“Otsukaresamadeshita! (You’ve done the best! -red)” begitu kata Imelda, blogger Indonesia yang tinggal di Jepang mengomentari tulisanku tentang bagaimana sedihnya perasaanku ketika membuang sepatu Puma kesayanganku tahun lalu.
Dan nyatanya kali ini aku harus bersedih lagi karena baru saja aku membuang salah satu sepatu kesayanganku lainnya beserta sepotong celana yang boleh dibilang paling sering kupakai dalam dua tahun belakangan ini!
Sepatu kulit bermerk yang kali ini tak enak kalau kusebut merknya di sini yang kubuang minggu kemarin adalah sepatu pertama yang kubeli di Australia. Kubeli hanya sekitar dua minggu setelah kepindahanku dari Indonesia, 1 November 2008 silam di sebuah factory outlet di sisi timur kota Sydney.
Sepatu ini sangat bersejarah karena dengan mengenakannya aku waktu itu mulai memenuhi panggilan-panggilan interview ketika pertama kali aku cari kerja di sini.
Sepatu itu harus kubuang karena sol karet belakang telah habis terkikis hingga ke sol kayunya sementara di bagian depan, karena terlalu sering kupakai dan terantuk batu, trotoar maupun aspal barangkali, kulitnya telah mengelupas lepas.
Celana yang kubuang ber-merk yang tak perlu juga kusebutkan merknya di siniadalah celana non jeans paling enak yang pernah kupunya. Punya potongan slim fit tapi bukan skinny dan karena bukan jeans, celana ini hampir setiap hari kupakai untuk bekerja.
Karena kesetiaannya, bagian selangkangan dan pantat telah aus, beberapa sobek di bagian yang telah menipisnya.
Aku memberi penghormatan kepada sepatu dan celanaku itu. Sebelum kubuang, mereka kukenakan terakhir kali untuk menemaniku tugas koor dan bernyanyi Mazmur di perayaan ekaristi gereja minggu pagi kemarin. Sore harinya, sesampainya di rumah, setelah kuabadikan dengan kamera, sepatu itu kuletakkan di atas celana, lalu kugulung rapi dan kumasukkan ke tempat sampah yang akan diambil petugas kebersihan keesokan paginya. Janganlah kalian tanya bagaimana sedihnya…
Selamat jalan sepatu dan celana kesayanganku!
Pada waktunya nanti secara materi kalian akan binasa bersama onggokan sampah lainnya di waste management. Namun secara spirit, melalui tulisan ini, jasa dan keberadaan kalian kuabadikan melalui kesan yang ditangkap semua mata dan pikiran pembaca bahwa kita pernah bersama dengan begitu indahnya!
hehehe…. ngerti banget… Untuk ini aku sejiwa dengan kamu :D
dan berbahagialah kita yang menghargai benda mati, karena kita pasti akan menghargai benda hidup jauuuuuh lebih dalam lagi.
otuskaresamadeshita!
aku jadi ingat kausku yang sudah sobek di sana-sini. kainnya pun sudah tipis. tapi rasanya sayang banget untuk kubuang (baca: kujadikan serbet). aku masih memakainya, karena kaus itu adem dipakai. entah kapan kupensiunkan. rasanya aku terlalu sayang membuangnya…
Kris, tipis..bolong-bolong..selain adem juga sexy :D, aku juga punya tuuuh kaos rumah seperti itu. Tapi sekarang sudah tidak berani mengenakannya. Anak Sulungku suka protes kalau aku pakai kaos spt itu.
Mas, saya sangat salut anda begitu “memanusiakan” benda.
Mungkin mirip dengan ketika tahun 2005 dulu saya menjual motor Honda Prima yang sebelumnya selama 4 tahun menemani saya kuliah di Surabaya. Rasanya sedih tapi memang semuanya ada waktunya.
waduh sayang ya harus dibuang…
Kalau perempuan sepertinya jarang memakai barang sampai benar-benar aus ya Don. Itu menurutku ya, karena perempuan kan tak suka kalau terlihat ‘cacat’. Jadi aku lebih memilih beli sepatu baru meski tak harus mahal ketika kurasa yang lama sudah mulai aus (tapi tak se-aus punyamu). Yang lama2 dan sudah bosan biasanya aku simpan, atau aku kasih ke asisten yang mau.
Tapi ayah si Vay itu sama seperti dirimu, dipakai sampai aus benar2, baru setelah itu diungsikan dan dia beli baru. Gak mau dia beli baru kalo belum benar2 aus :D
kalau diriku ga pernah dibuang don.. selalu teronggok di dalam lemari. Biarkan dia menjadi sebuah cerita sendiri di sana… apa coba..:)
Kalo bapak pasti sepatunya disol ulang ke sol separu.. hihihihi..
Ahh.. aku jarang mengingat sejarah suatu benda. sepertinya jadi pengen memulai deh (setelah baca komentarnya mbal em)
Ada salah satu kalimat yg menarik, “aku memberi penghormatan kepada sepatu dan celanaku itu. Sebelum kubuang, mereka kukenakan terakhir kali untuk menemaniku tugas koor dan bernyanyi Mazmur di perayaan ekaristi gereja minggu pagi kemarin”.
Apakah ini jg d lakukan sbg wujud ibadah perkabungan terhadap “2 benda” tersebut?
Ah, nggak juga Mas. Cuma sebagai ‘penghormatan’ saja bahwa ‘karya terakhir’ mereka terhadap saya adalah saya pakai untuk hal-hal yang semoga mulia :)