Crying Room.
Betulan, namanya memang Crying Room, ‘Ruang Menangis’. Sebuah ruangan yang baru sekali kutemui di Australia, berada di beberapa gereja (tak semuanya), diadakan untuk para orang tua yang memiliki anak-anak kecil yang masih rentan ‘nangis’ supaya ‘tangisan’ nya tak mengganggu umat lain yang khusyuk mengikuti jalannya acara.
Ruangannya terpisahkan oleh kaca dan kalau dari luar kalian bisa menilai seperti akuarium layaknya. Selain itu, crying room juga lumayan kedap suara jadi kalau anak-anak kecil itu nangis sekeras-kerasnya, ia tak terlalu ‘terdengar’ dan di sisi lain, para orang tua tetap dapat mengikuti dengan khidmat.. maksudku mengikuti teriakan dan kenakalan anak-anak mereka dengan khidmat dan mengikuti perayaan yang dipimpin imam di depan dengan tidak terlalu khidmat tentu saja :)
Hari minggu lalu, aku beserta anak istri pergi ke perayaan ekaristi di Gereja St Michael, Baulkham Hills dan seperti biasa, sejak kelahiran Odilia, maka kami langsung menuju ke crying room yang berada di sisi kanan pintu masuk gereja. Ketika kami masuk, sekitar 30 menit menjelang acara dimulai, ruangan masih sepi, hanya kami serta sepasang orang tua yang masih belia dengan dua anak kecilnya yang sudah kerap kami lihat ada di ruangan yang sama.
Lima belas menit sesudahnya, ruangan semakin terisi penuh. Meski belum ada yang menangis tapi keriuhan sudah mulai terasa di dalamnya.?Ada yang mulai menggelar mainan-mainannya yang dibawa dari rumah, ada yang memilih ngelendot di dada ibunya, ada yang masih pulas tertidur di dalam boks dan stroller dan ada pula yang sedang ‘isi bensin’ seperti Odilia misalnya. Para orang tua juga sibuk meletakkan barang-barang bawaannya yang rata-rata segede gajah berisi perlengkapan apapun yang dibutuhkan oleh anak-anaknya.
Perayaan ekaristi tak lama kemudian dimulai, pintu Crying Room ditutup dan ‘pertunjukan’ yang sebenarnya dimulai.
Mereka, anak-anak kecil itu, mulai sibuk sendiri-sendiri. Ada yang asal ndeprok di karpet dan mulai mencorat-coret buku mewarnai yang dibawanya.
Ada yang asyik bermain mobil-mobilan, lompat sana, lompat sini. Tak jarang mereka lantas lari mengelilingi ruangan sambil berteriak sejadi-jadinya hingga ‘brakkk’ salah satu dari mereka menabrak kursi, tertelungkup jatuh lalu “hoaaaaaaaaaaaaaaaaaa” tangis pun meledak mengalahkan suara imam dan penyanyi dan pemusik yang berpadu dalam pengeras suara yang lumayan sember.
Aku berusaha ‘menikmati’ pemandangan ini.
“Untung Odi masih kecil” gumamku. Dengan tangan bersedekap dan ‘pura-pura’ khidmat mendengarkan imam, aku jatuh dalam lamunan.
Dari sekian banyak pikiran yang berkelindan dalam lamunan itu, satu topik yang menyeruak muncul dan tak mau hilang adalah justru tentang bagaimana repotnya Tuhan memelihara anak-anak ini kelak ya?
Aku membayangkan, apa yang kuhadapi saat itu toh hanya pemandangan sekotak ruang saja di sebuah distrik kecil di Australia. Padahal pada kenyataannya, ada berapa puluh bahkan ratusan juta anak-anak kecil yang ada di dunia saat ini? Bagaimana mungkin Tuhan sanggup memberikan hidup bagi setiap dari mereka sejak saat ini hingga kelak mereka dewasa, berkeluarga dan beranak lagi seperti halnya sekarang yang kualami dan lakukan?
Aku berpikir bahwa bumi tempat kita hidup ini toh tak kan lagi mekar dan melar.
Beberapa daratan malah kabarnya sedang dan akan segera tertutup lautan karena pemanasan global malah. Lha kalau demikian lantas nanti anak-anak itu akan tinggal dimana?
Apa ya total luas daratan akan selalu cukup bagi mereka?
“Lha kan yang tua-tua juga akan mati, Don!” ujar sebuah bisikan.
True! Tapi toh mereka, yang mati-mati itu juga butuh dikuburkan di lahan dan itu berarti mengurangi jumlah lahan hidup?
Itu baru soal tempat hidup lho, bagaimana pula dengan kesempatan kerja?
Dua puluh tahun silam barangkali orang tuaku juga tak percaya bahwa menjelang akhir dekade 90-an aku sudah bekerja di bidang yang ketika mereka memikirkan sepuluh tahun sebelumnya itu belum ada. Tapi meski demikian aku juga mengkhawatirkan akan seperti apa dunia lapangan kerja ketika anak-anak, termasuk anakku besar nanti?
Akankah masih ada pekerjaan seperti web designer, tentara, akuntan, pengacara?
Atau akankah ada banyak pekerjaan yang tak terduga ada dan justru menghasilkan misalnya pengelap keringat atlit, pengupas mangga ibu-ibu, atau penggali upil para tuna rungu?
Kalian bilang aku aneh? Lha ya namanya juga pemisalan kok ya ndak papa tho :)
Dan, o gosssh, sesuatu yang horrible menjajah otakku.. ya, perkara alam!
Duh! Kan banyak dibilang alam kian rusak oleh karena (katanya) ulah manusia…
Lantas gimanaaaa nanti?
Bagaimana anak-anak kecil itu bercerita pada anak-anaknya kelak soal harimau, gajah, badak dan kucing kalau pada saat itu binatang-binatang itu telah punah atau saling mengantri untuk menunggu giliran punah?
Bagaimana mereka nanti mandi dan minum air seandainya memang air akan semakin sulit didapat dan mahal dibayar?
Udara? Ouchhh, bagaimana kalau ternyata oksigen tak lagi semudah didapat seperti yang sekarang kita hirup tanpa sadar itu?
Otakku mendadak penuh… aku tak sanggup berpikir lagi melamun lagi lalu seketika “Blarrrrrrrrrr!” aku tergeragap dari lamunan.?Istriku menggandeng tanganku dan mengajakku berdiri bersama puluhan orang tua yang juga saling bergandengan.?Kedua tangan kuangkat dan saatnya doa Bapa Kami dinyanyikan.
“Our Father, Who art in heaven,
Hallowed be Thy Name.
Thy Kingdom come.
Thy Will be done, on earth as it is in Heaven.
Give us this day our daily bread.”
Yes Lord, give us our daily bread … beri kami makanan dan rejeki tapi tak hanya hari ini, untuk selamanya….
DV, sak drema ngutip Mazmur 23:
Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;
Ia menyegarkan jiwaku………
salam,
Aku suka banget penggalan itu dan musikalisasinya… dadi kangen Kotabaru, ndhisik kerep banget jadi lagu antar bacaan di misa harian di sana…
Postinganmu kali ini sejuk walau isinya sebuah depresi… haha, kombinasi yang aneh…
Btw, kalau kamu bisa menjawab semua pertanyaanmu itu mah… barangkali kamu nggak cocok kerja jadi web developer berarti… :lol:
Berserah saja, and gain your life at the fullest everyday… until you die.
Intinya, meski depresi harus tetap sejuk hahahah!
Keep cool :)
Waduh Mas, jangan sampe deh Odi kerjanya sebagai pengelap keringat atau penggali upil. Insya Allah anak2 kita akan bisa survive dalam kehidupannya, termasuk mencari pekerjaan. Amien.
Salam buat Odi dari Zahia ;-)
Hahaha itu kan cuma umpama-umpama, Mbak :)
Salam balik ya untuk Zahia.. sehat selalu!
Wah baru kali ini aku baca ada ruangan kayak gitu di gereja. Terus selama misa ortunya di mana? di ruang itu juga? ngikutin misa dr speaker atau ada orang yg jaga anak2 sementara ortu misa? Kalo di sini sih ada namany amisa keluarga, jadi emang yg dateng biasanya baya anak2, jadi pas misa banyak bunyi ngak ngek ngok…yg sudah dimaklumin oleh para hadirin dan juga romonya. Buat orang dewasa yg gak bisa konsen kalo rame ya silahken dateng ke misa berikut saja :)
Mengenai isi postingan selanjutnya, jadi kamu meragukan kemampuan Tuhan yah? ( habis kamu bertanya bagaimana mungkin Tuhan sanggup memberikan hidup..dst dst…) hehehehe gojeg loh ini ;)
Ortunya ya ikut masuk, Yu….
Ngikutinnya pake speaker dari balik kaca makanya kayak akuarium kubilang di atas hehehehe…
kalau di indonesia, beberapa gereja kristen yang besar ada crying room kok :) jadi indonesia ndak ketinggalan soal hal ini hehehe…
mungkin di gereja katholik di indonesia memang belum familiar saja.
memang fungsinya spy tidak mengganggu yang lain.
sebuah kekhawatiran tentang masa depan? hmmm…
ah, kali ini biarlah Dia yang mengatur, kita cuma berusaha saja :-)
Betul, Bli… hanya itu yang bisa kita lakukan :)
ngomongin masa depan emang selalu menakutkan dan mengkhawatirkan tapi sekaligus memberikan harapan. Yang bisa (dan harus) kita lakukan hanyalah berharap Tuhan masih memberikan anugrah yang sama seperti yang diberikan kepada kita atau kalau bisa lebih baik kepada anak cucu kita di masa depan dan tentu saja sebisa mungkin kita harus merawat bumi yang semakin tua ini.
Semoga Odi dan anak cucu kita kelak masih bisa mendapatkan bumi yang nyaman untuk ditinggali.
Betul, Glek…
Tiada lain selain berserah pada harapan.. harapan pada Tuhan
Kita tak wajib mengetahui bagaimana cara-Nya memelihara anak cucu kita. Kita hanya bisa mengimani dan mengamini bahwa janji-Nya pasti digenapi.
Lamunan kita -ke depan- sering “menghanyutkan” diri sendiri, yang tak jarang menimbulkan rasa pesimis. Tapi, percayalah (wealahh kayak Romo saja) bahwa konteks kini dengan yang akan datang memiliki karakter yang mungkin berbeda. Dan, perbedaan karakter itulah nanti yang akan membawa survive anak-cucu kita.
Artinya, lamunan kita, tak sebanding dengan “persediaan” Tuhan untuk ciptaan-Nya, termasuk anak-cucu kita kelak. Salam kekerabatan, Om.
@Riris: Ris, mencoba berpikir out-of-the-box, apa salahnya? :)
@Sungkowoastro: aku setuju dengan kata intinya yaitu karakter :)
Aku tersenyum baca tulisanmu …
Lha panjenengan ini yo aneh. Mengapa menyamakan logika Tuhan dengan logika seorang DV? Tuhan punya logikanya sendiri. Bagi Tuhan, nggak ada yang sulit, nggak ada yang ribet, nggak ada yang nggak mungkin …
Soal alam yang berubah, biarkan saja. Kita sekarang nggak ketemu dinosaurus, nyatanya ya nggak apa-apa to? Jadi kalau anak cucu kita kelak nggak kenal kucing, ya biar aja. Kelak binatangnya sudah lain, mungkin jenis yang punya kepala sepuluh, supaya bisa menghirup udara lebih banyak … :D
Btw, soal crying room itu menarik sekali. Kayaknya bagus juga kalau dibuat di masjid-masjid, supaya anak-anak tidak mengganggu ibadah orang tuanya …
Saya nggak menyamakan logika, Bu.. lagipula saya mana tahu logika Tuhan seperti apa hehehe… saya hanya mencoba menempatkan diri sebagai saya yang manusia :) Hahaha…
Eh iya Don …
Kalau berkenan nulis di TV, terimakasih buangeet lho. Tolong kirimkan ke emailku ya. Ditunggu, saestu nggih …
Suwun
Wah, saestu, Bu? Sipp.. saya tak matak aji dulu cari inspirasi hehehehe
Crying Room itu ide yang brilian Don. Mustinya di Indonesia juga dibuat begitu, jadi saat orangtua beribadah, anak-anak bisa ada di ruangan khusus agar tidak mengganggu jemaah lain, dan otomatis mengurangi pula ucapan tak senang di hati orang2… *lg ibadah malah nambah dosa kan?*.
Tulisanmu dalam sekali tentang ini Don. Aku juga sering mikir bagaimana anakku nanti. Dengan satu anakku ini saja aku remang memandang bagaimana nanti, belum lagi kalau misalnya aku mau tambah adiknya. Namun kupikir lagi, kalau bumi memang semakin sempit sementara bayi-bayi terus lahir, mungkin sudah saatnya semua yang mati cukup dikremasi saja. Toh pada saatnya nanti bumi ini akan menciut dengan sendirinya bersama seluruh isinya.
Ide kremasi memang menarik.. di sini kebanyakan orang mulai berpikir untuk memilih kremasi ketimbang dikubur namun tentu kita tetap harus menghormati keyakinan orang bahwa mati means dikubur bukan dibakar :)
wah, di australia masih mending ada ruang utk menangis anak2, mas don. di negeri kita, agaknya sudah tak ada lagi ruang bagi anak2 utk menangis, apalagi bermain. setiap jengkal tanah sudah dirampok kaum pemilik modal. piye jal?
Hahahah betul Pak Sawali..
Harusnya orang yang punya modal itu tetap mikir hal2 seperti ini karena bukankah dengan demikian balik modalnya smakin banyak ya?
klo gk baca artikel ini saya mungkin gk akan tahu….
Heh?
sampeyan sudah memikirkan bagaimana nanti anak-anak kelak. Saya baru sampai memikirkan sekolahnya saja. Anyway perubahan akan selalu bersama kita dan anak-anak, mari menyambut dengan senang hati.
Crying room? awalnya saya kira tempat untuk memuaskan kesedihan dengan menangis sebebas-bebasnya :)
Betul, Mas…
Eh tapi crying room yang Anda bilang memang benar, tapi bedanya untuk memuaskan kesedihan dan nangis sebebas bebasnya untuk anak kecil :)
kayaknya lucu liat anak kecil menangis apalagi waktu dia nabrak kaca hahaha, tapi lebih lucu lagi kalo liat orang satu gereja nahan ketawa karena melihat ada anak kecil nangis karena menabrak kaca
Don, tulisanmu kali ini benar2 membuatku “gatal” untuk menuliskan komentar. Ada banyak pemikiran yang tiba2 mencuat. Eh tidak tiba2 ding, tetapi yg kamu tulis ini sebenarnya juga sedikit banyak aku pikirkan. Begini, ketika aku di Jakarta, aku sering terbengong2 melihat gedung2 tinggi yang memenuhi kota ini. Bengongku adalah, karena aku berpikir betapa sempitnya tanah di sini yang bisa menampung pepohonan. Mungkin ini pemikiranku sbg orang bodoh. Kenapa? Karena aku sebenarnya hanya berpikir, betapa sebenarnya kita manusia sedikit banyak sudah merusak alam dengan pembangunan gedung2 itu. Air jadi tidak terserap dengan baik, sumber air yang sudah tersimpan puluhan tahun dibor dan dipakai dg borosnya. Lalu, bagaimana nasib cucu dan cicit para pemakai gedung2 itu nantinya kalau nenek/kakek dan buyut mereka dulu sudah begitu borosnya? Aku cuma miris dan tidak bisa berpikir lagi. Kupikir kalau kita bilang, serahkan saja semuanya kepada Tuhan… aku pikir, kok kita egois ya? Kita diberi otak dan hati untuk mengelola bumi ini, tapi kita tidak menggunakannya untuk memikirkan hal2 jauh ke depan. Kurasa, meski sedikit, kita perlu berusaha untuk membuat alam ini menjadi sedikit lebih baik, setidaknya buat anak cucu kita.
Btw, ide soal Crying Room itu bagus juga. Jujur saja, aku sering terganggu saat ada anak kecil yang menangis ketika tengah2 misa. Tapi aku tak tahu mesti memberi solusi apa utk gereja di sini. Di satu sisi, anak2 perlu diperkenalkan dg misa. Tapi di sisi lain, kalau mereka rewel … umat lain terganggu.
Sorry, komentarnya kepanjangan, Don…
Hi Kris, apa yang kau pikirkan adalah apa yang kupikirkan saat ada di Crying Room itu.. tapi pada akhirnya aku percaya akan Tuhan yang pasti selalu lebih cerdik membuat jalan…
Tak perlu sorry untuk komentar yang bernilai tinggi ini
Kok saya malah berpikir bakal ada yang jual oksigen qiqiqi…
Jika saat ini ada kerjaan sebagai social media karna internet semakin bersahabat, mungkin kedepannya bakal ada banyak kerjaan unik karena sifatnya yang semakin bersahabat…
Duh, amit2 jangan sampe kalau sampe ada yang jual oksigen, Bro :)
Menyeramkan hahahah
wah sampean ki membuat saya harus berpikir dua tiga kali untuk membebaskan banyaklahan untuk di jadikan objek kepentingan tertentu………
lama tidak blogwalking jadi kadang moralitas saya dadi rusak karena duit hahahahahaha
sampean ki ngeden ngedeni …. piye kabare anak lan bojo lak yo do sehat to kang mas doni
Hahahaha nek soal lahan, kene bagi sithik Mas :)
Kabar sehat ugi sae, Mas.. pripun panjenengan?
Mangkane kang mas, kalo lg ibadah yo ojo nglamun. Wkwkwk..
Wong 5roti dan 2 ikan untuk 5 ribu org aja masih nyisa 12 bakul kok.
Knp harus khawatir?
karena saya manusia :)
menarik …
sebuah tanda tanya besar untuk mencoba mendekat dengan sang Pencipta sudahkah kita lakukan???
kita semua dalam proses :)
Tuhan pasti pelihara,
dengan caraNya Don :)
mengamini Maz 23 dari Broneo
Amin amin amin
Tuhan pasti punya cara untuk mengaturnya….
Mengurangi manusia bisa dengan bencana, perang, kecelakaan …(jika kita percaya adanya takdir).
Jika kita sejenak berpikir, betapa sulitnya…..lha kemarin di Bali pas 3 hari libur aja udah kayak cendol, dimana-mana orang, dimana-mana antri, dari antri jalan, antri bayar belanjaan, antri masuk Pura dsb nya….
Bukankah kita juga makin dewasa Don, dalam menerima kondisi apapun? Mendoakan anak-anak kita, mendampingi saat mereka bersedih, mengarahkan ke jalan yang lebih baik…..
Saya percaya Tuhan akan tetap mendengar doa umat Nya.
Wah, Bu…
serem amat istilahnya ‘mengurangi manusia’ hehehehe
weleh….pekerjaan sing kokpikirkan kuwi… ??? heheh…
Di Indonesia belum ada je crying room-nya…
kalau di Muntilan udah ada “pemahaman” tak tertulis. Misa Minggu jam 7.30 adalah misa “ribut” karena banyak keluarga yang mengajak anak-anak dan balita mereka. uyek bianget deh!
Nah, bagi umat yang nggak kepengen terganggu dengan jeritan anak-anak, silakan pilih misa Sabtu sore atau Minggu pagi jam 5.30.
heheeh jadi inget di gereja kotabaru ada misa anak2 jam 7 pagi..:)
wakaaakakak…la seko ruangan cilek kuwi kudhune ngerti jawabane kowe…..seng…penteng bagi Dia ki janjimu saat dikandungan ibu mu..pada bulan ke 4 heeheheeeh…disitu dia menanyakan dan memintamu…heeeeheeeeeeee meng kuwi…
ehehehehe… he eh Mbah :)