Bagaimana Cara Kalian Memaafkan?

15 Feb 2009 | Cetusan, Tunggonono

Semalam aku mendadak jadi sangat kebelet buang air besar ketika mendengar melalui telepon bahwa Tunggonono, mantan penjaga malam yang selalu me-nunggoni (menunggui) ketika ku bekerja di Indonesia dulu, bilang bahwa ia telah berhasil memaafkan orang yang pernah menghajarnya di Pasar Ndemangan dan melupakan kesalahan orang tersebut pada saat yang bersamaan.

Well, sebagai teman sekaligus mantan bos, tentu aku hanya bisa manggut-manggut menghargai apa yang telah keluar sebagai kata-kata dari mulutnya. Tapi justru karena kemanggut-manggutanku itulah, meski mulut dan bibir bisa tetap pasif tersenyum tapi hasrat untuk boker tak tertahankan. Seperti ada yang bergejolak di perut dan minta dikeluarkan.
Apa mau dikata :)

Memaafkan, bagiku adalah proses yang tak jelas kapan akan berkesudahan.
Dan hakikat dari sebuah proses tentu memerlukan usaha dan intensi, kemauan serta kontinuitas dari dalam diri.
Ia harus memiliki iterasi, perulangan.

Separuh tahun yang lalu, seorang yang tadinya bahkan kuanggap adik sendiri, terpaksa harus kuakhiri hubungan persahabatanku dengannya karena satu kesalahan yang menurutku amatlah fatal.

Dalam sebuah diskusi non-formal di kedai angkringan di Jogja waktu itu, di depan teman-temannya yang baru juga ia perkenalkan padaku, secara sengaja dan sadar ia merobek-robek buku karyaku. Itu adalah buah kemarahan yang dihasilkan emosi labilnya karena tak sepakat dengan pendapatku tentang bagaimana mendapatkan bantuan bagi kaum papa dari penjualan ulang bukuku.

Tidak! Aku tidak memukulnya, menyentuhnya pun aku tidak.
Kali itu aku ingin membuat satu pembedaan diri antara binatang dan manusia.
Aku hanya diam lalu pergi dan berkomitmen dalam hati bahwa ia yang tak punya kuasa sedikitpun merobek “anak rohani” ku itu, adalah orang yang sejak saat itu sangat tidak pantas lagi bahkan untuk menyebut namaku sekalipun!

Seburuk apapun buku yang telah kubuat, ia tidak lahir dan keluar begitu saja seperti tinja yang keluar dari lubang dubur.
Ia adalah cerminan dari apa yang kupikirkan di otak, kutulis di media penulisan lalu diakui oleh sebuah penerbit sebagai karya yang layak dijual dan diterbitkanlah olehnya. Ada sebegitu panjang alur proses yang harus dilalui untuk menjadi buku dan dalam sekejap ia merobek dan menghancurkannya?

Sejak malam itu, kuanggap ia tak pernah ada lagi. Tidak sahabat, tidak pula sebagai teman.
Bagiku ia hanya menyisakan sebuah nama dengan kisah-kisah persahabatan nan heroik yang indah yang tak kan mampu kuingkari, tapi untuk bermimpi mengukir satu kisah indah lainnya bersamanya di depan secuil pun tak kudekatkan pada alam tidurku.

Tiga hari terlewati, dua bulan tergenapi hingga akhirnya ia meminta maaf padaku.
Melalui email ia mengaku telah berbuat kekilafan meski aku tak mengakui bahwa ketika ia menyobek buku itu ia sedang kilaf karena kalau ia memandangnya demikian, bagaimana kalau kubilang sekalian bahwa ia hidup dalam kekilafan yang panjang dan tak berujung ?

Tapi aku toh memaafkannya.
Kuterima maafnya meski tak serta merta kuanggap ia layak menjadi sahabatku kembali.
Bagiku menerima maaf adalah keharusan, refleks karena aku manusia tapi menjadikannya sahabat adalah pilihan dan aku memilih tidak.

Untuk yang pertama kali ia kumaafkan dan sejak saat itu kumulai sebuah journey panjang pemaafan terhadapnya yang entah hingga kapan kutahui ujungnya. Mungkin hingga pada suatu waktu karena banyaknya kejadian lain yang menguras daya ingatku, aku akan lupa akan kejadian itu sama sekali. Tapi lupa itu bukan berarti akhir yang baik dari pemaafan, bukan?
Melupakan kesalahan orang menurutku justru menggunakan kelemahan yang satu untuk menutup kelemahan kita yang lain sementara bukankah kelemahan itu seharusnya ditutup dengan lebih banyak kekuatan?

Dan akhir tulisan ini adalah akhir yang tak berujung pula.
Aku bukanlah manusia yang sangat pandai menyimpulkan apalagi mempersingkat sebuah pengertian.
Dan kali ini, kubiarkan kata “maaf” sebagai hal yang harus kurenungi entah hingga kapan tentang bagaimana baiknya mengelola prosesnya dan mengakhiri proses pemaafan itu dengan sesuatu yang baik nan sempurna.

Semoga aku dan barangkali kalian yang sepakat denganku dapat menemukan hilir permenungan itu.

Sebarluaskan!

34 Komentar

  1. Edan….
    Kenapa si kalo kasih komen di blog gue lo gak bisa waras kayak tulisan tulisan lo disini ?!?!?
    Bagu gue maaf itu kata yang tidak pernah habis Don.
    Karena entah kapan juga kita berhenti membuat kesalahan baik sadar atau tidak.
    Dan masalah memaafkan, adalah perbuatan mulia yang bisa di lakukan dengan logika dan hati.

    Balas
    • Alasannya gampang, Yes..
      Gw bakalan berkomentar waras di blog orang yang waras hahaha!

      Balas
  2. Aku setuju, mengambil sikap mau memaafkan itu bukan titik akhirnya. Masih ada proses dari telinga yang mendengar kata maaf, disetujui oleh otak sehingga mulut bilang “iya”. Dan yang terpenting masih ada hati yang harus ikut setuju.

    Balas
    • Sip!

      Balas
  3. maaf mas. sekali lagi maaf. tulisan sampean ini bener2 indah. kecuali dibagian bokernya … huehehehe

    Balas
    • Maturnuwun. Maaf juga kalau saya harus membawa masalah boker disitu. Maaf :)

      Balas
  4. Wah Don, untuk bisa memaafkan saja sungguh berat, lebih berat lagi untuk bisa memaafkan dengan ikhlas, dan melupakan sakit hatimu.

    Balas
    • Ah, sayang kau terperangkap dalam ungkapan “sakit hatimu” :)
      Mungkin kali ini kamu kurang teliti membacai tulisanku, Yog tapi aku memang benci untuk lupa karena lupa tidak menyelesaikan akar permasalahan selain hanya menutupi wajahku dengan topeng LUPA saja :)
      Tak ada kerja dan tak ada proses yang tak berat sebenarnya..:)

      Balas
  5. Memaafkan tidak sama dengan melupakan… apalagi terlupakan…
    Mungkin harus mengacu pada petuah Guru kita…. memaafkan atau lebih tepatnya mengampuni tidak cukup sekali… tapi tujuh puluh kali tujuh kali..
    Renungan bagus menjelang rabu abu Don !

    Balas
    • Tengkyu!

      Balas
  6. pengibaratan yang mendewasa tenan hahaaa
    saya malu dan termasuk orang yang susah memaafkan namun saya selalu berusaha benar untuk memaafkan walau asli memang sulit mas ( kadang susah sekali )
    tapi teori bokernya mudah mudahan berhasil y, yang udah ya sudah kali buang aja (ditangkap teorinya heheha)
    saya jadi merasa nggak lebih baik dari bnatang huuuuu hahaha
    eh iya salam dari kang wisnu,dibyo,mas pram dkk yah mas

    Balas
    • Hahahahaha, saya tidak menuding panjenengan binatang lho, konteksnya kan saya dan dia ketika itu :)
      Salam balik Mas, sukses selalu buat Mas Totok dan mereka semua!

      Balas
  7. Huehehe. Aku ingat betul kejadian itu. Kamu menelponku, misuh-misuh sembari sesegukan (eh, nggak pake sesegukan ya? He-he. Guyon!).
    Tapi kamu menunjukkan kebesaran hatimu, Dab.
    Kalau pada akhirnya kamu bisa memaafkan tanpa menjadikannya sahabat kembali, itu pilihanmu. Tapi ada yang lebih penting dari sekadar status seorang sahabat, yaitu memaafkan itu sendiri. Aku yakin itu nggak mudah.

    Balas
    • Fitnahmu tentang sesenggukanku lebih parah ketimbang fitnahku beberapa hari lalu yang mengatakan bahwa kamu MUNGKIN sedang berada di Surabaya.
      Hahahah!

      Balas
  8. Eh, aku komen sampai lupa dengan judul pertanyaanmu. Bagaimana aku memaafkan?
    Ah, ya lupakan saja atas apa yang pernah diperbuat orang tersebut. Anggap ia tak pernah melakukan itu. Sulit? Pasti…
    Tapi itu membuat kita lega.

    Balas
    • Lupakan? Jangan! Jangan pake kelemahan untuk menutupi kelemahan lainnya, Dan! :)
      Masa kamu mau lupakan Windy ? Hauhauahu Rugi!

      Balas
  9. Windy?
    Hahahahaha…..

    Balas
    • Iya.. Windy yang Utari ituw :)

      Balas
  10. Wah, mantepz…
    Postingannya enak bgt nih dibaca.
    Menerima permintaan maaf itu sebenarnya sudah baguz koq. Saya sendiri saja terkadang sulit untuk menerima permintaan maaf seseorang apalagi jika orangnya seperti yg om ceritakan di atas.
    Nah, klo tuk menerimany kembali menjadi teman itu tserah abang. Tp alangkah baiknya jika anda bersahabat lage. Ya kan?!

    Balas
    • Heh ? Apa bedanya teman dengan sahabat ?

      Balas
  11. minta traktiran!
    dengan begitu kita bisa semakin memaafkan!
    *kabur~!

    Balas
    • Kabur juga!

      Balas
  12. hmm…. “memaafkan, tapi tidak melupakan”…itulah yang sering kali terjadi…
    aku memaafkan kesalahan orang lain, tapi aku gak melupakan kesalahannya, sehingga aku gak mau lagi menjadi kekasihnya, sahabatnya, ataupun sesorang untuknya…
    :-)
    mulai sekarang harus belajar memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain… :-)

    Balas
    • Lho kok ke kekasihnya ?:)

      Balas
  13. sepertinya rumit juga, ya, mas donny, meski hanya terdiri atas 4 huruf. maaf, ya, ada orang yang suka latah mengucapkannya, tapi tak diimbangi dg keseriusan utk melakukan tindakan yang baik dan benar, seringkali memang bukan hal yang mudah utk memaafkan seseorang yang sdh membuat kita sakit hati. tapi, agaknya maaf juga memiliki nilai tambah yang luar biasa dalam komunitas sosial apabila kita ihlas melakukannya.

    Balas
    • Betul, Pak Sawali.
      Anda telah melengkapi tulisan saya dengan tepat, sepakat!

      Balas
  14. Maaf?
    Memang tak semudah mengucapkannya, dibutuhkan keikhlasan tersendiri untuk bisa benar-benar memaafkan dari relung hati, dan bukan hanya kata yang diucapkan melalui bibir.
    Dan saya sendiri….kadang sulit juga melupakan suatu hal…walau sudah memaafkan….atau ini merupakan bagian kekawatiran, agar nanti tak akan terjadi singgungan lagi? Mungkin sama seperti gelas yang retak, yang tak kembali lagi, walau yang menyebabkan retakan itu sudah dimaafkan.

    Balas
    • Ah! Gelas adalah analogi yang tepat, Ibu!
      Terimakasih untuk semakin memberi pencerahan tentang kata MAAF :)

      Balas
  15. setiap saya membaca postingan sampeyan, selalu saya reflek memaafkan sampeyan karena lebih banyak menyuguhkan tinja ketimbang kue lapis. nopo toh?
    btw, memaafkan sebatas lisan masih lebih mudah dilakukan mas ketimbang dengan hati.

    Balas
  16. memaafkan untk seorang cwo brengsex itu susah bgd .knp y ? ;(

    Balas
  17. Kadang bagi seseorang, hanya untuk menerima maaf saja bisa terasa begitu berat. Logika kita takkan cukup untuk bisa memahami kenapa kita harus memaafkan orang yang telah melukai kita. Hati yang telah tergores dalam..takkan cukup membendung perih akibat luka itu. Namun kita perlu memaafkan untuk satu alasan : SEMBUH. Ya, hanya dengan memaafkan luka itu bisa sembuh, dan kita tak perlu memaafkan untuk orang lain, karena ketika kita memaafkan orang lain, maka pada saat itu pulalah kita telah mengobati luka yang ada dalam diri kita, mengasihi diri kita, dan sekaligus memberi kesempatan diri kita untuk kembali percaya pada kehidupan dan cinta.
    For everyone who read it,
    It

    Balas
  18. Percayalah, kini saya menyadari dengan sungguh bahwa mencintai apa adanya memerlukan banyak energi dan air mata. Tidak mudah, tapi berharga untuk diperjuangkan.

    Balas
  19. kadang kita merasa memaafkan itu hal yang sangat berat untuk kita lakukan,,,tapi sesungguhnya dengan memaafkan maka kita akan merasa tenang dan lebih bahagia…
    kita memang tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi tapi setidaknya kita bisa berusaha untuk masa depan yang lebih baik…. :)

    Balas
  20. kuncinya itu ikhlas,,

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.