Yogyakarta, nyaris enam tahun silam.
Sawiyah, sebut saja demikian, teman lama yang cukup mengagetkanku karena ia mengaku tak tahu-menahu tentang kabar pergantian Paus padahal saat itu media nasional maupun internasional begitu tersita perhatiannya dengan proses regenerasi alami yang tengah terjadi di lingkungan gereja Katholik. Kekagetanku berasalan, ia, si Sawiyah itu, selalu memproklamirkan diri sebagai seorang Katholik fanatik yang tak pernah lepas dari buku doa, jadwal rutin ke gereja serta tentu dengan berbagai macam pernak-pernik serba religi di kamarnya; jadi kalau sampai ia tak tahu tentang pergantian Paus, apa ada kata lain selain ‘kebangetan’ yang harus kusematkan di jidatnya?
Waktu kutanya kenapa ia sampai belum tahu kabar itu hingga sekitar lima hari sesudahnya, inilah jawabannya, “Aku nggak sempat nonton tivi, mbaca koran dan mbukak internet jhe, Don…”
Si Gogor, temanku lainnya, anggap bernama demikian, tak kalah parahnya ketimbang si Sawiyah. Ia, Gogor, adalah teman lama yang dulu lumayan akrab denganku meski lantas menghilang seperti ditelan bumi… dan tiba-tiba sebulan silam, bak mayat hidup, ia nge-buzz di chat box-ku.
“Don… Ayo nge-Lik Man!”
Lik Man adalah nama penjual nasi di warung angkringan dekat Stasiun Tugu Yogyakarta, tempatku meluangkan waktu nyaris tiap malam sebelum akhirnya aku pindah ke Australia, dua tahun silam.
Karena kupikir guyon, akupun menanggapi dengan guyon pula. “Ayo! Segera jemput ya, Mas Bro!”
Ia lantas membalas, “Yo ayo… sebenarnya masih sore, tapi nggak papa aku berangkat sekarang. Eh, tempatmu kan masih di Jl Ampel, Papringan itu tho?”
Karena kurasa tak ada nada guyon sama sekali dari jawabannya, aku segera menganulir kata-kataku sebelumnya, “Eh, Gor! Guyon, Gor.. Masa kamu nggak tahu sih aku kan udah pindah?!”
Ia terperanjat (tampaknya). “Hah, tenane? Pindah mana? Jadi ke Australia?!”
Aku langsung kehilangan nafsu untuk berkomunikasi dengannya sejak saat itu.
(Sewaktu kutanya beberapa menit sesudah aku berhasil mengumpulkan nafsu lagi, kutanya kenapa dia nggak tahu soal kepindahanku padahal aku selalu berkoar tentang kabar-kabar pribadiku via blog ini, Facebook dan juga Twitter, Gogor menjawab bahwa ia tak terlalu tertarik untuk ‘bergaul’ di channel-channel informasi yang kusebut barusan…)
* * *
Teman, sebenarnya kurang seterbuka apalagi kah dunia ini?
Empat puluh tahun silam, orang harus pergi ke kelurahan untuk menyaksikan siaran langsung Piala Thomas demi menyaksikan kehebatan Rudi Hartono dkk berjuang melawan Denmark maupun India.
Dua puluh empat tahun silam, orang harus menantikan siaran berita “Dunia Dalam Berita” kalau ia tak berlangganan koran untuk mencari tahu bagaimana kabar kecelakaan pesawat ulang-alik Challenger di Amerika sana.
Tapi kini, bahkan lewat gadget yang sebelumnya dikenal sebagai handphone, kita bisa menggenggam dunia. Orang bahkan tak perlu berlangganan koran atau menantikan siaran televisi yang kian membosankan, cukup ketak-ketik sebentar di browser mini yang terinstalasi di gadget dan informasi mengalir bak air yang mengucur deras ke depan mata.
Belum lagi social media, di dalamnya kita bahkan bisa tak hanya berlaku diam sebagai ‘penerima’ tapi juga bisa aktif sebagai transmitter… boardcaster yang menginformasikan apapun yang ingin kita informasikan mulai dari kabar hingga opini kita tentang banyak hal, tentang semua hal.
Persoalannya sekarang memang tinggal mau atau tidak!
Kalau mau mengikuti jejak si Sawiyah atau Gogor, maka tutup saja tulisan ini segera setelah Anda menerima ucapan dariku, “Selamat menjadi katak dalam tempurung!”
..
..
..
Oh.. oh, Anda masih di sini? Good!
Pernah menonton pertunjukan sirkus dimana orang berusaha terus berdiri di atas roda yang berputar?
Aku berpikir bahwa relasi antara kita dengan informasi harusnya demikian. Roda kehidupan ini terus berputar dan kita harus selalu berada tepat di posisi paling atas. Caranya? Pelajari ritme gerak roda dan dalam hitungan sepersekian detik, kaki harus mampu menerima keputusan otak untuk menapak sekian meter per detik cepatnya, menyelaraskan dengan laju roda. Salah sedikit saja, kalian akan terjungkal dan kita harus memulai dari awal lagi.
Manusia-manusia semacam Sawiyah atau Gogor adalah contoh manusia yang menurutku tak bisa menjaga ritme untuk selalu berada di tempat teratas. Dalam beberapa sisi kalian mungkin tak setuju denganku karena “Loh Don, tapi kan mereka tetap happy meski mereka tak update kabar terbaru?”
Iya, mereka tetap happy karena selayaknya katak pun juga akan happy ketika melihat atap tempurung yang selalu pekat, dunia yang soliter dan ia tak perlu kemana-mana hingga ajal menjemputnya.
Tapi pernahkah kalian membayangkan apa yang terjadi ketika si katak memiliki pilihan untuk membuka tempurungnya? Meski gugup dan gentar oleh perubahan, Ia pada akhirnya akan jauh lebih happy ketika tempurung dibuka karena ternyata atap tak melulu harus gelap dan ada begitu banyak warna yang tersedia di lingkungan sekitarnya dan saatnya mengucapkan selamat tinggal dunia soliter nan gelap, kan?
Tapi repot jhe Don kalau harus update, informasi yang mana yang harus kita ikuti sampe pusing saking buanyaknya!
Sebentar, perkaranya, kalau boleh mendefinisikan, sebenarnya adalah kamu terlalu malas untuk menyaring informasi ketimbang menerima semuanya bulat-bulat.
Bagaimanapun informasi harus disaring, mana yang perlu diikuti dan mana yang tidak. Dasarnya, singkirkan perkara penting-remehnya, tapi utamakan soal terpercaya-tidaknya.
Bagiku, menyaring informasi berdasarkan “Oh, ini info sampah!” dan “Oh, kalau yang ini bisa terpercaya!” adalah lebih utama karena pada akhirnya ketika semua informasi telah masuk kriteria ‘terpercaya’ secara otomatis, seiring berjalannya waktu, kita akan dapat pula menentukan mana yang penting untuk diikuti dan mana pula yang tidak.
Tapi kalau penyaring utamanya adalah yang terpercaya, lantas bagaimana pula dengan facebook, blog, twitter?
Lantas? Maksudmu?
Tak ada beda prinsip dasar dalam pengaksesan informasi di kanal-kanal yang kau sebut itu dengan media-media mainstream seperti koran, televisi dan radio.
Tetap berprinsip pada penyaringan informasi berdasar kadar kepercayaannya karena satu hal yang membedakan antara social media dengan media arus utama hanyalah bahwa di social media, kita bisa tak hanya berlaku diam sebagai penerima informasi tapi juga bisa berperan sebagai penyebar informasi seperti yang kubilang di awal-awal tulisan ini.
Pilihlah teman atau sumber yang terpercaya untuk dimasukkan ke dalam daftar temanmu di Facebook atau ikutilah mereka yang selalu menjaga integritas kicauannya di Twitter serta jangan salah pilih mencari blog yang patut diikuti dan dimasukkan ke dalam RSS Readermu.
Nah, kalau kamu sudah bisa mengatur diri sebagai penerima informasi yang baik dan hendak mencoba untuk menyiarkan informasi, berlakulah sebagai penyiar yang baik dengan menginformasikan hal-hal positif dan terpercaya, bukan bualan ataupun taktik pencitraan yang berlebihan. Berpikirlah seperti halnya bagaimana kamu diikuti sejuta orang dan apa yang kau ucapkan akan sedikit-banyak mempengaruhi mereka, bukankah akan sangat mengkhawatirkan kalau kau meracuni mereka dengan hal-hal yang buruk ketimbang menyuapinya dengan kabar-kabar baik?
* * *
Kemarin.
Pada siang yang lengas, tiba-tiba telepon genggam yang dari tadi kumainkan untuk mengikuti linimasa di Twitter, berdering.. sebuah text message tersampaikan, ada nama Gogor di sana.
“Don, suwun wejanganmu wkt itu. Aku udh buka blog, fb dan twittermu smuanya bagus. Tur, sorry lho iki, ngga penting buatku jhe! Tenan iki, Dab.. hehehe”
O well.. saatnya berujar, Asu! :)
ulasan yang menarik….salam…
hihihi… orang-orang begitu uaaaakehhh yooo
padahal udah abad di mana semua nyaris tak ada rahasia, masih ada kok yang tetap nyaman untuk tidak merasa penting mengetahui pernak pernik yang sejatinya tidak merugikan dirinya. percaya tidak percaya jumlah mereka yang demikian lebih banyak daripada yang melek teknologi informasi. aku juga bingung itu karena bawaan genetika atau bukan karena kalau aku bandingkan dengan ortuku sendiri, aku bersyukur ortuku yang sudah usia 65-74 thn masih bisa dengan inisiatif mereka sendiri bertanya padaku untuk dibuatkan akun facebook, akun YM, browsing dan googling sendiri dengan asyiknya. mereka yang tua pun sadar diri untuk mengikuti perkembangan yang ada walaupun ‘sudah’ merasa terlambat, tapi ternyata tidak ada kata terlambat untuk mempelajari gadget dan software user friendly. mau tua, bahkan bayi pun sekarang sudah bisa berselancar sendiri di dunia maya (contohnya anakku yang tiga tahun sudah bisa memilih sendiri web yang dia sukai dan asyik belajar serta bermain dengan fitur-fitur yang ada). hasilnya? jelas mereka tidak akan merasa kelebihan informasi, tetapi justru terlatih untuk memfilter informasi.
jadi saranku : terimalah kekurangan temanmu itu karena mereka sepertinya tidak MAU berubah walaupun zaman berubah hehehe…
… “linimasa”..?, aku juga baru dengar!
lha baca blog-mu kok aku tetep aja katro ki piye Dab!
hahaha….. kebahagiaan masing-masing orang itu tolok ukurnya berbeda-beda, don…
*pantengin twitter lagi*
“menyaring informasi ketimbang menerima semuanya secara bulat-bulat”
Good point
Memang tidak semua orang menganggap informasi seputaran socmed adalah wajib. Masalahnya adalah minat mereka ada di situ atau tidak. But somehow, aku pribadi menganggap bahwa utk orang2 muda sudah selayaknya tahu dan melek internet, meskipun gak suka socmed. Tp klo yg sudah masuk angkatan jaman dulu kayak orang tua kita, yaaa dipahami sajalah.
aku lebih suka menyebut “katak dalam gelas” ketimbang “katak dalam tempurung”. di dalam gelas, mereka mengetahui bahwa ada dunia lain di luar dunianya. ada alam luas yang terbentang di luar sana. tapi, ia tak berani dan tak mau keluar dari zona amannya itu. dia merasa bahwa gelas tempat ia bernaung, sudah cukup baginya. ndak perlu capek-capek berkeliaran di dunia luas itu.
ah… bagiku, orang seperti itu sangat patut untuk disantuni…. hehehe..
prinsipnya, “jadilah imun, jangan steril” :)
Ternyata orang semacam Gogor itu akhirnya dapat berbuka terhadap informasi manakala ada yang memberi bantuan, ya seperti yang Om telah lakukan itu. Selamat, ya Om, telah membawa seseorang pada kebaikan dan kemajuan.
Salam kekerabatan.
tulisanmu ini mengingatkan cerita ttg frater2 suatu ordo tertentu yang menjalani masa novisiat. mereka harus diputus dari dunia luar selama bbrp tahun. waktu itu settingnya tahun ’98. pas masa novisiatnya selesai, pak harto udah lengser. katanya mereka seolah tak percaya mengetahui indonesia tanpa pak harto. hehehe. tapi selanjutnya sih mereka ya tetep update berita sih. ndak mungkin to mereka terjun ke masyarakat tanpa tahu berita?
tapi barangkali, untuk mengolah batin, terputus dari dunia luar itu diperlukan. (bbrp macam retret kan seperti itu.) tetapi kalau tidak mengikuti terus-menerus tanpa suatu tujuan (misalnya untuk pengolahan batin), kok aneh ya. setidaknya tahu berita lah. sekedar tahu saja. mau menganggap penting atau nggak penting itu sih terserah saja.
aha, linimasa, jarang yang pakai kata itu :D
Di sekolah anak-anak saya, nyaris semua ibu ngerti Facebook dan twitter, walau penggunaannya malah jadi nggak bermutu, karena suka jadi ajang pamer, sirik-sirikan, dan berantem :(
Facebook sekarang sudah tak menyenangkan, terlalu banyak yang jualan :D
untung mereka punya temen kayak kamu Don, jadi mereka bisa dibukakan matanya, tapi kalo emang kebahagiaan yang jadi ukuran ya….kadang informasi bukan salah satunya juga sih…..seperti lagu duran duran yang “too much information”heee…
Orang yang nggak mau tahu informasi ternyata banyak juga lho Don. Nggak pernah baca koran, kalau nonton teve pun yang dipilih program sinetron dan infotainmen, boro-boro buka internet … Untuk orang-orang yang usianya di atas 50, dan sejak awal memang tidak akrab dengan kegiatan membaca, dunia maya betul-betul ‘maya’ buat mereka, alias ‘tak terlihat’ … :)
Aku sendiri hanya aktif di blog. FB punya, tapi cuma buat ‘pantes-pantesan’ (hare gene gak punya akun fb, apa kata kebo bule? :D ). Twitter nggak pernah sentuh. Maklum Don, tidak semua orang pekerjaannya sepanjanjang waktu di depan meja, ngadepin komputer. Kalau untuk orang2 kantoran seperti itu, setiap saat mungkin gampang saja ‘mojok’ sebentar ke blog, fb, dan twitter, tapi untuk orang yang pekerjaannya banyak ‘jalan’, nggak banyak waktulah. O-el lewat hp? Halah, bikin mata sepet, wong tulisannya kuecil-kuecil … Lagian, nyebelin banget kalau orang lagi kerja atau bersama orang lain, sibuk dengan hapenya sendiri … :(
Hehe …. komenku kok nggak karuan ya …. sorry :)
Keren wejangannya, memang begitulah dunia ini.
Tapi menurut saya semua adalah pilihan, mau hidup di hutan sendirian juga pilihan. Tapi asal diingat semua pilihan memiliki konsekuensi.
Hehehe…saya termasuk konservative lho Don..
Ikutan FS, Multiply..kemudian berubah jadi FB, Blog (twitter belum…males ah)….semua hanya agar mengenal anak-anakku….jadi awalnya tujuan hanya agar dekat dan mengenal teman anak-anakku. Se sederhana itu…
Orang seperti Gogor masih banyak, bahkan mungkin di Indonesia lebih banyak dibanding yang melek internet.
Saya sekarang jadi bendahara yayasan, ngurusi kesejahteraan pensiunan…saya pikir nggak apa-apa untuk amal..busyet..kompienya masih jadu. Tapi akan diperbarui, dan akan diberikan saluran internet, karena pengurus sekarang (ketua, sekretaris, bendahara) “agak melek” internet dan punya kesibukan lain diluar kegiatan yayasan. Dan mantan temanku, mantan bos, mantan General Manager..yang selama ini komandan dilapangan..belum tentu ngerti internet lho..kan bisa perintah, selalu ada sekretaris, ada sopir (jadi mobil tanpa pintu), tas dibawakan…juga punya anak buah pintar-pinta minimal S2…tapi pemikirannya benar-benar brilian.
Jika melihat pengusaha, banyak sekali pengusaha korporasi, yang bahkan sekolahnya tak tinggi namun asetnya triliun.
Tapi ke depan..tentu akan berbeda, semua melalui tahapan….
Ini bukti hukum keseimbangan, Don. :))
Konco-koncomu kok anak kewan to Don?
Hmmm… aku juga pernah merasakan gregetan melihat teman yang nggak mau update informasi terkini… oh well, kadang aku juga males baca koran, nonton TV, dan mantengin FB dan Twitter…. tapi… nggak sampai 2 hari wes ngerti berita yang penting-penting.. ternyata agak aneh juga “terlambat dapat info”.. hehehe… :)