Ari Wulu: FKY memposisikan semua genre seni untuk dihargai

25 Agu 2014 | Cetusan

blog_wulu

Nama aslinya Ishari Sahida.
Dia teman satu SMA, adik kelas satu angkatan lebih tepatnya.

Aku dulu memanggilnya sebagai Ari Sapto, biasalah ejek-ejekan model ABG menambahkan embel-embel nama orang tua di belakang nama panggilan karena nama ayahnya memang Sapto Rahardjo (alm), seorang seniman musik terkemuka di Jogja.

Tapi menjelang lulus SMA, aku baru tahu kalau ?nama beken? nya adalah Ari Wulu. Jangan tanya kenapa ia dinamai demikian karena model pemberian ?nama? di almamaterku tercinta, SMA Kolese De Britto memang kadang aneh nan menggelitik. Aku misalnya, sosok setampan ini pun dulu biasa dipanggil sebagai Kermit atau Loket. Entah kenapa…

Kembali ke Ari yang Wulu tadi, selepas SMA, bibit seni yang menurun dari ayahnya mendominasi. Pria kelahiran 7 Juni 1979 ini bereksplorasi untuk menyalurkan bakatnya mulai dari band, DJ hingga bidang yang digeluti ayahnya, gamelan.

Hingga sekitar dua bulan lalu, aku menemui namanya bertengger sebagai Ketua II dalam susunan pengurus/panitia Festival Kesenian Yogyakarta ke-26! Aku segera menghubunginya melalui social media untuk ?ngobrol? soal FKY dengan sesekali ditingkahi obrolan kenangan masa SMA kami dulu.

Sekelumit yang bisa aku ?share? kan pada kalian ada di bawah ini, semoga membahagiakan semembahagiakan kita melihat clip menarik terkait pembukaan FKY ke-26 minggu lalu di bawah ini!

DV: Kamu terlibat dalam pelaksanaan FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) sejak kapan?
Ari: Sejak tahun lalu. Aku diajak kawan lama untuk ngurusi FKY, lalu jadi Ketua II tahun ini membawahi divisi pertunjukan.

Soal FKY tahun ini, tagline-nya ?Dodolan Rame-rame? atau ?Do dolan rame-rame? (mengenai penjelasan tagline ini harap baca tulisanku sebelumnya)?
Dodolan.. Memang sengaja ada dualisme di situ. Yang pertama Dodolan (jualan, dagang -jw), yang kedua do-dolan (bermain bersama -jw)

Dodolane opo, dolanane opo? (Jualannya apa, mainannya apa?) Implementasinya di FKY bagaimana?
Dodolan itu mengacu ke konsep FKY sebagai etalase seni budaya Jogja, sudah semestinya seni dan budaya Jogja diapresiasi dengan layak.

Kalau ?Do dolan? itu karena tahun ini FKY diselenggarakan ?secara merdeka? oleh empat kabupaten dan satu kotamadya.

I see.. Di brosur FKY yang kuterima ada tulisannya ?Kali ini istimewa? Apa itu berarti bahwa pada FKY-FKY sebelumnya tidak istimewa?
Hahahahaha?
Kuwi cah-cah publikasi sing selo?karena tahun ini dana pelaksanaan FKY memang berasal dari dana keistimewaan DIY.

Kudune intonasine ?Kali ini istimewa? kuwi diwoco karo ngikik! (Maaf, dua kalimat jawaban Ari tidak kuterjemahkan karena tak menemukan padanan kata yang sama baiknya dalam Bahasa Indonesia. Mohon tanyakan artinya pada kawanmu yang Jawa -red)

Lho memangnya ada apa dengan Dana Istimewa? Apa kamu nggak setuju dengan penggunaannya untuk pembiayaan FKY? Kalau tidak kenapa diterima?
Yo kalau menurutku dana istimewa itu memang seharusnya untuk pemelliharaan seni dan budaya Jogja dalam lini apapun cuma penerapannya juga harus dengan sistem yang benar!

Maksudnya?
Selama ini Dinas Kebudayaan DIY selalu menggunakan template dalam penganggaran dana keistimewaan jadi tidak tepat sasaran. Hasilnya? Muspro! Meski duitnya milyaran tapi efeknya tak bisa lebih bagus dibandingkan kalau dananya cuma ratusan juta. Lalu apa gunanya?

Tapi aku melihat cara kerja mereka selama dua tahun ini juga kasihan! Mereka nggak ngerti tapi ya salah mereka sendiri tidak melibatkan orang-orang yang ngerti!

OK, jadi FKY itu sebenarnya kritik ya? Ada yang lain yang ingin dicapai dalam FKY kali ini?
Ada. FKY kembali diterima masyarakat! Itu ide yang ingin dicapai sejak tahun lalu sebenarnya?

Yang nyebabkan FKY sempat tidak diterima masyarakat itu apa?
Jadi gini?
Selalu ada wacana skeptis dari kawan-kawan seni bahwa FKY itu pasti gratis dan seadanya. Aku paham dan sadar karena aku pelaku seni juga lalu jadi tak percaya lagi pada FKY.

Tapi mungkin karena penyelenggaraan FKY tahun kemarin dianggap menarik, akhirnya banyak kawan yang tertarik untuk bergabung dengan resiko apapun termasuk kalau duitnya sedikit.

Dari situ kami berkesimpulan bahwa kalau festival digarap dengan benar, pelaku seni sudah merasa dihargai walaupun secara nominal, duit yang mereka terima tidak terlalu besar.

Itulah yang kami lakukan sekarang.

Jadi, PR-mu berikutnya pada FKY mendatang adalah bagaimana supaya ?nominal?nya juga gede. Ngono,Ri?
Iya, tapi untuk itu masih butuh proses…

Lalu kenapa FKY sekarang ada di Taman Sari dan Plasa Ngasem?
Karena dari tahun lalu kami mencoba mencari venue anyar yang lebih festive?

Tapi kan kamu tadi bilang bahwa kegiatan FKY juga menyebar di empat kabupaten dan satu kotamadya? Atau pusatnya saja yang di Taman Sari dan Plasa Ngasem?
Yes!
Pasar seni dan panggung seninya memang di dua tempat itu tapi di luar juga banyak panggung lain yang digelar harian?

Soal konten FKY sendiri piye, Ri? Maksudku, orang kan terlanjur memandang Jogja itu selalu identik dengan wayang, ketoprak pokoknya yang serba ?era lalu?? Apakah akan seperti itu atau ada pertunjukan seni-seni kontemporer juga?
Seka wayang kulit tekan video mapping. Seka karawitan tekan grindcore!?Hahahaha?

Ngene, FKY berusaha memposisikan semua genre seni untuk dihargai. Genre tradisi masa lalu dapat ?angka? lebih tinggi harapannya biar mereka bisa mengembangkan diri sementara yang kontemporer/pop ?angkane? lebih kecil karena kesempatan mereka di luar FKY lebih besar.

Berapa dana yang digelontorkan untuk pengadaan FKY kali ini?
(karena sesuatu hal, Ari meminta aku untuk menyensor bagian ini meski ia menyebutkan sebuah angka…-red)

Sekarang kaitannya dengan Jogja, Ri? Dari sisi pembangunan Jogja kan sekarang semakin metropolis. Apa masih cocok diadakan event seperti FKY didalamnya? Apa itu justru seolah tidak menabrakkan diri pada modernism?
Konsekuensine mung loro, meh nabrak atau numpaki?

Maksudmu?
Aku melihat sekarang Jogja ada di masa transisi jadi ya harus bisa saling mengingatkan. Kupikir semua kota-kota terbaik di dunia juga pasti pernah kehilangan hal-hal yang berharga dari masa lalu di dalamnya?

Masa transisi itu piye? Jangan ambigue! Kalau kerusakan lingkungan (air tanah, baca tulisanku sebelum ini tentang aksi teatrikal Dodok) karena pembangunan yang gila-gilaan masih kamu anggep sebagai transisi, lalu masa kesudahan dari transisi itu akan seperti apa?
Loh, justru kuwi!
Aku nggak ngomong bahwa aku setuju bahkan sejak Jl Gejayan (sekarang Jl Affandi) seolah dijadikan ?ruang pamer neon box? (karena ramai dijadikan tempat usaha lengkap dengan papan reklame berupa neon box di sana-sini -red) aku sudah pernah ngomong!

Masa transisi itu karena pemerintah sedang bereksperimen tentang Jogja. Target wisatawan meningkat, maka butuh hotel? Tapi sistemnya saja yang salah, kota lantas dijadikan bulan-bulanan, semua dibongkar untuk didirikan hotel.

Lalu?
Kalau bisa dalam sehari berhenti saja lalu bikin riset mungkin hal-hal seperti itu bisa dicegah tapi karena progresif, harus mengerjakan target lain sementara yang sekarang juga masih berjalan jadinya ya seperti ini?

Jogja ora didol! :))

Tapi lalu sekarang gimana? Adakah solusi serentak untuk mengatasi hal ini??Hasilnya paling banter cuma nyalahin Sultan.

Revolusi?
Daripada koar-koar lebih baik tandang gawe wae.. Bikin Jogja lebih baik menggunakan caranya sendiri-sendiri untuk sementara waktu?

Atau mau dibongkar hotel-hotelnya? Hahahaha?

Sebarluaskan!

12 Komentar

  1. Mmhh,
    *gek mbayangke nek wulu ngomong mbek bahasa ber EYD kok tetep gak iso mbayangke yoo…hehe
    #mlipir

    Balas
    • Mangkane beberapa kalimat sengaja ora kuterjemahke. Bukanne ora iso tapi sayang wae kehilangan ‘feel’ nya :)

      Balas
  2. Cen Mas Wulu kih lar biasa! Bapak FKY :))

    Balas
  3. mas ari kemarin 3 hari ngeMC di YGF juga :D

    Balas
  4. Ri tahun ngarep njaluk dana sing luwih gedhe…. Lha wong penyerapan danais durung maksimal kok. Termin ketiga terancam tidak turun…

    Balas
    • Nuwun komennya, Pak Dewan :)

      Balas
  5. Vote Sir Wulu for Menteri Kesenian \o/

    Balas
    • Yeah!

      Balas
  6. Wahhh…mas ari wulu…kerennn dahhh..sempat mengenalnya,mbuh kenal mbuh ora ding, pokokmen sering ketemu di lorong fakultas sastra (Jur. SING) USD, tahun 98-2000an, karena seangkatan 98. Suka pakai topi pak tino sidin, rambute abing riwal riwul, rodo arep gimbal sing rodo ora sido. Salam sukses untuk Bung Ari n FKYnya…

    Balas
    • WVLV Fans Club! :)

      Balas
  7. Aku misalnya, sosok setampan ini pun dulu biasa dipanggil sebagai Kermit atau Loket. Entah kenapa?
    —–
    nak julukan “bathuk” (jidat) seko Pak Samino…:D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.