Asal tau jadi!

12 Mar 2015 | Cetusan

blog_sulap

Kemarin, di tengah kesibukan yang gila-gilaan, aku sempat bernostalgia tentang masa lalu bersama salah satu anak buahku. Ia orang Inggris yang pindah ke Australia sejak kecil. Usia kami lebih kurangnya sama dan sama-sama lulusan jurusan Teknik Informatika. Kita bicara soal perkembangan IT pada masa pertengahan hingga akhir 90-an dan membandingkannya dengan sekarang.

“Eh kamu ingat CGI/Perl?” tanyaku padanya.
“Ya, inget banget! Command line, no-WYSIWYG editor hahahha…”

“Jaman IT belum sememusingkan sekarang ya?” timpalku.

“Benar. Eh kamu ngalamin jaman microcontroller juga? Assembler?” tanyanya balik kepadaku.

“A-ha! MOV AL, 1h, Interrupt bla bla bla!”
“That’s right!”

Kebetulan tak semua yang ada di ruangan itu paham dengan apa yang kami bicarakan. Bukannya kami merasa tua, tapi kenyataannya memang yang lain yang berada di ruangan itu adalah mereka yang tak mengalami masa-masa ‘pra-sejarah’ itu.

Assembler adalah bahasa pemrograman aras bawah yang langsung berkomunikasi dengan instruksi arsitektur mesin komputer. Kalau kalian lulusan IT yang mengalami masa awal studi di era 90an, biasanya kamu juga akan diajari Assembler dalam materi kuliah Mikrokontroller. Tapi bagi kalian yang tak mengalami masa itu atau bukan orang IT sama sekali, bersyukurlah karena tak tahu apa itu Assembler!

Bayangkanlah kalau kamu kuminta untuk mengetik ‘Hello World’ di text editormu. Yang kamu perlu lakukan adalah mengetik ‘Hello World’ di keyboard lalu tiba-tiba muncul tulisan itu di layar, bukan? Kamu tak tahu dan tak mau tahu bahwa sebenarnya ada runtutan proses yang tak pendek untuk sekadar menuliskan hal itu di layar monitormu dan untuk itu kita bisa menggunakan Assembler.

Ketidaktahuan barangkali wajar, tapi ke-tidak mau tahu-an adalah produk dari jaman yang memanjakan kita untuk menjadi pribadi ‘asal tau jadi!’

Makanan cepat saji, tahunya kita asal tau jadi!
Kemajuan jaman, kemajuan berpikir dan teknologi menghipnotis kita untuk tak perlu turun dari mobil bahkan untuk mendapatkan setangkup burger lezat full kolesterol! Padahal untuk membuatnya tentu tak semudah dan secepat itu. Daging perlu diolah, sayur-sayuran perlu dibersihkan, roti perlu diproses dari yang semula hanya terigu.

Musik bajakan adalah contoh lainnya. Bahkan kamu tak perlu beli CD yang asli, asal tau jadi!?Tinggal pergi ke lapak CD bajakan, melego keping CD dengan harga yang sangat murah, masukkan ke dalam player lalu kita menikmati lagu seolah kita yang empunya lagu itu. Padahal kita tahu, seorang pencipta lagu harus merasakan ‘lelaku’ yang tak ringan untuk mendapatkan wangsit dan terciptalah sebuah lagu yang kalian gemari.

Korupsi juga adalah satu bukti nyata, buah dari budaya ‘asal tau jadi’.?Dengan mudahnya sekelompok mamalia yang masih berusaha mendeklarasikan dirinya sebagai manusia yang berbudi mengajukan anggaran tak wajar hingga trilyunan untuk barang yang nilainya tak sampai ratusan juta rupiah! Asal tahu jadi, asal pokoknya duit masuk dalam jumlah yang ‘T’ bukan ‘M’ apalagi ‘J’! Mereka sebenarnya tahu tapi tak mau tahu bahwa untuk mengais 25 ribu rupiah per haripun, seorang nenek di Jogja berusia 89 tahun harus menggelar dagangan kacang rebus yang kadang tak laku dan harus dibuang karena bau!

Meski jaman memanjakan kita dan menjadikan kita pribadi yang ‘asal tau jadi’ bukan berarti selama hidup kita harus berpikiran seperti itu.?Aku percaya kemajuan jaman akan membuat kita semakin tergantung pada banyak hal yang membuat segala sesuatunya mudah dan ‘tiba-tiba jadi’, tapi pernahkah kita mencoba untuk berhenti sejenak dari segala kenyamanan itu dan berpikir apa jadinya kalau tiba-tiba segala sesuatu yang ‘tiba-tiba jadi’ itu hilang dan kita tak bisa menemukannya lagi?

Tak usah jauh-jauh, bencana alam adalah salah satunya. Waktu gempa Jogja 2006 silam aku merasakannya.?Pada saat normal, mencari warung penjual pecel lele di sepanjang jalan di Jogja itu mudahnya tiada kepalang tapi saat gempa terjadi, jangankan penjual, warung tempat mereka jualan pun runtuh dan kita harus mencari makan jauh-jauh dari kota dan kadang hasilnya mengecewakan.

Atau ketika seseorang di-PHK!
Sebelumnya, mungkin mudah untuk seorang anak meminta uang pada ayahnya untuk dibelikan mainan terbaru. Ia tak perlu berpikir bagaimana mencari uangnya apalagi berpikir bagaimana membuat mainannya, tinggal perintah, si ayah mengeluarkan uang, si anak memilih mainan, transaksi terjadi lalu sudah! Tapi ketika di-PHK? Ketika setiap rupiah jadi benar-benar berarti untuk menentukan besok makan apa, pola-pola seperti itu mau-tak-mau harus ditinggalkan?

Intinya?
Tentu tak bijak kalau lantas melepaskan semua keduniawian karena kita masih hidup di dunia. Tak elok juga, meski boleh juga dicoba, meninggalkan semua kemelekatan ini, pergi ke hutan dan hidup dari ‘pemberian alam’ atau setidaknya berproses untuk menghasilkan.

Cobalah untuk setidaknya sebelum mendapatkan sesuatu atau menyantap dan menikmati sesuatu, berpikirlah bahwa segala sesuatunya itu ada karena proses, ada karena diusahakan dari seorang/sekelompok orang yang mengusahakan.

Salah satu contohnya adalah dengan apa yang kulakukan hari Senin silam. Sebelum berangkat kerja, aku menunggu truk pengangkut sampah datang dan mengamati apa yang ia lakukan ketika mengambil sampah dari bak yang kusediakan sejak semalam.

Di Australia sini, dan di negara-negara maju lainnya, Pemerintah menyediakan jasa pengangkutan sampah setiap hari-hari tertentu dengan menggunakan truk berlengan robot. Mereka datang ke depan halaman rumah, lengan robotnya ‘menggenggam’ tong sampah lalu mengangkat dan memasukkanya ke dalam bak sesaat kemudian tong sampah diletakkannya lagi dan si truk pergi. Sampah-sampah lalu dikumpulkan di waste management untuk diolah dan dipilah-pilah lagi. Sampah yang benar-benar tak bisa didaur ulang kemudian disatukan dan dimampatkan di tempat pembuangan.

Dari situ aku belajar bahwa sampah yang kumasukkan ke dalam bak lalu kubawa keluar itu tak tiba-tiba hilang karena menguap atau ‘diangkat ke surga’ ataupun ‘dibuang di neraka’. Ia hilang karena diproses dan diusahakan oleh orang yang kadang kita tak tahu dan tak mau tahu siapa pokoknya ‘asal tahu jadi’!

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Kita memang selalu harus berpikir untuk tidak selalu instan. Nikmati proses itu setelah dilalui ternyata nikmat.

    Keren Don, itu mobil sampah berlengan robot bahkan di perumahan elit Jakarta sekalipun gak ada. Di Aussie sini tenaga manusia mahal pisan ya. Kemanusian dihargai.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.