Bakar kapal? Tak semua orang harus jadi wiraswastawan

17 Jun 2013 | Cetusan

Akhir-akhir ini ramai betul orang berlomba-lomba ingin mengubah nasibnya dari karyawan menjadi wiraswastawan. Ramai.. ramai betul!

“Namanya juga coba-coba!”, begitu kata si Harun (tentu nama tak sebenarnya -red) pelan. Seminggu lalu iamenutup warung mie ayam setelah dibuka sejak dua bulan lalu tapi tak kunjung menangguk untung.

“Ide dari mana kok coba-coba?” tanyaku padanya.
“Dari seminar!”
Kagetnya aku bukan kepalang mendengar jawabannya. Harun yang adalah seorang penganggur yang tak pernah punya sejarah kerja lebih dari 2 bulan di satu perusahaan yang sama karena dikeluarkan dengan alasan malas itu ternyata mengenyam seminar juga!

“Seminar apa?” tanyaku.
“Seminar untuk jadi wiraswasta.. ente..enter..hmmm…”
“Enterpreneur!?” sergahku.
“Nah itu dia!” jawabnya.

Punya mimpi berwiraswasta adalah satu kewajaran untuk satu kemapanan yang lebih baik dari yang sekarang. Tapi orang tak bisa hanya bermimpi.

Tapi Harun masih jauh lebih beruntung ketimbang apa yang lantas dialami Wati dan Tumini, istri dan anak Imron (nama tak sebenarnya lagi, Bos! -red) karena Harun tak punya tanggungan lain selain malu tapi Imron, selain malu, Wati dan Tumini adalah tanggungannya.

Imron dulunya bekerja sebagai seorang analis kredit di sebuah bank pasar selama hampir sepuluh tahun sejak ia lulus dari kuliahnya di Jogja. Kesehariannya keluar-masuk pasar dan pedesaan menakar usaha rakyat untuk ditimpakan hutang bank. Dari situ, ia sudah punya kehidupan yang layak sebenarnya. Kredit motornya telah lunas dan meski masih kontrak, tapi ia berhasil mengisi rumahnya dengan berbagai macam perabotan dan televisi, kulkas dan DVD player untuk memutar film kesukaannya juga tersedia.

Hingga suatu waktu, kawan-kawan seangkatannya, kira-kira sepuluh orang jumlahnya, mendatanginya lalu mengomporinya untuk membuka usaha.

“Kamu kan punya channel, Mron.. pasti kamu bisa!”
begitu kata salah satu dari kawannya tadi.

“Iya! Apalagi kamu kan pintar sejak kuliah dulu!” kata kawannya yang lain lagi.

“Tapi.. aku punya anak dan istri… kalau gagal mereka harus makan apa?”
“Nah itu dia! Justru itu, Mron! Anak dan istri akan menjadi pelecutmu untuk tak gagal dalam usaha ini!” balas kawannya.

“Ayoh! Kamu pasti bisa!” timpa kawan yang lainnya lagi yang ada di situ menyemangati.

Imron lalu mengutarakan hal ini pada istrinya pada suatu malam sementara Tumini dikekapnya dalam pangkuan.

“Kamu yakin, Mas? Kalau gagal?”
Imron terdiam sesaat.

“Tak mungkin gagal, Dik! Aku sudah menganalisanyat!” Sementara Wati hanya terdiam dan Tumini mendengkur halus lelah sesorean bermain bersama kawan-kawan lainnya.

Keputusan lalu diadakan.
Imron mengirimkan surat pengunduran diri dari bank tempat ia bekerja sekaligus pada hari yang sama ia mendekati Pak Hanafi (duh, lagi-lagi nama tak benar -red), si orang kaya di kampungnya untuk meminjam modal.

“Tak banyak, Pak Hanafi.. hanya sepuluh juta dan akan saya kembalikan di bulan kedua!”
Ya namanya juga orang kaya, uang sepuluh juta hanyalah butiran debu bagi Hanafi tinggal sret..sret…sret, uang sudah siap dan dipindahtangankan, “Ingat lho Dik Imron.. dua bulan!” tutur katanya halus tapi menekan.

Adrenalin Imron menderu. Diamnya Wati dan dengkuran halus Tumini dianggapnya menjadi restu, diimbuhi keberanian serta modal rupiah dari Hanafi, ia siap melakukan petualangan yang baru!

Seminggu sesudahnya ia membuka gerai toko henpon seadanya di teras miliknya. Meja pemberian Hardi, tetangganya, ketika ia pertama kali pindah ke situ dikeluarkan untuk dijadikan meja toko.?Sebuah spanduk kecil hasil print-out digital bertulis “Imron Cellular” ditegakkan dan beberapa henpon bekas yang dibelinya di kota menggunakan uang pinjaman dipamerkan.

“Kalau laku limaaa saja, untungnya sudah bisa buat beli susu Tumini hingga dua bulan, Dik!” tuturnya sambil membelai rambut istrinya. Wati mengaimini saja apa kata nahkoda rumah tangganya itu. Hati kecilnya ketar-ketir tapi ia punya senthir yang nyalanya tak pernah padam yang dinamakan cinta.

Sebulan berlalu, henpon baru laku satu.
Sebulan setengah berlalu, masih pula laku satu meski, “Tenang Dik, kemarin ada bapak-bapak datang kemari katanya mau mbeliin henpon anak-anaknya empat buah! Mungkin hari ini balik lagi.”

Sementara Wati berwajah gamang. Pikirannya membayangkan bubuk susu Tumini yang ada di kaleng yang tinggal seperempat isinya sementara beras juga tinggal setengah. Bukan, Wati tak memikirkan nasi yang bisa mereka makan. Ia memikirkan jika susu Tumini habis, mana cukup beras setengah itu mampu menghasilkan air tajin pengganti susu bagi anaknya?

Dan ketika tenggat waktu pelunasan hutang makin dekat jaraknya, wajah Hanafi adalah wajah terdekat yang ditemui Imron dalam setiap mimpi buruknya.?”Kita harus ubah strategi, Dik!” tutur Imron pada Wati yang kali ini mengekap Tumini.

“Caranya?”
“Hmmm.. kamu keberatan nggak kalau kamu minta uang bapakmu…hmmm.. pinjam maksudku? Paling tidak untuk nutup utang Pak Hanafi dulu!”

Wati terdiam, ia mengangguk. Ia tak pernah dikecewakan Bapaknya sejak kecil jadi untuknya meminjam uang tentu bukan perkara yang besar. Tiba-tiba Tumini yang dikekapnya terbatuk. Tangannya lantas mengayun-ayun lagi supaya ia tertidur. Tak sampai lama, Tumini mendengkur halus di pangkuannya, ia tetap tak kehabisan teman walau bapaknya mulai kehabisan akal.

Uang dari mertua telah tiba. Dibebatnya bungkusan itu dengan kertas lalu dengan gagah Imron membual di depan Hanafi, “Alhamdulilah, Pak Hanafi! Berkat doa panjenengan usaha saya mulai berhasil dan ini saya kembalikan utangan saya.” Padahal dengkul Imron tergetar hebat membayangkan bagaimana ia harus nyembah-nyembah mertuanya untuk meminjam 15 juta, dua hari yang lalu dan berjanji mengembalikannya sebelum akhir bulan ini atau kalau tidak, sapi peliharaan sang mertua akan lewat di tangan blantik yang menjadikannya barang jaminan untuk hutang menantunya.

Siklus yang sama beberapa kali terjadi tanpa pembaharuan. Imron gagal, Wati terbungkam dan Tumini asik mendengkur halus.

Hingga pada suatu waktu perulangan yang tak pernah dinyana datangnya, ketika semua jalan seperti telah tak berkelanjutan alurnya, pada suatu pagi Wati dan Tumini tak lagi bisa menemui Imron, suami dan ayah yang dulunya gagah itu. Sepucuk surat tanda pamit menjelaskan bahwa Imron telah berubah menjadi pengecut, melarikan diri dari kenyataan mencoba mencari kehidupan baru di antah-berantah. Pada waktu itu, Wati kembali berhitung, susu Tumini akan habis hari itu dan beras… ah ia akan mencoba pinjam segelas dari tetangganya untuk ditanak dan menghasilkan tajin cadangan ketika susu Tumini telah benar-benar habis.

Punya mimpi berwiraswasta adalah satu kewajaran untuk satu kemapanan yang lebih baik dari yang sekarang. Tapi orang tak bisa hanya bermimpi. Karena di dalam mimpi kita bisa mengandaikan semua orang punya garis takdir, sifat dan sikap yang sama yang diperlukan untuk menjadi seorang pengusaha.

Ada yang bilang sembari memotivasi orang lain untuk bakar kapal lalu terjun ke air sebagai tanda bahwa itulah titik yang tak akan membuat kita mampu kembali ke kapal. Semacam, sekali nyemplung ke dunia usaha, jangan balik menjadi pegawai lagi.

Tapi bagiku, ketimbang bakar kapal lalu terjun ke air dan kedinginan serta mendadak kena kram karena kurang pemanasan, mending tetap tinggal di atas geladaknya sembari menikmati hidangan ikan hasil tangkapan dan mengasah pisau yang majal menjadi tajam. Kalau-kalau nasib baik datang, siapa tahu kita bisa membunuh sang nahkoda yang lengah dan kita menjadi penggantinya.

Akhir-akhir ini ramai betul orang berlomba-lomba ingin mengubah nasibnya dari karyawan menjadi wiraswastawan. Ramai.. ramai betul!

Sebarluaskan!

30 Komentar

  1. Hehehe itulah…..tidak semua orang harus jadi pengusaha memang
    Pakem yang sekarang, lulus terbaik pasti jadi karyawan perusahaan besar
    Tapi pakem itu memang tidak ramai dibicarakan di media sosial, disimpen sendiri :D

    Balas
    • Yep :) Semacam antitesa dari tulisan tentangmu di sini itu ya :)

      Balas
  2. Prinsipku, Klo sambil ngepel lantai kapal masih bisa nyambi menebar jala dan kail di lautan, kenapa harus nyebur ke laut demi menangkap ikan?

    Balas
    • Sangat setuju! :)

      Balas
      • Saya termasuk orang yang ingin sekali menjadi wiraswastawan.
        Jika punya kesempatan saya ingin sekali mencoba bertualang.

        Balas
  3. Di ceritamu, Wati-nya kok diam aja, cuma gamang doang? Mestinya bisa jadi co-pilot rumah tangga. Ra seneng aku, Don :| *perspektif perempuan*

    Balas
    • Gini, cerita itu beneran terjadi jhe, aku gak punya kuasa buat ngubahnya barang sedikitpun. Maaf…
      Tapi kalo diamati dia tidak diam kok. Dia setidaknya sudah bertanya apakah Imron yakin atau tidak, lalu dia juga bergerak untuk meminjam uang dari bapaknya ketika Imron butuh bantuan dan ketika Imron minggat, ia sudah berpikir untuk minjam beras ke tetangganya.

      Satu hal lain yang kuceritakan tersirat, Wati mampu membuat Tumini terlelap sampai ngorok sementara ia diskusi dengan Imron dalam ‘kegaduhan’ itu kan juga menandakan kalau ia tak tinggal diam.

      Balas
  4. Sebelum terjun jadi pengusaha tanpa bener-bener jadi karyawan lagi, harus punya stok duit sendiri utk memenuhi kebutuhan hidup selama 6 bulan dulu. Yaa, walaupun sebenarnya lebih baik jangan langsung terjun sik. Masa ya langsung minta resign tanpa punya apa-apa. Atau, paling ngga ya, coba mulai usaha sampingan sembari jadi karyawan.

    Balas
    • Nah. Jadi intinya sudah kau temukan sendiri ya :)

      Balas
  5. “Tapi bagiku, ketimbang bakar kapal lalu terjun ke air dan kedinginan serta mendadak kena kram karena kurang pemanasan, mending tetap tinggal di atas geladaknya sembari menikmati hidangan ikan hasil tangkapan dan mengasah pisau yang majal menjadi tajam”
    Gw demen deh kata2 ini hehehe…

    Saya pribadi mendukung teman-teman yang mau berwirausaha. Namun, aksi nekat tanpa perhitungan tentu saja hanya akan mencelakakan diri sendiri. Toh, jd karywan juga msh tetep bs kaya :D

    Balas
  6. Aku sudah lakukan itu. Tapi kapal tak kubakar atau kutinggalkan. Ketika usahaku harus kututup sementara (karena akan kubuka lagi nanti) aku balik lagi di kehidupan di atas kapal. Keyakinan the power of kepepet memang diajarkan di pelatihan kewirausahaan. Sayangnya, ada yang nekatnya ndak pakai otak. ;)

    Salam persahablogan,
    @wkf2010

    Balas
    • Nah! Ini taktik menarik, coba-coba jadi pengusaha tak harus melemparkan diri dari atas kapal ya, Kang :)

      Balas
  7. Jadi tergelitik dengan cerita ini. Pernah beberapa kali saya dan istri bercerita tentang kesuksesan beberapa kerabat, tetangga atau pun teman yang kini sudah cukup sukses dengan usahanya. Kadang ngiler juga melihatnya. Tapi ketika dicermati lagi, sebelum sukses itu mereka beberapa kali terjatuh namun bisa bangkit lagi. Mampu bangkit lagi bukan karena tekad saja tapi juga karena pertahanan ekonomi berlipat yang dimiliki. Jadi ketika sekali terjatuh, mereka bisa bangkit dan berdiri lagi. Mungkin kalau sudah 10 kali jatuh barulah mereka akan berhenti mencoba.

    Lalu kami? Kalau dipikir, lebih baik diam di kapal saja. Karena kekuatan kami hanya untuk sekali jatuh dan mudah2an itu tidak terjadi. Kalau terjun ke laut, rasanya sekali jatuh kami akan langsung sempoyongan dan terkapar tidak bisa bangun lagi. Pesimis? Mungkin lebih tepatnya realistis.

    Biarlah kami sebagai ABK dulu, siapa tahu kelak pewaris kami bisa menjadi nahkoda :-)

    Balas
    • Sepakat bulat!

      Balas
  8. tulisan ini perlu dibaca sama si mas bro ini….
    yang selalu mimpi jadi pengusaha.. padahal sih sebenernya doi manja aja,, gak bisa diperintah2.. tapi mauu jadi wirausaha dipanggil Dik sm org lain marah hahahahha..

    *maap jadi curhat pribadi :P

    Balas
  9. sing penak ki jadi karyawan sambil wiraswasta…ya meskipun masih kecil2an
    kaya aku kih lho..bakulan…tapi jik kerjo karo wong londo
    jadi dodolan e ki nyante wae..nek ono sing tuku monggo..nek ora ono yo rapopo..
    tur wiraswasta ki bakat-bakatan owk..ra iso melu seminar pisan langsung jadi wiraswasta…ra iso.
    apalagi melu trend? wah…bahaya kuwi

    Balas
  10. Hiya akhirnya bisa comment disini

    Menurut beberapa orang deket gue banyak yang sukses dengan berani keluar dari zona nyaman dan berkerja mandiri jelas salut gue melihat perjuangan dari bawah dari yang mobilnya ke jual buat modal hehehe gue stuck on you eaaaa stauck tetep jadi PNS Jadi guru juga bisa jadi sarana belajar so no regret

    Balas
    • Syukur-syukur jadi caleg ya, Jeng? xixixixi :)

      Balas
      • hahaha nggak lah Dave :)

        Balas
  11. Sepakat dengan itu Don.
    Sebagian orang bilang, harus total kalau mau usaha, keluarlah dari perusahaan dan total mengurus pekerjaan. Tapi sebagian besar memilih jalan lebih safe, tetap belajar berwiraswasta tanpa melepas yang sudah ada sebagai backup dan sebagai tempat belajar juga. Kalau aku sekarang masih memilih yang kedua, meskipun benar itu…banyak seminar yang menganjurkan untuk berani jadi wiraswasta….. tapi karena aku belum yakin dengan kemampuanku jadi wiraswasta, aku pilih yang aman saja.

    Balas
  12. ?Dari seminar!?

    (langsung saya ngakak koprol Don ..)
    keliatannya memang lucu … tetapi … inilah yang terjadi …
    Seminar itu kadang “melenakan” … (apalagi yang pakai teriak-teriak cumungudh itu )
    Semangat sesaat euphoria sesaat …

    Pembicara makin tebal koceknya
    Peserta merasa terhibur … (ya saat dua jam itu saja ) … (oke … satu dua hari efeknya masih terasa …)
    Tapi setelah itu … ??? What ???
    Ada banyak hal perlu kita fikirkan … semangat saja tidak cukup … perlu strategi juga …

    Saya tidak bilang bahwa berwiraswasta itu tidak bisa berhasil … BISA .. SANGAT BISA untuk berhasil …
    Cuma … memang tidak semudah seperti yang anda dengarkan di Seminar itu …

    Salam saya Don
    (Saya suka tulisan ini)

    Balas
    • Itu dia, Om!
      Itu memang yang saya sasar… seminar, seminar dan seminar!

      Balas
  13. Kalau semua orang habis Ikut seminar …
    terus akan berhasil jadi Wiraswasta

    Bisa kaya dengan segera negara ini …

    Salam saya lagi Don … (qiqiqiqi)

    Balas
  14. kok tulisan ini sudut pandangnya tidak menyarankan jadi wiraswasta? ga salah kok keinginan jd wiraswasta itu.. cuma selain modal duit, harus modal pengetahuan yg lebih besar!

    Balas
    • Saya tidak menyarankan untuk tidak menjadi wiraswastawan lho. Tapi saya menyajikan dua contoh kisah dan kalau aku diterjunkan dalam dua contoh kisah itu, jelas aku menolak ide wiraswasta. Di luar itu ya nggak lah :)

      Balas
  15. Wiraswasta menuntut sebuah totalitas, kalau tidak maka semuanya sia sia… Bakar kapal adalah sebuah keharusan karena butuh fokus. Jadi kalau masih belum berani ya jangan. Lebih baik langsung bunuh nahkoda aja…. Karena wiraswasta itu makan dan tidur mikirin kerjaannya… Kalau jadi karyawan ya tidur ya tidur, makan ya makan…

    Balas
  16. kalau melihat kisah orang terkadang memang sepertinya sangat mudah sekali,,tapi kita tidak tahu perjuangan yang sebenarnya

    Balas
  17. yang lucu kalau ceritamu dia masih krn ikut seminar don…Ada yang cuma berpatokan pada BUKU yang abal-abal atau sesumbar orang yang menyarankan wiraswasta padahal dia sendiri pun masih gali lobang tutup lobang.
    Hmmm ibaratnya: tukang jual obat :D

    Balas
  18. #wirabusaha .. Hastag itu masih ada sekarang ??

    Balas
    • wirabu-kukul :) wakakakaka…

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.