Aku merasa ‘puas’ bahkan cenderung ‘nyukurin’ ketika beberapa hari lalu sedang mengantri tiket kereta api melihat seorang ibu yang nyelonong masuk ke antrian dari jalur yang salah lalu ditegur oleh ibu-ibu lain yang tepat ada di depanku.
“Lewat jalur yang sini, bukan yang situ..” ujarnya tegas tapi tak ketus.
Si ibu yang nyelonong tadi pun memerah muka, malu. Dengan wajah tertunduk, ia yang seharusnya sudah berada di depan bibir antrian harus kembali ke ujung belakang antrian yang benar plus bonus jadi perhatian sekian banyak orang sekaligus jadi korban “Sukurin kamu!” setidaknya dariku.
Antri memang menjadi budaya yang selalu digalakkan di sini. Ia telah begitu mendarah daging dan menyatu dengan hasil budaya yang lainnya.
Saking menyatunya, orang dididik untuk secara otomatis mau antri sejak usia dini sehingga sangat jarang di sini ditemukan papan petunjuk “Harap Antri” karena begitu percayanya penyelenggara pemerintahan di sini terhadap rakyatnya. Kalaupun ada, penekanan pada “Harus Antri” hanya tampak di beberapa spot dalam bentuk pembuatan lajur antri baik permanen (biasa menggunakan pipa/papan) atau semi-permanen (menggunakan pita yang bisa diulur-tarik seperti yang kerap kulihat dulu di antrian nasabah di bank-bank di Indonesia).
Tapi meski demikian, bukan berarti di sini tidak ada kekacauan dalam antrian.
Apa yang kutulis di awal tulisan adalah satu contoh kecil dari sekian banyak yang berhasil ‘kupotret’ selama ini.
Lalu apa penyebabnya, kok bisa masih pula ada begitu banyak kasus antrian yang tak ‘rapi’?
Entahlah, tapi kalau boleh mengira-ira, ledakan penduduk yang kebanyakan bersumber pada imigrasi yang membludak ke negeri ini adalah penyebabnya.
Perbandingan antara semakin banyaknya orang yang butuh mengakses suatu pemenuh kebutuhan dengan jumlah outlet/gateway (terjemahannya apa ya.. Pintu layanan?) pemenuhan kebutuhan yang tak seimbang pada akhirnya melahirkan bottle neck, solusinya tiada lain adalah antri! Tapi sayangnya, tak semua pendatang itu dengan mudah mengalami inkulturasi budaya termasuk budaya antri ini sehingga selama proses itu masih diusahakan, antri pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah keniscayaan… sebuah titik pencapaian yang mbuh kapan tercapainya :)
Kejadian lain yang menarik untuk kuceritakan di sini terkait dengan budaya antri terjadi sekitar setahun silam ketika aku masih bekerja di kantor terdahulu yang mengharuskanku untuk menggunakan transportasi umum dari kantor ke city lalu lanjut dari city ke rumah.
Waktu itu, di halte Queen Victoria Building (QVB), seorang pria berbadan tinggi kekar serta bertampang sangar menerobos antrian masuk ke bus kota yang telah memanjang sekitar 20 meter lebih. Ia sepertinya tahu bahwa ia memiliki ‘modal’ lebih dari cukup karena kegaharannya itu untuk mengatup bibir dan pandangan orang-orang di sekelilingnya yang tentu saja sebenarnya jengkel dengan ulahnya.
Tapi sayang, semua itu tak ada artinya ketika (lagi-lagi) seorang ibu dengan gagah berani berdiri di depan pintu bus lalu memaki-maki si kekar untuk kembali ke antrian. Dengan wajah tertunduk dan merah padam, si kekar itu kembali ke antrian dan si ibu lantas mendapat tepuk tangan dari kami, para pengantri yang tak seberani dia.
Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa si ibu itu begitu berani melawan si kekar padahal ia bukanlah petugas dan hanya sesama calon penumpang?
Jawabannya adalah karena ada kepastian hukum yang membela si ibu jika si kekar mempermasalahkan tindakannya. Jangankan ke ranah hukum formal, aku membayangkan seandainya si kekar itu tetap menerjang si ibu, kuyakin sopir bus tak kan menerimanya dan serta merta akan meminta si kekar keluar, “Get out now! Atau aku panggil polisi!”. Bisa dibayangkan andai apa yang dikatakan supir itu benar, setibanya polisi ke tempat itu maka sebuah criminal record akan mengotori jalan hidup si kekar dan itu bukan perkara yang menyenangkan untuk hidup di negara yang memiliki tata administrasi dan pengarsipan ‘track record’ seseorang yang jitu seperti di sini.
Muara pemikiranku sebenarnya adalah, perlunya peran pemerintah atau siapapun itu penyelenggara ‘antrian’ untuk mendukung pola antrian yang terjadi. Pemerintah harus tanggap dan menghormati budaya antri yang tumbuh di masyarakat. Ketidakpedulian pemerintah terhadap antrian yang tercipta sebagai budaya baik hanya akan mematikan ‘roh’ disiplin dan mau sabar yang ditunjukkan mereka yang mau antri.
Ah, aku tiba-tiba jadi ingat cerita yang pernah dialami oleh seseorang di negeri antah-berantah…
Alkisah, nyaris 20 tahun silam di sebuah sekolah menengah pertama, seorang bocah ingusan yang hendak membayar kewajiban iuran pendidikan/SPP mencoba berlaku benar dengan mengantri di depan loket pembayaran. Sekonyong-konyong, serombongan orang lantas mendorong si bocah itu hingga ia terjatuh, jidatnya yang lebar bahkan sempat terbentur ke bibir loket hingga beberapa hari kemudian lamanya ada lebam biru di sana.
Susah payah terbangun dari tubrukan, si Ingusan itu mencoba menghardik rombongan orang tadi. “Kenapa kalian menabrakku?! Kalo mau bayar ya antri!”
Bukannya meminta maaf karena kesalahan yang diperbuatnya, rombongan orang itu malah memelotot ke arah si Ingusan sembari berkata “Jangan lagak ah!” beberapa teman lainnya pun lantas ikut mengerubungi si Ingusan yang tersudut.
Karena takut, si Ingusan akhirnya mengalah dan memberi jalan terlebih dulu pada Gerombolan Ngawur itu tadi untuk membayar SPP duluan. Barulah beberapa saat kemudian ketika akhirnya tiba kesempatan untuk si Ingusan membayar, sesuatu yang tak dinyana terjadi.
Si penjaga loket sebagai wakil dari sekolah yang seharusnya menyalahkan si penabrak malah menegur si bocah. Demikian katanya
“Makanya, besok-besok jangan berdiri di depan loket biar nggak ketabrak lagi ya…”
Oh la la…
Aku baru tahu kalau budaya antri itu di backup sama hukum formal di Aussie… keren juga :|
Tapi emang sih, di sini pun kebanyakan yang suka motong2 antrian itu orang pendatang… terutama di jalan raya juga… jalur yang seharusnya buat hanya belok ke kanan / kiri, kadang dimanfaatkan buat motong jalur yang buat lurus ketika macet.
Dan kebanyakan yang berulah demikian… salah satunya adalah orang Indonesia wkwkwkwkw =))
Di tempatku tinggal sekarang, orang sering nyerobot antrian… nyebelin…
Aku sendiri selalu tertib antri, dan sebeeellll banget kalau ada orang yang tak berbudaya, asal nylonong..
Pernah aku antri lumayan panjang di depan kasir. Ketika tiba giliranku, bapak dibelakangku menyodorkan belanjaannya di meja kasir, dan berkata, “Mbak saya boleh duluan ya, soalnya cuma sedikit nih…”.
Aku cuma bilang”, Maaf, tetap antri ya, Pak?”. kayaknya bapak itu juga langsung diem, malu dan dongkol… tapi yo ben, biar rasa malu mendidiknya untuk lebih berbudaya..
Juga pernah nih, aku naik busway di Jakarta. Pas aku mau masuk busway, petugas menghentikanku karena sdh penuh, tiba-tiba seorang ibu di belakangku langsung nyerobot masuk busway, dengan setengah mendorong aku ke samping. Dongkol!!
petugasnya menyilakan ibu itu turun, waktu si ibu membandel, petugas dengan tegas dan sopan bilang, ” bis ini tidak akan berangkat jika ibu tidak turun..”.
Dengan malu si ibu terpaksa turun dengan wajah merah padam..
parah tuh… enaknya disorakin rame2 aja kalo maen serobot :)
gimana kalau ia kita suruh buikin blog yg isinya mengaku akan tetap antri…hehe
salam hangat dari blue
kasian si Ingusan ndak dapet pembelaan dari petugas kasir..
**membayangkan
kalau hal seperti dibicarakan di rapat DPR RI, maka pasti dianggap remeh temeh, padahal semua hal yang besar itu dimulai dari yang kecil.
Setuju bahwa persolan antre berhubungan dengan membludaknya populasi manusia, sementara pintu layanan kurang memadai, ditambah lagi barangkali birokrasi yang demikian njlimet.
Setuju banget bahwa persoalan antre terkait dengan semakin membludaknya populasi manusia, sementara pintu layanan kurang memadai, ditambah lagi barangkali birokrasi yang cenderung njlimet.
Seharusnya peraturan yang ditegakkan dengan benar, pada akhirnya akan menjadi budaya bangsa. Budaya seperti ini akan menghakimi orang yang melakukan perilaku diluar budaya setempat.
Ayo mulai belajar antri….
Kenapa kalau check ini di perusahaan penerbangan A lebih santun dan ada budaya antri dibanding penerbangan B? Jadi, saya lebih suka beli tiket A walau lebih mahal…pusing di sodok-sodok..
aku sengit banget yen ketemu wong yang mengingkari pengantrian..pasti langsung tak tatap dengan kejam dan tak ingatkan bahwa ‘bebek saja antri masak anda manusia tidak mau antri?’ wakakkakakak…
biasane wong e tertunduk malu atau ada juga yang misuh-misuh…byeeeeeeennnnnn! :)
Aku adalah pengantri yang baik lho Don … (hahah, muji diri sendiri :D ).
Suatu ketika, aku antri panjang di kassa sebuah supermarket. Belanjaanku satu troli penuh. Di belakangku ada seorang ibu sudah sepuh, antri dengan tertib. Kulihat dia hanya membeli dua botol minuman saja. Ketika giliranku tiba, aku mempersilahkan ibu itu untuk membayar terlebih dulu, karena toh belanjaannya sedikit. Kasihan kalau harus menunggu kasir menghitung belanjaanku yang segerobak. Wah … ibu itu tersenyum dan berterimakasih sekali. Aku sendiri tersenyum bahagia … :)
Setuju bahwa persolan antre berhubungan dengan membludaknya populasi manusia, sementara pintu layanan kurang memadai, ditambah lagi barangkali birokrasi yang demikian njlimet.