Ada dua pertanyaan yang muncul terkait tulisan tentang Anton Kurniawan yang pertama, hari senin kemarin.
Pertama, ?Don, kenapa Mas Anton mau njawab pertanyaanmu sementara aku tanya dulu nggak dijawab??
Kemarin, selasa sore, ketika ‘ngobrol’ dengannya lewat messenger, akupun meneruskan pertanyaan itu dan jawabannya adalah ?Lha kamu kan tanya, ya kujawab!?
Kalau mau menarik panjang, bisa saja kutanya balik, ?Lha mereka juga tanya, kenapa yang kau jawab hanya aku?? tapi aku tak berniat melakukannya dan aku memiliki alasan untuk itu. Alasanku simple, aku adalah orang yang selalu memaklumi dan mengakui adanya hal-hal yang tak kita ketahui saat kita berinteraksi dengan orang lain maupun alam dan aku terkadang membiarkannya berlalu sebagai sesuatu tanpa jawaban.
Kedua, “Don, kenapa tulisannya harus dibagi dua?”
Alasanku pribadi mungkin supaya tulisan jadi tak terlalu panjang maka kupisah pemuatannya dengan memerhatikan aspek topik yang agak berbeda dalam dua tulisan itu. Tapi aku percaya bahwa ‘semesta’ punya alasan tersendiri terkait hal ini.
Semesta rupanya menghendaki opini-opini tentang dunia musik Jogja muncul di lini masa setelah aku menulis tulisan yang pertama.
Ada beberapa tokoh yang lantas masuk ke dalam gelombang pembicaraan ‘musik jogja’ ini. Tak banyak, tapi aku melihatnya sebagai sebuah dinamika tersendiri dua hari belakangan.
Nah, tulisan kali ini seolah menjadi gong dari semua opini spontan yang ada sekaligus semoga menjadi awalan untuk kita tak hanya bicara dan beropini tapi bergerak maju untuk memajukan dunia musik Jogja berbekal dari apa yang terjadi di masa silam termasuk apa yang terjadi pada Anton dan pemikirannya tentang industri musik dan kota yang sama-sama kami cintai, Yogyakarta.
Nggak sabar? Cekidot!
Peta musik Jogja sekarang seperti apa?
Sebenarnya sudah hampir dua tahun terakhir ini saya tidak terlalu mengikuti secara detail perkembangan musik Jogja, baik secara ‘off-air’ ataupun rilisan.
Saya hanya tahu dan mendengarkan beberapa materi ‘independent’ yang saya anggap ‘outstanding’, seperti JHF, Frau, Death Vomit & Rabu.
Tapi kulihat kamu nulis diblogmu dan berkomentar di Twitter tentang masuknya The Finest Tree ke major label hahaha… (The Finest Tree adalah grup musik berbentuk duo dan beranggotakan kakak-beradik Cakka dan Elang Nuraga dan diproduseri oleh gitaris Sheila on 7, Erros Chandra)
Hehehe, itu karena aku nggak habis pikir saja…
Nggak habis pikir gimana?
Begini, dari dulu saya tidak pernah alergi atau anti dengan ‘major label’ karena kalau saya anti tentu Sheila on 7 tidak ke major label juga. Tapi situasi sekarang kan jauh berbeda dengan dulu.
Sekarang banyak faktor pendukung yang memungkin sebuah band untuk tetap bergerak secara mandiri alias indie. Mulai dari teknologi rekaman, media publikasi dan social media dan masih banyak lagi.
Sementara itu di sisi industri musik nasional, bisa dibilang keadaannya bagai ‘mati enggan hidup tak mau’. Nah, jadi yang membuat saya nggak habis pikir itu adalah kenapa lahir keputusan The Finest Tree masuk ke major label.
Kenapa kamu bilang industri musik itu bagai mati enggan hidup tak mau?
Well, semua budget dan ongkos pendukung dibatasi!?Budget promosi dari major label bisa dibilang nggak ada lagi. Ongkos produksi hingga mastering di-cut seminimal mungkin. Marketing dan launching seadanya kalau perlu cukup barter promo misalnya.
Jadi lebih baik bergerak di jalur indie, ‘From local into global’ istilahnya.
Jadi menurutmu, jalur indie juga adalah jalur pengembangan industri musik yang paling tepat untuk diterapkan di Jogja?
Hmmm…. Sebelum berbicara soal ‘industri’, saya ingin sedikit memberikan catatan terutama kepada mereka di Jogja yang memang benar-benar konsen di musik. Saya bukan sok pintar atau mau menggurui…
Intinya yang paling penting dari semua yang kalian ciptakan adalah soal ‘mindset’ alias cara berpikir.
‘Mindset’ apakah bikin band untuk sekedar bersenang-senang & bergembira, cari pacar? Bikin band untuk cari duit dan menjadi tulang punggung menghidupi seluruh keluarga? Bikin band untuk bertempur dan siap bersaing memasuki dunia industri? Atau ada alasan lain?
Mungkin bisa mulai direnungkan, sehingga kita bisa tahu bagaimana harus berperan dalam ber-musik dan berkesenian. Kalau ditanya soal pengembangan industri musik di Jogja, saya pikir tidak perlu diragukan lagi secara kualitas material yang dimiliki. Musik menjadi bagian dari industri dan ekonomi kreatif, sementara di Jogja memang gudangnya orang kreatif dan memiliki banyak komunitas.
Ada lagi yang lain?
Sebagai pelaku (industri) kita harus bisa memahami & ‘aware’ dengan apa yang diinginkan dan ‘dimaui’ oleh mereka para pendengar, fans, konsumen dan pembeli. Mereka adalah aset.
Antara band dengan fans harus terjadi interaksi, dibutuhkan ‘engagement’. Seperti halnya industri musik nasional (Indonesia) yang saat ini lagi mati suri, IMHO, yang dibutuhkan saat ini adalah ‘new business model’. Sekarang adalah merupakan masa-masa transisi disela masuknya pengaruh teknologi modern yang sangat cepat. Era download sudah hampir usai, sekarang marak layanan musik streaming. Di satu sisi piringan hitam/vinyl bangkit kembali menjadi salah satu bentuk rilisan favorit musisi. Ada juga bentuk rilisan kaset juga muncul kembali, meski kalau melihat generasi sekarang saya yakin sudah tidak ada lagi yang memiliki cassette player di rumah.
Juga lebih penting, untuk berpikir secara industri, jangan hanya merasa ‘besar’ di Jogja, masih banyak tempat lain untuk ditaklukkan.
Dari sisi tata kota dan kemajuan Jogja sendiri, menurutmu apakah hal ini akan mempengaruhi kreativitas orang Jogja?
Terakhir saya datang ke Jogja sekitar bulan Juli 2014 lalu saat sebelum bulan puasa, nyekar ke makam bapak, setelah hampir dua tahun tidak pulang ke Jogja.
Ya memang sangat nampak dalam kurun beberapa saat saja perubahannya sangat cepat dan drastis, yang seolah-olah tanpa dikonsep.
Tentunya berpengaruh ya dengan pertumbuhan kreativitas, kualitas berkesenian dan berkehidupan sosial, secara mereka para pelaku seni (dan juga masyarakat pada umumnya) membutuhkan ruang gerak yang ‘leluasa’.
Jogja dalam pandanganmu itu yang paling asik waktu periode tahun berapa dan bagaimana pandanganmu ke depan tentang kota Jogja secara general?
Mungkin di sekitar awal milenium tahun 2000an Jogja terasa lebih mengasyikkan. Nampak dinamis di segala sisi, suasana kota yang belum terlalu penuh sesak dan macet.
Ke depan saya berharap kota Jogja masih bisa mempertahankan nilai-nilai sosial, tradisi, kemasyarakatan dan keistimewaan yang selama ini memang menjadi budaya dan ciri khas originalnya. Tidak ada salahnya untuk menjadi bagian dari masyarakat modern, asal tetap ‘berbudaya’.
Ini pertanyaan agak pribadi. Setelah keluar dari Sheila, kamu pindah ke Bandar Lampung. Kenapa?
Nggak langsung sebenarnya. Sekitar akhir 2010 saya memutuskan ke Jakarta untuk mencoba berkarir sambil mencari pengalaman dan belajar hal-hal baru, setelah saya pikir-pikir di Jogja tidak memiliki ide apa yang harus saya kerjakan dan harus mulai dari nol lagi, dan juga ingin melupakan kejadian-kejadian sebelumnya.
Termasuk kejadian dengan Sheila ya?
Hahahaha? nggak lah.
Tapi saya memiliki impian suatu saat nanti saya bisa kembali lagi ke kota Jogja. Mungkin kalau saya sudah menjadi entrepreneur yang sukses dan memiliki banyak bisnis yang?berkelanjutan, saya akan hidup santai di Jogja menghabiskan masa tua bersama keluarga, sambil membesarkan dan menunggu anak-anak yang sedang menempuh studi disana.
0 Komentar