Kabar Baik Hari Ini, 2 Mei 2017
Yohanes 6:30 – 35
Maka kata mereka kepada-Nya: “Tanda apakah yang Engkau perbuat, supaya dapat kami melihatnya dan percaya kepada-Mu? Pekerjaan apakah yang Engkau lakukan?
Nenek moyang kami telah makan manna di padang gurun, seperti ada tertulis: Mereka diberi-Nya makan roti dari sorga.”
Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga.
Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberi hidup kepada dunia.”
Maka kata mereka kepada-Nya: “Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.”
Kata Yesus kepada mereka: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.
Renungan
Roti manna adalah jawaban; bentuk tanggung jawab Allah terhadap orang-orang Israel yang baru dibebaskan dari perbudakan Mesir menuju Tanah Terjanji. Mereka kelaparan lalu terkenyangkan dengan manna yang dijatuhkan Allah dari langit selama bertahun-tahun.
Yesus adalah jawaban; bentuk tanggung jawab Allah terhadap umatNya karena Ia mengasihi kita semua. Melalui Yesus kita dibebaskan dari perbudakan dosa menuju Tanah Terjanji yaitu kerajaanNya yang tak akan menemui akhir. Untuk itu, Ia menyebut diriNya sendiri sebagai Roti Hidup, roti benar yang diturunkan Allah dari surga, tempat kehidupan akan terus berkelanjutan, tempat kematian mati dan tak memiliki ruang lagi.
Pertanyaannya sekarang, adakah saat ini, 2000 tahun setelah Yesus turun ke bumi, kita masih memerlukanNya? Adakah kita masih kurang kenyang dan kehausan meski sudah dibanjiri dengan teknologi, ilmu pengetahuan dan logika yang mencukupkan segala kebutuhan hidup kita itu?
Pada pertanyaan yang lebih tajam, adakah percaya kepada Yesus dan menganggapNya sebagai roti hidup itu adalah satu hal yang outdated? Kuno, ketinggalan jaman dan tidak kekinian?
Kawan-kawanku di sini banyak yang semakin tak memandang perlu untuk bertuhan apalagi beragama. Mereka kenyang dan tak kehausan dengan mengonsumsi logika, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbuat baik kepada sesama tetap mereka pandang perlu, “Dan untuk berbuat baik, aku gak perlu Tuhan dan agama, Don!” begitu jawabnya.
Tapi itu kan di negara barat, Don! Tidak dengan negara kami, negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan Tuhan!
Really? Katakanlah demikian tapi ada ‘kawanku juga’, ia tinggal di sana. Ia memandang perlu tuhan dan mengagung-agungkan agama untuk kepentingan pribadinya. Ia jadi dihormati, mendapatkan tempat lebih tinggi di masyarakat karena ia tampak lebih beragama dan lebih bertuhan.
Ia mengejar kuasa dan jabatan menggunakan ‘keunggulannya’ itu dan ia tak peduli meski ada banyak pihak tersakiti. Kawanku ini menurutku, ia bertuhan dan ia beragama tapi apakah ia telah dikenyangkan dan tak dibikin haus oleh Roti Hidup atau roti mati yang berpihak pada nafsu-nafsu duniawi yang tak abadi?
Itu kawan-kawanmu, Don! Bagaimana dengan dirimu sendiri? Jangan-jangan kamu juga sudah tak memandang perlu Tuhan seperti kawan-kawanmu di sana?
Jawaban jujur yang bisa kuberikan, kadang aku memang berpikir demikian. Kadang aku merasa hidup ini tak perlu tuhan karena sudah terkenyangi dan tak kan mati kehausan karena absorbsi yang tinggi terhadap logika, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Tapi kadang justru dari perasaan yang tidak perlu itu, muncul kerinduan untuk ‘merasa perlu’ terhadap Tuhan. Kemunculannya seperti orang yang diet makan roti/nasi. Ia kenyang tapi ‘lapar’ karena lama tak makan roti/nasi.
Aku berjuang setiap hari untuk tetap percaya kepada Tuhan. Aku menyadari perjuangan itu dan berusaha membangun kepercayaan kepadaNya di atas rasa ketidakpercayaanku terhadapNya.
Caranya?
Aku jujur pada diriku sendiri. Aku tak membiarkan diriku untuk melupakan rasa tidak percaya itu. Aku menghadirkan ketidakpercayaan itu dalam benak dan kepadanya kutantang dengan menghadirkan bukti-bukti Kasih Allah. Benakku memperdebatkan rasa tak percaya dengan rasa percaya itu.
Sebaliknya, ketika aku merasa terlalu mudah untuk jatuh percaya, aku menguji kepercayaan itu dengan merenunginya berkali-kali sambil melihat kenyataan dunia, adakah yang saling bertentangan dan kenapa hingga sampai sedemikian pertentangannya?
Tapi itu namanya menguji iman, Don?
Benar, dan aku lebih memilih menguji iman daripada membiarkannya busuk karena terlalu matang!
Tapi itu berisiko, kamu bisa jadi tak percaya, jadi atheis nantinya!?
Hmm…orang pesimis selalu berkata demikian, tapi bukankah yang terjadi juga bisa sebaliknya, kita jadi makin percaya kepadaNya?
Apakah kita masih memerlukan Yesus dalam hidup ini? Yuk dimakan rotinya, Kakak!
0 Komentar