Aku rindu suasana hening sesaat setelah muadzin usai mengumandangkan maghrib di akhir Ramadhan. Hening yang tak seberapa lama lalu sesudahnya tergantikan gempita meriah takbir menyuarakan “Allahu Akbar Allah hu Akbar Allah hu Akbar … La illa hailllallah huallahu Akbar Allahu Akbar Walillah Ilham??”
Hari ini ingatanku terlempar ke belakang, ke tradisi mudik yang dulu selalu dijalani keluarga asalku dulu, aku, Chitra (adikku), Mama dan almarhum Papa. Almarhum Papa dulunya muslim dan hampir semua saudaranya pun muslim maka setiap Lebaran biasanya kami ikut ia mudik ke Blitar, kota asalnya. Meski harus menempuh perjalanan darat selama 10 jam dari Kebumen (dulu kami tinggal di sana) ke Blitar, hal itu bukanlah satu hal yang menjemukan karena bersama kami, ratusan ribu pemudik lainnya yang memadati jalanan seolah menjadi kawan, tak peduli apapun agama dan asal-usulnya, suku bangsa serta pekerjaannya, kami punya satu tujuan yang sama, menyambut suasana bahagia Lebaran.
?Allahu Akbar Allah hu Akbar Allah hu Akbar ? La illa hailllallah huallahu Akbar Allahu Akbar Walillah Ilham???
Kami biasa pergi pada pagi hari terakhir puasa di bulan Ramadhan dan menyentuh halaman rumah Eyang di Blitar tepat sebelum buka puasa terakhir dilakukan, sesaat sebelum muadzin mengarahkan wajah ke microphone masjid, mengumandangkan adzan. Begitu tahu kami datang, Eyang ‘Blitar’ yang masih kokoh meski sudah sepuh keluar halaman disusul Budhe-budhe dan sepupu menyambut kami, ‘tamu jauh’-nya.
“Ealahh… ngalkhamdulilah… slamet tekan Blitar, Dik!” ujarnya menyapa dan mengelus kepala Papa, anak bungsunya, lalu selanjutnya menantunya dan aku serta adikku,? cucu-cucunya mendapat sapaan dan perlakuan hangat yang sama pula darinya.
Sementara Papa, Mama dan Citra masuk ke dalam rumah, aku dibantu sepupu-sepupu sebayaku menurunkan koper dari bagasi lalu dibawanya masuk ke dalam kamar yang telah disediakan bagi kami.
“Dari Kebumen jam berapa tadi, Dik?”
“Kamu kok tambah tinggi?”
“Pacarmu orang mana sekarang?”
sampai “Dik Citra tambah cantik ya!” adalah pertanyaan-pertanyaan standar yang disampaikan sepupu-sepupuku dengan logat jawa timur kentalnya sembari membereskan koper dan bagasi lainnya. Sapaan rindu memang tak selamanya diucapkan dengan satu cara, bisa berbagai macam cara seperti pertanyaan-pertanyaan yang terlontar oleh sepupuku tadi.
Selepas kumandang Maghrib, mereka melakukan ibadah Sholat Maghrib dan sesudahnya berbuka puasa. Meski kami tak ikut berpuasa, tapi hidangan segar lele goreng, sayur lodeh, tempe goreng kering dan sesendok sambal pedas terasi buatan Budhe Hermin, kakak Papa yang pertama, membuat selera makan kami mencungul ke permukaan, dan dengan lahap cepatnya kami pastikan semua lauk tandas piringnya seolah kami telah tak makan berhari-hari lamanya.
Seusai makan, para tetua, eyang, budhe-budhe, pakdhe serta saudara-saudara jauh yang juga telah datang ditemani precil-precil seperti adikku, Chitra dan sepupuku lainnya yang masih dibawah umur, berkumpul bersama di ruang tengah melepas rindu sementara yang remaja sepertiku dan para sepupu sepantaran usiaku bersiap keluar ke jalan menikmati malam berbekal petasan di tangan, rokok yang kami sembunyikan dari penglihatan para orang tua di balik baju serta beberapa lembar ribuan rupiah yang kuminta ke Mama “Buat jajan, Ma.. ngga buat rokok!” janji yang hanya tinggal janji :)
?Ealahh? ngalkhamdulilah? slamet tekan Blitar, Dik!?
Adapun Blitar, sebenarnya adalah kota yang tak terlalu besar luasan dan tingkat keramaiannya. Nyaris dibilang tak ada pilihan lain untuk menikmati suasana malam di sana ketika itu selain di sekitar alun-alun depan Masjid Raya yang ramai dengan orang berjualan kudapan, pernak-pernik khas ‘Bung Karno’ dan riuh pula orang pacaran yang asyik-masyuk di atas rerumputan lapangan. Selain alun-alun, yang lebih ‘mending’ adalah bioskop lawas yang memutar film-film yang tak kalah usangnya. Ah, untuk yang terakhir ini, kuingat setiap duduk di bangkunya aku memilih jongkok ketimbang duduk dalam posisi sewajarnya karena ngengat yang berjubel di balik spon lembab kursi siap menggigit dan menghisap darah di pantat dan pahaku dan membuat rasa gatal yang tiada tara menjengkelkannya itu!
Menjelang tengah malam kami pulang ke rumah. Lampu telah menggelap sementara para tetua telah pula lelap hanya menyisakan satu dua orang yang masih betah menuntaskan malam di depan televisi 14 inchi milik Eyang sambil berbicara setengah berbisik. Setelah cuci kami dan berganti pakaian, aku menuju kamar lalu beristirahat di tengah suara takbir yang tiada henti-hentinya dikumandangkan dari seantero jagad.
Paginya adalah Lebaran.
Aku dibangunkan Mama untuk segera mandi, “Nanti setelah mereka pulang dari Sholat Ied, kita langsung sungkeman!”
Berbeda dengan sepupu-sepupuku yang menggunakan baju koko dan celana kain, kami tetap setia pada blue jeans meski atasnya berkemeja. Kemeja baru yang kudapat dari Papa beberapa saat sebelum Lebaran tiba sebagai ‘hadiah Lebaran’ meski aku tak turut merayakannya.
Sekitar pukul 09.00 WIB mereka pulang berduyun-duyun dari lapangan lalu segeralah kami melakukan ritual sungkeman, mulai dari yang tertua sungkem ke Eyang, hingga yang termuda sungkem ke yang lebih tua, menyampaikan sesal atas segala salahnya dan mohon ampun kepada yang pernah tersakiti olehnya. Isak tangis dan mata memerah tanda haru adalah pemandangan yang biasa dalam waktu-waktu seperti itu.
Tak seberapa lama sesudahnya, Yu Tin, orang yang telah begitu lama mengabdi ke Eyang bersiap dengan lontong opor ayam dan kambing yang disembelih tadi pagi di pekarangan belakang rumah. Sembari makan, kami pun bercengkrama sebagai sebuah keluarga besar di ruang tengah. Eyang menceritakan ini dan itu tentang masa lalunya, tentang kesehariannya selama setahun terakhir dan masing-masing dari kami menimpali sambil menyisipkan hal-hal yang patut kami ceritakan untuk menambah guyub suasana.
Hingga menjelang siang, tamu-tamu dari tetangga sebelah mulai berdatangan untuk halal-bihalal, saling memaafkan. Tanpa dikomando, sepupu-sepupu precil berlomba-lomba mengeluarkan kudapan dan minuman ke ruang tamu sementara yang remaja sepertiku dan lainnya mulai menunggu waktu untuk jalan-jalan lagi, rokokan lagi dan cari ‘pemandangan’ lagi. Siang menjelang sore hari, sebagian besar dari kami pergi ziarah ke makam leluhur yang letaknya berada satu kompleks dengan makam Proklamator, Bung Karno.
Pada hari kedua, kami yang gantian keluar rumah, pergi ke rumah saudara yang lebih tua untuk berbagi salam, berhalal-bihalal. Talun adalah tujuan pertama. Sebuah kecamatan kecil di tepian Blitar, tempat saudara tua dan leluhur Papa berada. Kami pergi menyambangi saudara barang sejam atau dua lamanya. Selanjutnya kami membesut ke arah barat menuju Tulungagung untuk sungkem ke adik Eyang yang juga sedang berkumpul dengan anak, menantu, cucu serta buyutnya di sana.
Hari ketiga dan keempat adalah hari keluarga. Bersama keluarga besar kami pergi ke tempat wisata di sekitar Blitar seperti Candi Penataran dan sore harinya berenang ke kolam renang Sumberudel.
Libur Lebaran biasanya kami akhiri di hari kelima. Sama seperti kedatangannya, kali itu kami pun di-untap-kan oleh Eyang, para Budhe dan sepupu hingga ke halaman.
“Kirim-kirim kabar ya!”
“Salam ya untuk pacarmu! Kapan diajak ke sini?!”
“Nanti waktu Natal, kami berkunjung ke Kebumen, Dik Donny!”
Kami berurutan mencium tangan Eyang dan para budhe, memeluk sepupu, memasukkan koper ke dalam bagasi, meminta diri sekali lagi, masuk ke mobil dan memulai jalan pulang. Selama perjalanan, satu-satunya suasana yang memenangkan semangat untuk terus bergerak pulang menuju ke kota asal adalah membayangkan libur Lebaran pada tahun berikutnya… dan terus menerus demikian di tengah bayangan tugas pekerjaan dan sekolah yang ada di depan mata.
* ?? * ?? *
Hari ini, beberapa tahun sesudah semua itu tak lagi kami lakukan, sesudah beberapa pula leluhur dan orang tua kami yang berpulang ke haribaan Ilahi, aku rindu suasana Lebaran seperti yang kutukas di atas.
Aku rindu suasana hening sesaat setelah muadzin usai mengumandangkan maghrib di akhir Ramadhan. Hening yang tak seberapa lama lalu sesudahnya tergantikan gempita meriah takbir menyuarakan “Allahu Akbar Allah hu Akbar Allah hu Akbar … La illa hailllallah huallahu Akbar Allahu Akbar Walillah Ilham??”
Selamat hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1432 Hijriah!
huaaa ceritanya seru.. ada keluarga di jember juga toh mas, don? hehe opor dan ketupat selalu tidak tertinggal untuk santap setelah sholat ied ya.. klo gak ada makanan itu rasanya kurang afdol :D
Entah kenapa, yang tertua selalu menjadi kebanggaan untuk tetap dikunjungi. Sama halnya ketika saya tak pernah menginjakan kaki lagi ke tanah kelahiran orang tua, yang mana Kakek sudah tiada, kini sepertinya keluarga mempunyai garis batas. Turunan A, atau turunan B, yang nantinya menjadikan kita berkelas-kelas.
Dan mungkin, turunan sepupu2 kita tak akan pernah saling mengenal :(
lebaran yg khas. di keluarga besarku, kurang lebih juga seperti itu ceritanya. ikut merayakan lebaran di masa kecilku masih berkesan. tapi sekarang setelah mbah putri yg tinggal di jogja sudah nggak ada, nggak ada lagi lebaran yg isinya kumpul2 spt dulu.
besok lebaran..!
#speechless…
Aku juga rindu Lberan beberapa tahun silam, ketika kukecil bisa dengan senangnya berbagi pada semua saudara meski berbeda keyaqinannya….
makasih sharingnya Dabbb…
Huaaa blitar….
Aku lebaran di wlingi. Besok menunggu kedatangan kakak ipar dari brebes. Mirip cerita diatas
Hehehe
Ke kota, biasanya berburu bakso gangsar dan es drop
Waahhhh.. suasana yg seperti ini emang dirindukan yak.. bener kata mas kaget itu.. suasana seperti itu akan hanya bertahan kalau masih ada saudara yg dituakan.. dulu waktu kakek dan nenek masih hidup suasana lebaran meriah banget.. jauh sekali dengan sekarang yg sehabis shalat ied langsung ngurus diri sendiri..
minal aidin walfaidzin..
Maaf lahir batin ya mas :)
aku tak makan opor ayam, rendang dan sayur jipang dulu ya don….mohon maaf lahir dan bathin….
Indah sekali kenanganmu itu Don…
Semoga suatu saat kamu bisa merasakannya lagi, meski dengan formasi yang berbeda… :)
Aku juga sangat merindukan berlebaran bersama keluarga besarku di Sumatera sana, karena sejak tinggal di Jogja, sangat sulit bagiku untuk mudik bersama seluruh anggota keluarga.. ah, kamu tahulah alasannya…
Tapi, aku bersyukur, karena ternyata, Kweni juga memberiku nuansa khas yang suatu saat juga akan sangat aku rindukan…
Ya, kerinduan itu memang harus kita miliki, karena dengan demikian menunjukkan kalau kita pernah melakukan sesuatu dan menikmati prosesnya… Maka, merantau merupakan anjuran yang sangat oleh ulama. Karena dengan demikian, kita akan merasakan makna dari kebersamaan dengan keluarga besar yang kita tinggalkan…
Terima kasih, Don…
Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin…
cerita mas donny jadi mengingatkan saya dengan alm. kakek dan nenek saya … sekarang saya sudah tidak ada lagi kakek dan nenek dari kedua belah pihak :( …. sudah 3 tahun tak terasa tidak pulang kampung karena ketika pulang pun terkesan hampa dan paling hanya sehari untuk nyekar ke makam….
mohon maaf lahir dan batin
Mohon saya dimaafkan lahir bathin kang,
saya sering komen asal, bisa jadi ada yang menyinggung.
Mohon maaf lahir dan bhatin..
Hhmm..
Kenanganku tentang lebaran juga sangat melekat di hati. Aku blm sempat menceritakannya di blog padahal terpikir juga, karena ‘kesibukan’ mengurus anak selama mudik ..
Maaf lahir bathin Don.
Kenangan indah DV,
Kenangan yang kurang lebih sama, namun kemudian sedikit memudar setelah mbah-ku seda… Sekarang, kakak ibuku juga sdh meninggal semua. Kayaknya dalam keluarga besar kami, indahnya kebersamaan spt itu sdh hampir pupus
sayang sekali…
salam,
Kenangan masa lalu yang menyenangkan mas. Sesuatu yang dulu selalu saya lakukan setiap akan Idul Fitri, namun sekarang tidak lagi selalu kulaksanakan.
Selamat berhari raya mas. Maaf lahir batin.
keberagaman yg sangat indah mas donny. menyentuh. meski beda agama tapi tetap merayakan segalanya bersama :)
hiks…terharu aku
Tulisan mas Donny melempar saya ke masa lalu ketika tinggal di Lodoyo – 12 km ke arah timur dari kota Blitar. Dan menghempas kekinian saya, yang sudah bertahun-tahun tak pulang lebaran ke orang tua di Lampung.
Lebaran yang khas…terutama di kota kecil, tak ada sekat, karena di daerahku adalah hal yang umum, dalam setiap keluarga masing-masing mempunyai keyakinan sendiri…namun mereka dipertemukan pada saat Lebaran, waktu saling memaafkan, entah dari keyakinan apapun.
Dan semestinya adanya libur bersama, membuat semua keyakinan bisa saling menghormati…paling tidak ikut libur bersama-sama, mengheningkan diri sejenak, mendengar hati nurani kita….apakah perbaikan yang akan kita lakukan ke depannya? Masih adakah waktu ketemu Lebaran yang akan datang?
Eyangmu sekampung denganku, Don!! Kok kita gak pernah ketemu ya?
aku pun sering merindukan suasana Lebaran seperti yang kau tulis di atas, sekalipun aku tidak merayakannya. Memang jadi sedikit berbeda semenjak Eyang tidak ada, terlebih semenjak Ibu berpulang. Tetap semarak, namun terasa berbeda. :)
Suasana Lebaran yang khas di masa-masa kecilku… entah kenapa suasana yang kental demikian ini sekarang jadi berkurang gregetnya… entah karena aku sudah besar, entah karena suasananya memang tak sekental dulu..
baru baca.. dan langsung mbrebel nahan nangis di kantor.. :’))
postingannya manis banget om.. :)