Hidup kadang menyudutkan kita dengan hal-hal yang sepertinya berlaku berkebalikan antara satu dengan yang lainnya.
Beberapa waktu yang lalu kita semua ikut kaget melihat foto vulgar pembantaian PapaGenk?(awas gambar yang ada di link tersebut barangkali tidak terlalu nyaman di mata Anda), gajah sumatra yang tewas mengenaskan dengan gading yang raib dan belalai yang terlepas dari wajahnya. Ditengarai, mafia perdagangan gading gajah adalah pelakunya.
Lalu linimasa seperti biasa, bergejolak. Orang-orang berteriak-teriak mengutuk perikehewanan binatang bernama manusia. Belum lama sebelumnya, beberapa aktivis penyayang binatang juga meneriakkan stop penelantaran binatang di salah satu kebun binatang. Dan kita, ya kita, aku dan kalian, berteriak juga, karena memang mengenaskan melihat foto harimau yang sebenarnya bukan pilihan hidupnya untuk dikerangkeng di kebun binatang, toh masih ditelantarkan hingga kurus kering tak berkewibawaan!
Tapi di jam lain, kita begitu menikmati santap makan malam bertajuk entah itu bakso sapi, nasi goreng kambing, steak sapi padahal semuanya itu juga berbahan baku daging binatang yang masih saudara tak terlalu jauh dalam mata rantai evolusi dengan gajah dan harimau yang kita teriaki dan bela ketika mereka disiksa dan dianiaya.
Tapi di jam lain, kita begitu menikmati santap makan malam bertajuk entah itu bakso sapi, nasi goreng kambing, steak sapi padahal semuanya itu juga berbahan baku daging binatang yang masih saudara tak terlalu jauh dalam mata rantai evolusi dengan gajah dan harimau yang kita teriaki dan bela ketika mereka disiksa dan dianiaya.
Kawanku seorang bijak. Ia pernah memberiku lampu yang bijak namun temaram untuk menyikapi hal ini, “Kita manfaatkan alam ini sebaiknya. Tidak maruk dan murka. Kalau memang perlu, kita ambil seperlunya tak semuanya…”
Lalu aku lega.
Bukan karena mendapatkan kebenaran yang hakiki sebenarnya, tapi setidaknya aku punya tameng baru ketika aku harus menemukan alasan kenapa di satu sisi aku teriak-teriak anti penyiksaan dan pembunuhan hewan tapi di sisi lain aku toh menikmati makanan daging-dagingan.
Menggunakan ‘tameng’ itu, aku bisa dengan mudah men-judge mereka yang membunuh (kalau benar dibunuh) PapaGenk dan penelantar binatang di kebun binatang tadi sebagai orang yang tak memanfaatkan alam dengan baik karena kan binatang-binatang itu ada dalam perlindungan sebagai binatang dengan jumlah populasi yang terancam kepunahannya.
Mereka juga sebenarnya tak perlu-perlu amat untuk mencabut nyawa PapaGenk karena gadingnya!?Karena gading adalah bagian dari keinginan seseorang yang punya dana untuk mengadakannya sekadar untuk dijadikan pajangan di rumahnya yang mewah barangkali. Atau, hey, konon binatang di kebun binatang itu terlantar karena uang makannya dikorupsi pegawainya dan itu kan hal yang melebihi keperluan, satu ketamakan yang dinamakan korupsi dan tak kan pernah ada ujung pangkalnya!
Tapi seandainya kita yang masih menikmati enaknya daging itu ditanyai hal yang sama oleh mereka yang vegetarian misalnya, akankah kita juga bisa terjerat dalam judgement-judgement tersebut di atas??Sejujurnya bisa!
…kebaikan itu untuk nafsu makan kita saja atau juga melibatkan kebaikan untuk nasib para hewan termasuk yang harus dibunuh untuk diambil dagingnya lalu dimasak untuk kita?
Kalau dibilang kita telah memanfaatkan alam sebaik-baiknya, dengan mudah kita bisa ditusuk dengan pertanyaan, kebaikan itu untuk nafsu makan kita saja atau juga melibatkan kebaikan untuk nasib para hewan termasuk yang harus dibunuh untuk diambil dagingnya lalu dimasak untuk kita?
Kalau dibilang kita toh makan seperlu dan secukupnya saja, tapi adakah kita tak bisa disalahkan kalau ditanya, “Kalau makan secukup dan seperlunya kenapa tak makan tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan saja?” (jangan ngasih ide, “Kalau gitu ditanya balik Don, kenapa makan tumbuh-tumbuhan kan mereka makhluk hidup juga?”)
Dan ketika kita ?terdiam tanpa jawab pada dua pertanyaan di atas, kita boleh tetap diam ketika mereka mengecap kita sebagai pribadi yang murka dan tamak.
Hahaha, akhirnya jadi serba salah ya?
Tenang, aku punya tameng satu lagi yang bisa kita ungkapkan sebagai garis akhir dari perdebatan yaitu, “Kita sedang belajar menyesuaikan diri dengan alam!” dan ketika ditanya “Mau sampai kapan?” kita tutup dengan statement “errr… proses ?itu tak akan pernah berhenti selama hidup.”
Entah kalian mau memaknai tamengku itu sebagai tameng untuk ‘ngeles’ beneran atau memang benar-benar menunjukkan bahwa kita sedang belajar, tapi bagiku, sambil terus menikmati santapan daging-dagingan, sembari terus berteriak-teriak di linimasa ketika penyiksaan dan pembunuhan hewan mendapat eksposure yang terang benderang, ada baiknya kita belajar pada film-film bergenre Walt Disney yang banyak mengedepankan tokoh-tokoh binatang yang simpatik.
Siapa tahu dari sana kita mendapatkan terang, semakin mencintai alam dan binatang berbasis pengalaman menonton film bagaimana sepasang tikus got pun bisa menjadi sedemikian tampan dan cantik lalu berpacaran dan diberilah mereka nama Mickey dan Minnie Mouse…
Untuk semua nyawa dari binatang yang telah dan akan kusantap… semoga kalian tenang di surga!
Untungnya aku gak ikut2an latah tereak dan nyinyir mengenai nasib hewan-hewan td .Sehingga, tak perlu tameng apapun untuk menyantap dagingnya, klo pas kebetulan mampu beli.
Sikap terbaik, menurutku…
Kalau soal makanan, adakah yang kita makan bukan berasal dari sebuah makhluk lain?
Mungkin ini kembali soal nurani, selama kita memanfaatkan segala sesuatu (makanan) semaksimal mungkin, rasanya tidak ada masalah. IMHO
Betul, Bli.
Tulisan ini memang sekadar menanyakan…
makan dikala lapar berhenti sebelum kenyang ?? menurut saya,kalimat merupakan solusi, dan melingkupi segala urusan kebutuhan hidup,bukan melulu urusan perut.
ini tulisan menarik… kata yang pas adalah bijaksana saja… kalau gajah bisa dikembang biakan kayak ayam ya mungkin pembunuhan papagenk yang biasa biasa saja. Begitu juga sebaliknya. :)
Komenmu juga menarik! Menyimpulkan keresahan menurutku.. semua emang haru seimbang ya..
tumbuhan dan binatang sebenarnya sama2 makluk hidup hanya saja menurut kepercayaan yg lain, menjadi binatang itu karena hasil perbuatan pada masa kehidupan yg lalu nah kalo siklus hidupnya di potong sebelum mrk menua dan meninggal secara alamiah melalui rantai makanan maka siklus karma itu terhambat dan si binatang ini harus menjalani lagi kehidupannya sebagai binatang. sedangkan manusia masih mempunyai pilihan untuk memakan tumbuhan, kebutuhan lemak dari susu, dan itu akan mengurangi sifat ganas kita sebagai manusia…gitchu bro…heee…sayang gak ketemu waktu di Aussie ya….
Iya.. lain waktu kalo datang jangan terlalu mepet ya Bro! i’ll see you, oneday!
Makhluk hidup memang diciptakan sebagai keseimbangan kehidupan di muka bumi ini. Rantai makanan. Tak mungkin kita makan gajah atau singa (meskipun mau)…
True :)