Anomali itu bernama changing room

23 Jan 2014 | Cetusan, Indonesia

Rabu siang yang lengas di selatan Jakarta.
Hari itu Natal tahun 2013. Setelah mengikuti perayaan ekaristi di gerejanya Santo Stefanus di Cilandak, kami sekeluarga makan siang di sebuah pusat perbelanjaan yang megah.

Sejak dalam perjalanan kami telah mendiskusikan tentang makan apa dan dimana, jadi ketika sampai di lobby kami langsung menuju ke sebuah restaurant berkonsep kafe di lantai dasar, pikirku biar sekalian bisa ngopi setelah makan tanpa perlu pindah tempat lagi.

Tak lama setelah memesan makanan, bau yang familier tiba-tiba merebak ke permukaan, terhirup hidung, ?Ah, dede? pup kayaknya!? ujarku pada istri, dede? merefer ke Elodia, anak keduaku.

Dugaanku tepat.
Aku langsung menggendong dia, berbekal pampers dan tissue basah, naik ke lantai dua menuju ke nursery room atau kalau di Australia biasa disebut sebagai changing room.

Awalnya agak kesulitan mencari di mana letaknya karena minimnya petunjuk (atau mungkin sebenarnya ada tapi tenggelam oleh papan iklan milik tenant yang berjualan di sana), tapi setelah tanya sana-sini, akhirnya aku menemukan sebuah gang kecil dengan papan petunjuk bergambar ikon seorang ibu yang sedang mengganti popok anaknya, aku lega, ?Ini tempatnya!?

Kubuka pintu dan ruangan yang hanya berukuran 2×3 meter itu hanya berisi sebuah rocking chair (kursi goyang) tempat ibu menyusui serta sebuah kursi lipat kumal yang entah apa fungsinya.

Aku mengamati isi ruangan hingga beberapa kali dan tak menemukan changing table di sana. Jadi aku harus meletakkan Elodia dimana? gumamku.

O?well! Apa boleh buat, skenario ?darurat? harus dilakukan.
Aku duduk di kursi kumal itu tadi, menaruh tissue basah dan pampers di bawah, Elodia kuletakkan di rocking chair yang panjangnya tak lebih panjang dari tubuhnya sehingga kedua kakinya harus kupegang supaya tak merosot jatuh ke bawah.

Untuk menahan supaya rocking chair tidak bergoyang sementara waktu, aku menahannya dengan kaki kananku.

Kurang dari dua menit, set-set-set, selesai sudah tugas negara itu! Tapi pertanyaan selanjutnya adalah kemana aku harus membuang pampers kotor ini?

Ada sebuah tempat sampah di sudut ruangan, tapi itu tempat sampah umum, padahal yang kuperlukan adalah tempat sampah khusus pampers kotor yang biasanya disediakan di changing room di Australia karena kalau pampers kotor kubuang di tempat sampah biasa yang tak kedap bau tentu hal ini membahayakan ibu dan bayi yang akan menggunakan nursery room ini untuk menyusui.

Ide cemerlang hinggap di kepala.
Aku keluar dari ruangan dan menuju ke toilet pria. Kubuang saja pampers kotor itu di sana dengan pemikiran tempat sampah toilet pria ini pasti cepat penuh sehingga pasti punya jadwal dibersihkan lebih sering ketimbang changing room tadi.

…kurang nyaman dan lengkapnya changing room adalah sebuah anomali.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat itu semua.
Bagiku, di tengah pesatnya pembangunan mall-mall megah, kurang nyaman dan lengkapnya changing room adalah sebuah anomali.

Aku pernah menulis di artikel lama di sini bahwa kondisi mall di Sydney kalah jauh dibandingkan dengan mall-mall di Jakarta ditinjau dari sisi gedung dan barang-barang yang dijual di sana. Tapi, sayang seribu sayang harus kukatakan bahwa kondisi changing room di mall-mall di Sydney jauh lebih bagus berkali-kali lipat ketimbang apa yang ada di mall-mall di Jakarta.

Padahal apalah susahnya membangun sebuah changing room yang nyaman untuk sebuah mall yang megah?

Uang jelas bukan kendala bagi pihak developer maupun pemilik gedung karena praktis yang diperlukan untuk membuat ruangan itu lebih parents dan kids friendly hanyalah membeli sebuah changing table portable yang bisa dilipat ke dinding, sebuah wastafel dan tempat sampah khusus pampers yang didesain khusus untuk terlindungi sehingga lebih kedap bau.

Tapi barangkali masalahnya memang bukan di situ.
Mungkin karena masih senewen dikira nanny seperti kutulis di tulisan sebelumnya, kali itu aku berpikir bahwa bisa jadi kealpaan developer untuk menyediakan sebuah changing room yang nyaman adalah karena stereotipe bahwa yang mengurusi ganti pampers adalah baby sitter/nanny, bukan orang tua!

?Loh apa hubungannya, Hon?? tanya istriku setelah kukembali ke restaurant.

?Setidaknya pemilik mall jadi berpikir bahwa anak-anak itu urusan baby sitter! Jadi, ketika papa dan mamanya makan dengan nyaman, kalau anaknya pup itu urusan baby sitter, bukan urusanku sebagai Papa yang harus menggantinya sendiri!? jawabku.

?Lalu??
?Nah, baby sitter kan nggak perlu diperhatikan apakah ia nyaman atau tidak dalam mengganti pampers anak majikannya karena kenyamanannya telah ditukar dengan gaji yang dibayar tepat waktu, hari libur yang telah direncanakan dengan baik untuk mudik serta makan yang kenyang ketika ia mulai merasa lapar. As simple as that!?

?Hmmm??
?Beda dengan kita. Kita orang tua anak kita sendiri, kita harus menikmati setiap proses interaksi dengan anak termasuk ketika mengganti popok. Nah, kalau changing rooom tak layak, bagaimana kita bisa nyaman??

?Trus??
?Nah, bayangkan kalau setiap orang tua di Jakarta ini nggak pake baby sitter dan harus mengganti popok sendiri. Mereka akan berpikir berulang kali untuk masuk ke mall yang changing roomnya tak nyaman seperti ini dan memilih mencari mall yang lainnya dan akhirnya, pihak management harus berintrospeksi dan berpikir kenapa jumlah kunjungan keluarga menurun, oh ternyata karena changing room nya tak nyaman!?

Karena customernya nggak protes karena mereka tidak mengganti popok anaknya sendiri maka pihak management mall juga cuek aja!

?Ini cuma soal customer experince! Karena customernya nggak protes karena mereka tidak mengganti popok anaknya sendiri maka pihak management mall juga cuek aja!?

Tiba-tiba aku merasa telah berpikir dan bicara terlalu banyak. Makanan di piring istriku telah hampir habis sementara aku masih harus mengejar waktu untuk menghabiskannya secepatnya demi secangkir kopi hangat nikmat untuk menyambut sore hari itu.

Sore itu aku rindu Australia…

Sebarluaskan!

12 Komentar

  1. Apa jangan-jangan karena pemilik mall tersebut adalah orang yang tidak punya anak ya? Sehingga tidak tahu bagaimana serunya mengurus anak sendiri, terutama kalau harus mengganti pampers di area publik.. :)

    Balas
    • Wah mungkin juga demikian tapi aku tak yakin apakah pemilik mall sampe ikut mikirin changing room :)

      Balas
  2. Sama, Mbah, sebagai keluarga tanpa asisten aku sama istri juga suka ribet kalau anak tiba-tiba minta pipis atau pup di tempat umum. Tapi terakhir ke mall sih untungnya enak, waktu itu Dedek Diana minta ganti pampers dan ternyata tempat laktasinya juga ada semacam meja buat ganti pampers gitu, aku sih ga tau nama meja itu, tapi memang diperuntukkan untuk menaruh bayi/anak yang siap diganti pampersnya. Soal tempat sampahnya juga disediakan. Aku sih ga tau mall mana saja yang menyediakan fasilitas lengkap untuk bayi/anak ini, tapi seharusnya mall-mall baru sudah harus memikirkan hal ini, kalau ga mau dinyinyirin. :D

    Balas
    • Iya harusnya memang semua mall harus mikir itu. Eh tapi mana ada mall baru setelah ada Jokowow? :)

      Balas
  3. Di Jakarya, nursery room paling bagus yang pernah ku temui di pejaten village… ada beberapa bilik tempat kita bisa ganti popok si kecil… ada ruang khusus buat menyusui…. buat para ayah yang menunggu pun diberikan sofa yang cukup nyaman…

    Balas
    • Ah menarik! Aku tempo hari sempat lewat Pejaten Village waktu mau ke kantor imigrasi. Next time kalau berkunjung ke Jakarta aku akan mampir ke sana :)

      Balas
  4. Stereotype pemikiran lainnya gue perhatiin: Changing Room itu adlh ‘Ladies Area’. Gue pernah dilarang msk changing room oleh satpam mal wkt mau bantu isteri beres2 abis ganti popok anak. Alasannya, ga enak kalo ntar ada ibu2 yg mau menyusui jd ga nyaman. Lha, piye.. Mgkn solusinya di changing room dibuat partisi/ booth utk ibu2 menyusui, jd aktivitas ganti popok dll tetap bisa dilakukan tanpa ganggu ibu yg lg menyusui..

    Balas
    • Wow! Really? Untung aku nggak nemuin yang kayak gitu, bisa-bisa aku marah tuh. Di sini namanya changing room boleh dimasukin siapapun asal punya anak kecil. Area tempat ibu menyusui juga dibikin bilik gitu jadi jelas kita nggak akan ngeliat kecuali emang berniat untuk itu. Tapi come on, siapa sih tertarik ngeliat boobs yang sedang dipakai untuk memberi makan makhluk manis bernama bayi? :)

      Balas
  5. well, aku harus mengakui bahwa Jepang paling tidak memikirkan tempat untuk mengganti popok meskipun tidak harus membangun ruang khusus. Jadi kalau departemen store itu pasti ada changing room, dan juga ruang untuk menyusui. Tapi untuk tempat yang kecil, mereka PASTI menyediakan changing board yang bisa ditarik dari dinding dan menjadi tempat menaruh bayi. Biasanya di luar wc wanita, atau kalau tokonya terlalu kecil ya di dalam wc wanita. (Kalau kamu pernah pakai maskapai Jepang, biasanya di dalam pesawat ada semacam itu). DAN Yang aku rasa bagus, hampir setiap wc wanita mempunyai tempat duduk bayi s/d usia 2,5 tahun sehingga anak-anak bisa dibawa masuk ke dalam wc dan ditaruh di kursi berpengaman itu selama ibunya menyelesaikan “tugas”nya.

    Jakarta masih jauh dalam hal nursery begini dan ya, mereka menganggap bayi pasti diasuh baby sitter, dan tidak peduli si baby sitter itu ganti popok bayinya di lantai atau di pojokan restoran :D

    Balas
    • Pola pikir yang sama kupikir juga perlu diimplementasikan ke soal tranposrtasi umum ya. Kalo pemerintah baik pusat dan daerah berpikir bahwa yang pake transportasi umum itu pejabat, pasti dibaikin juga :) Good point, Mel!

      Balas
  6. Lama tak berkunjung kesini.

    Ngomongin soal mall, di Bali mall juga semakin banyak mas. Walaupun yang saya kunjungi hanya mall2 yang kelas menengah ke bawah, kalau mall yang di daerah bule biasanya produk yang dijual pun jauh dari jangkauan saya. Dan ngomongin soal kenyamanan, jujur saja mall2 yang saya kunjungi selama ini memang kurang nyaman dari beberapa hal khususnya soal changing room, toilet dan lainnya. Hanya ada satu mall/supermarket yang menurut saya paling di Bali yaitu Carefour di Sunset Road. Parkirnya luas dan ada di setiap lantai. Penempatan eskalator pun bagus sehingga kita tidak perlu memutar jauh jika ingin pindah lantai. Toiletnya bagus, luas dan bersih, dan yang paling keren, tersedia toilet khusus untuk penyandang cacat.

    Balas
    • Hi, Bli… apakabar? :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.