarin.
“Halo, Ma… piye bancakanne wingi?” tanyaku.
“Wah, ya berjalan dengan bagus Le…”
“Oh ya? Citra motret bancakanne tho? Ku sms kok ora mbales lho!”
“Lho, apane yang harus dipotret?”
“Bancakane, anak-anaknya yang pada datang dan ngumpul itu…”
“Oh, kita nggak ngadain kayak gitu…”
“Lha?”
“Nasi bancakannya dimasukkan ke box trus dibagikan ke tetangga..”
“Lho? Lha namanya bancakan kan harus ada anak-anaknya tho?”
“Wah, kamu nggak tau ya.. di sini sekarang nggak ada anak-anak kecil, Don..”
“Eh, moso?”
“Iya…”
Seribu topan badai, berita tentang ‘nggak ada anak-anak kecil’ di kampungku itu begitu menyengat dan menerbitkan begitu banyak tanya, apakah benar dan jika iya kenapa sampai demikian?
Sejenak aku terdiam sambil mencoba mereka-reka omongan Mamaku tadi. Dan sayangnya, setelah beberapa saat merenung, berpikir dan menghitung, aku harus setuju dengan omongan Mama bahwa pada kenyataannya dalam perhitunganku memang tidak ada anak-anak kecil lagi di kampungku yang bernama Tegal Blateran itu saat ini.
Anak-anak kecil yang kumaksud adalah mereka yang berusia sekitar 0 – 10 tahun, ‘produk’ dari kami yang 30 – 20 tahun silam menjadi anak-anak kecil juga di kampungku.
Padahal, awal 80-an silam, boleh dibilang setiap rumah di kampungku memiliki setidaknya satu anak kecil.?Hampir setiap hari kami selalu bermain bersama memainkan hal-hal sederhana namun selalu menjadi media yang efektif untuk menjalin pertemanan. Sebut saja sepakbola, neckeran (gundu), pandhe (adu batu), benthik, kasti bahkan mandi dibawah siraman hujan pun menjadi satu hiburan yang terasa begitu menakjubkan sukacitanya meski pulang berbasah-basah berarti jeweran dan amukan Mama menantiku.
Dan kalau bicara soal bancakan, rombongan kami inilah yang selalu memenuhi areal acara dan menghabiskan hingga tandas pada nasi bancakan yang menyenangkan.
Lalu kemana hilangnya anak-anak kecil itu sekarang?
Apakah mereka dan kami sudah berhenti ‘berproduksi’ anak sehingga bahkan untuk mengumpulkan 10 anak kecil untuk menghadiri bancakan dalam formasi yang asli pun membuat Mamaku menyerah?
Mungkin terlalu pagi, tapi kupikir arus migrasilah penyebabnya.?Kami, yang pada awal 80-an masih anak kecil di kampung Blateran, pada akhirnya adalah generasi yang diharuskan oleh garis takdir untuk hidup mengelana ke ‘ladang-ladang baru’ melanjutkan studi, mencari nafkah dan pada akhirnya menikah dan beranak-pinak.
Kampung kami memang selalu menyediakan kenyamanan dan kenikmatan untuk hidup bersama, tapi himpitan jaman menuntut kami untuk hidup lebih pintar demi sesuap nasi yang semakin sulit didapat jika kita hanya ingin menikmati kenyamanan dan kenikmatan melulu.
Anak-anak yang kami hasilkan pun tak lagi bisa dibilang sebagai anak-anak kampung Tegal Blateran, ia dan mereka telah menjadi anak-anak kecil bagi daerah kami yang baru dan mereka masing-masing. Lantas, kampung Tegal Blateran hanyalah menjadi tujuan liburan kami setidaknya (dan semaksimalnya) setahun sekali.
Setiap Lebaran dan libur akhir tahun berjumpa dengan orang tua dan beramah tamah dengan para tetangga dan anak-anak tetangga yang juga adalah para mantan anak kecil yang datang dengan anak-anak mereka yang masih kecil juga…
Tapi itu hanya sesaat…?Setelah liburan usai, kamipun kembali ke tanah-tanah baru kami dan menyisakan cerita-cerita menarik di kampung yang kembali sepi dengan penduduk yang kian hari kian renta. Anak-anak kecil dan mantan anak-anak kecil itu tinggal tersisa pada pigura-pigura foto yang terpajang di dinding rumah-rumah dan sesekali hanya terdengar lewat suara telepon.
Dan cerita seperti itu akan terus terulang dari tahun ke tahun, dekade ke dekade hingga akhirnya… ah, aku tak bisa membayangkan akan seperti apa rupa dan karakter penduduk kampung asalku pada 30 – 40 tahun mendatang?
Ketika para penduduk yang renta itu telah mulai bertumbangan satu per satu, kembali ke tempat dimana kita semua akan menuju?
Akankah ia kosong menyisakan rumah-rumah suwung yang tak berpenghuni lagi?
Akankah ia dilupakan dan terlupakan semenjak anak-anak kecil dan mantan anak-anak kecil itu tak lagi sempat untuk berlibur?
Atau, akankah ia ditempati orang-orang baru yang datang membawa anak-anak kecil yang baru dan menciptakan suasana-suasana yang baru pula?
Namun, katakanlah kemungkinan yang terakhir adalah yang benar, akankah mereka masih mengenal tradisi-tradisi seperti yang kami dulu alami dan selalu rindukan seperti, bancakan misalnya?
Tiba-tiba aku terngiang ucapan Mama semalam, “Lha gimana ada anak kecil? Lha wong si Didik putrane Bulik Din suwargi kae pindah Semarang duwe anak neng kono tur yo ra tau bali lha wong ibune wes sedo… Bowo anake Pak Sigit kae wes duwe bojo wong Korea neng Seoul kono bali mung limang tahun sepisan.. Lha kowe? Kowe rak yo yo pindah neng Australia? Iyo pho ra Hehehehe…”
Untuk teman-teman kecilku dan kampung halamanku…. Doaku selalu besertamu!
Odi akan jadi perintis angkatan “back to Tegal Blateran” hmmmm……Lagi karo (sambil) mbayangke (membayangkan) kira-kira 10 tahun lagi Odi yang dengan logat aussienya belajar nyepel (melafalkan) hanacaraka…….
Hehehehehe, semoga.. dia mau balik… hahaha
Don,aku mau komen fotomu dulu…itu km yg pake kacamata ditengah kathokan cendhak yo hehehehee ;)
Inget bancakan jaman dulu kan juga masaknya rame2 sama tetangga toh(bukan hanya bancakan,mantenan,sripahan,dll)… tp pas jaman adikku gede dikit aja udah pake jasa catering. Tuntutan jaman kali yah? Oh iya…selamat selapanan Osi yah :)
Hehehehe kok kowe apal fotoku tho, Yu? :)
30-40 tahun mendatang ?
Hmmm… mungkin bakal ada slametan dengan tumpengan lengkap dengan anak-anaknya…. hanya saja pakai teknologi hologram…. (wah kakehan nonton star trek ki….)
Halah.. matrix banget :)
ih mas, emang begitu ceritanya.. aku sabtu kan ngantor, trus pulang kantor aku ngomonga ma mama kalo kamu minta fotonya.. e mama menjelaskan ke-enggak-ada-an anak anak di rumah.. gitu…. aku aja ga komanan bancakan pincuk e kok.. :(
Weh berarti iso tepat ya antara angan2 cerita dan kenyataan hehehe…
Kangen bancakan jhe, Cit…
suasana di kampung halaman memang cenderung begitu ya..
hanya ramai di waktu natalan atau lebaran..
setelah itu kembali sepi dan yang dihuni kakek nenek..
trus anak sekarang juga kayanya udah lebih nyaman dengan mainan yang berbau teknologi. udah jarang ngumpul ma temen-temen kompleks. bahkan kadang ga saling kenal.
Yupe. betul…..
Agak nelangsa ngeliat sebagian kawasan jadi kawasan renta begitu :)
jadi kangen kampung :), di kota asalku masih banyak anak kecil Don! Wong di sana pusat industri. Jadi antara yang bermigrasi dan tidak jumlah nya berimbang.
Tapi sepertinya tradisi bancakan juga sudah mulai tergerus jaman. Aku sendiri lama tidak mendengar ada tradisi “Tedhak Siti” . Itu lho yang anaknya dimasukin kurungan ayam, trus dititah melewati 7 macam bubur (bener ra yo)
Mudah2an gak tradisi2 unik ini tidak benar2 musnah ya. :D
Kalau di Jawa Tengah namanya Tedhak Siten.. artinya kurang lebih sama kok..
Aku nggak yakin bahwa tradisi itu tidak akan musnah. Sama seperti halnya kehidupan, tradisi pun makhluk fana :) Layak dan memang wajib punah :)
di kampungku nggak ada je bancakan untuk anak-anak…
semua bancakan dianterin ke rumah-rumah dan akhirnya disebut ater-ater (diterke), untuk peristiwa tujuh bulanan, selapanan bayi dan syukuran 40, 100 dan 1000 hari orang meninggal.
istilah bancakan sendiri akhirnya lebih melekat ke acara “para bapak”. Biasanya selepas Isya, para bapak/kepala keluarga diundang ke rumah yang punya hajat, trus mereka berdoa bersama, mendoakan nasi berkat, untuk kemudian, nasi berkat itu dibawa pulang…
untuk anak-anak, bancakan nggak ada deh di kampungku. Aku baru tahu model begini di Jogja…
Ater-ater beda ama bancakan..
Di Klaten ater-ater sendiri (disebut among-among) dan bancakan sendiri…
don, baca tulisanmu ini kok aku jadi “semacam” terharu ya? rasanya kok aku ikut kehilangan. aku tidak tahu hilangnya anak2 itu baik atau tidak. tetapi rasanya kok yo tetep ono roso kelangan yo?
Ya, aku menuliskannya memang juga dengan haru.
Terlebih kalau inget teman2 lama.. Ide menampilkan foto itu hanya sesaat sebelum published…
Thanks!
Sepertinya hal yang sama juga menimpa banyak kampung lain ya Don. Orang memang cenderung mencari tanah penghidupan yg lebih baik dan ingin lebih maju, krn beginilah jaman kita skrg, harus kita ikuti alurnya. Pada akhirnya memang kampung kita itu hanya akan jadi tempat singgah, tempat istirahat kala tua, tempat berlibur. Kamu di Aus gak buat bancak’an juga? Order ke rmh makan gitu heheee..
Hehehehehe
meski ngga ada bancakan tapi di sini waktu tujuh bulanan kemarin kami ngadain tumpengan :)
Gw baru ngeh tuh Mas dengan bancakan aal Jogja yang sepert itu. Beda yah sama bancakannya orang Sunda
Hehehe beda, Mbak.. itulah Indonesia… kaya akan tradisi lokal
di ndesoku bahkan gak ada lagi anak2 kecil yg ngomong pake bahasa jawa. sedih ya? tapi ya mau gmn lagi. tapi tetep sedih sih…
Ya, kalau bahasa Indonesia masih OK lah, asal nggak ber english2 ria wae, Mbok :) Selamat liburan di Jogja!
Ada 2 hal Don:
Pertama, bancaan…
Aku baru kenal tradisi itu setelah berada di Kweni. Sampai saat ini, tradisi itu masih lestari. Anak-anakku kerap mendapatkannya. Isinya ya persis seperti yang kamu bilang, dan tetap menggunakan bungkus daun pisang. Walau sejujurnya lidahku kurang cocok dengan masakan itu, tapi spirit yang terkandung dalam acara itu membuatku sangat terkagum. Kalau anak-anakku, sudah pasti menyukai isinya. Lha wong lidah mereka sudah Jawa tenan jhe… hehehe… :D
Kedua, perantauan…
Kampung asli orangtuaku, yakni Magek, Bukittinggi, itu sudah sangat sepi sekali. Akibat tradisi merantau di Minang yang berlaku sedari dulu. Kampung kami itu benar-benar sudah tidak berorang. Rumah-rumah di sana cukup bagus, karena memang dibangun kembali oleh para perantau itu. Namun, rumah-rumah tersebut setelah dibangun bagus-bagus, dan diisi selengkap-lengkapnya, kemudian ditinggalkan ke perantauan, untuk sesekali dikunjungi jika liburan datang. Maka, pada hari-hari biasa, nyaris kampungku itu tidak berpenghuni. Hanya satu-dua rumah saja yang ada manusianya, itupun manusia dengan usia senja.
Jadi, apa yang kau bayangkan terhadap kampungmu 20 tahun yang akan datang, sesungguhnya telah terjadi di kampungku dan banyak kampung di sumatra barat…
Hehehe Uda, makasih pemaparan yang gamblang dan indah….
Turut prihatin dengan keadaan di Sumbar… dan turut ‘prihatin’ bahwasanya anak2mu lebih berlidah Jawa ketimbang Padang hahahaha
Wah, saya jadi ingat, setiap weton (hari lahir) saya dan kakak saya, ibu bikin bancakan untuk anak-anak kecil seumuran gitu.
Jadi kangen masa itu…
Hehehehe, sama Mbakyu…
Mas DV sepertiny lagi kangen kampung halamann yah xixixi
Saya selalu kangen, Mas.. persoalannya tinggal bagaimana memanage rasa itu supaya tidak kontraproduktif hehehe
Pertama-tama saya ucapkan selamat dulu kepada si Odilia. Semoga cepet gede ya Dil … BTW ada among-among-nya gak nih.
kedua-dua *eh bener gak sih ini* saya mau ngomen foto sampean. Menurut saya, sampean culun banget, jauh lebih gantengan saya waktu kecil :P
Eh ini ceritanya nostalgia masa kecil ya. Hihihi saya juga dulu suka banget kalo ada tetangga yang ngadain bancakan. Apalagi biasanya didalam pincuk diselipin uang receh. Dapet 50 perak aja udah seneng banget.
Sayang sekarang tradisi ini entah kenapa sudah menghilang di kampung halaman saya :(. Yang tersisa sekarang tinggal among-among (bikin nasi urap + telor separo lalu dianter ke tetangga setiap hari weton anak)
BTW, ending posting ini bikin saya kangen sama teman2 masa kecil saya yang sekarang sudah berhamburan entah kemana juga.
Glek, undang2ane anakku Odi dudu Odil :)
Ya, tujuanku memang mbikin kangen yang mbaca ke teman2 masa kecil… your childhood :)
fiuhhhh… iya yah gara-gara pembangunan yang tidak merata di Indonesia ini yang membuat satu kampung jadi kosong hehehe….
kamu sepertinya harus buat reunian untuk personil di foto itu suatu hari kelak hehehe
Setuju! Kata kuncinya memang pembangunan yang kurang merata….
HUAEHAEHAEHAEHAEHHAE AKU LANGSUNG NGERTI SENG NDI RAIMU DON
(tak bales kowe!) XD
Btw memang bener sih ya, dari generasi ke generasi, yang tinggal di kota kecil adalah para orang tua… kayak papahku di Jepara :(
Anak2 pasti pada ngeluyur semua keluar kota pulau dan negeri.
Btw ngomong2 tentang hujan2 an waktu kecil, aku justru hujan itu selalu mengingatkanku kepada Mamahku.
Pulang main sepak bola waktu hujan lebat sekali di Jepara. Siap menerima amukan dari nyokap seperti biasa. Ternyata jam 6 sore (sudah gelap) itu lampu mati total.
Bukannya dimarahin, tapi aku malah dimandiin pake air anget, dikeringkan dan dibungkus pake handuk, duduk di kursi goyang, dikasih susu coklat anget di samping terang sebuah lilin.
Itu satu2 nya momen dan perasaan terindah yang aku pernah rasakan dari kasih seorang Ibu :) — gak pernah lupa sampai sekarang.
Hehehe soal foto, yang penting hasil akhir hahahahahaha….
Aku senang dengar ceritamu… Ditulis saja di blog pasti menarik dan mbikin kamu lebih banyak digemari wanita hahaha
wah…. jadi ingat masa kecil dulu, biasanya ada teman yg teriak “Bancakannnnn…!!’ trus kami berlarian berebut bancakan itu.. wah memang semakin “punah” tradisi bancakan..
tapi kemarin keponakanku sempet dibuatkan bancakan, spt pernah ditulis mbakku di sini http://indirapramesthi.blogspot.com/2009/12/selapanan-sego-gudangan.html
Menuju TKP, Gan!!!!
Mas Donny,
Salam kenal. Jaman saya kecil dulu di pinggiran Kali Code, bancakan mesti bayar pake kereweng (pecahan genteng), untuk “nebus” bancakannya. Menunya kalau tidak urap (gudhangan), jangan (sayur) bobor jipang, dan lawuhnya tempe goreng.
Begitu aja dulu rebutan setengah mati, lha kalo sekarang? (masanya njenengan ketoke kurang lebih sama dengan saya, kelahiran 79-80, correct?)
Wah itu info menarik, Mas… saya baru tau karena di Klaten bancakan tidak pake mbayar meski pake kereweng skalipun :)
Ya, saya memang lahir sekitar itu, lebih tua sedikit tepatnya Desember 77 :)
Salam kenal!
Don, ceritamu mengingatkanku akan situasi kampungku di Madiun sana. Saat baru pindah rumah tahun 60 an, disekeliling rumahku masih banyak tegalan..jadi suka banget main “pasaran” (mainan khas anak perempuan kecil), karena sumber daya berlimpah ruah. Lama-kelamaan makin banyak keluarga membangun rumah, …..tapi sekarang jika kembali ke sana, tak satupun yang kukenal.
Tetangga lamaku sudah alm (termasuk ayah ibuku), anak-anaknya sudah ke luar kota (Surabaya, jakarta, Cirebon dll). Dulu…..orang Madiun yang bekkerja diluar kota masih sedikit, banyak yang kembali ke Madiun…lha sekarang banyak yang terus mangkal di kota besar, termasuk saya sendiri..lha di Madiun udah nggak kenal siapa-siapa je.
Tadinya saya sudah membayangkan ada foto bancakan di tulisanmu ini…dulu ini khas slametannya anak kecil..makannya dipincuk atau takir (dari daun pisang).
Itulah, Bu…
Urbanisasi hehehe….
Bancakan mungkin sudah tidak terlalu menjadi pilihan untuk “selametan anak” pada masa sekarang,sebab banyak yang memilih untuk mengantar langsung ke tetangga (ater2),….padahal bancakan lucu jg..
Jadi, kapan pulang kampung, Don?
Eh, di Aussie kamu gak bikin bancakan juga?
hmmm.. jadi kangen sama bancakan..tapi saya juga nggak pernah ada kumpul kumpul di doain gitu..cuman nasi di kardusin..kalo keluarga yang punya anak kecil ditambahin pincukan isi nasi bancakan porsi anak kecil…
inget baunya nasi hangat..urap.. ikan asin..yummyyy….
kangeeenn masa kecil di Solo jadinya.. hmmmm :)
nek nggonku ,lawang ,malang, sama bancaan nya , kadang2 jenang abang sepiring / takir saja. kadang jajan pasar terus diitaruh ditas tampah terus dongne boso jowo ditutup surak o surak hore, terus di bagi2 ,biasanya siang2 anak2nya sedang main dipanggil , trus .
aku terharu mas, baca tulisane sampeyan….karna setelah tak pikir ternyata sama dengan yg terjadi dikampungku (manahan – solo)
Tegal blateran sudah berubahh… g seperti dulu lagi..
Sekarang guyub rukunnya sudah mulai berkurang.. terkikis jaman…
Jaman berubah. Blateran juga? Dimana?