Aku ‘memenjarakan’ Papa dengan telunjukku…

9 Feb 2017 | Cetusan

Hal yang kusesali dan entah kapan penyesalan itu bisa mengering adalah bagaimana aku belum sempat atau lebih tepatnya tak mau menyempatkan diri untuk membebaskan papaku dari tudingan kesalahan yang kutujukan kepadanya.

Yang menjengkelkan lagi, sesal itu tak turun sekali tuntas tapi muncul tenggelam, datang dan pergi. Bagai air di kran bocor yang menetes lembut dan lambat tapi kita tak tahu di mana letak kebocoran yang menyebabkan derasan air itu mengumpul di bawahnya.

Dua hari silam, aku mendapatkan foto di bawah ini di linimasa Facebook dan membuat hatiku terasa terpenggal-penggal.

Semua cerita tentang Papa seperti mengulas begitu jelas ketika menatapnya.
Dimulai dari bagaimana dulu ia, di suatu sore yang ranum, bercerita dengan suara tergetar tentang bagaimana ia dan Mama memulai keluarga ini dengan tidak mudah. Agamanya berbeda dengan yang dipeluk Mama dan sayangnya hal itu masih jadi persoalan besar yang dihadapi dua keluarga besar waktu itu.

“Papa dulu banyak ditentang, Le!” tukasnya lembut. Tapi ia bertanggung jawab dengan pilihannya dan pada akhirnya semua terbangun dengan indah, sebuah keluarga harmonis yang berbeda iman tapi tetap percaya bahwa Tuhan itu satu dan ada.

Ulasan cerita melompat ke era akhir 90an ketika karir Papa hancur lebur dalam satu hari dan sejak saat itu, hari itu, aku mulai mengarahkan telunjukku kepadanya sebagai pihak yang membuat mimpi indahku untuk berkuliah tenang dengan berbagai macam fasilitas harus buyar tak terbayar!

Pada akhirnya aku memang tak lunglai oleh kenyataan. Aku bangkit dan berhasil meniti perusahaan tanpa meminta sepeser sen pun uang daripadanya. Pada akhirnya aku juga lulus kuliah tanpa aku meminta uang semesteran darinya lalu pindah ke Australia sebagai seorang pemenang bukan jadi pecundang.

Tapi keberhasilan demi keberhasilan itu membuatku seolah telah lepas dari bayangnya. Aku hilang daya untuk menyadari bahwa semua yang kuraih juga adalah salah satunya karena Papa yang berjasa membesarkanku. Aku tak menganggap ia andil secuilpun. Ia tak meminyaki jalanku!

Aku jarang bicara dengannya dan setiap hal yang terpaksa harus kubicarakan selalu bernada sengak. Tak pernah lembut selembut apa yang selalu kutata manis di depan para pujaanku.

Waktu Papa minta tolong, aku membaca permintaan itu sebagai sebuah usik. Tak semua pintanya aku tanggapi dengan seksama padahal kalau mengingat kembali, bukankah dulu kehadiranku di perut Mama juga sebuah keterusikan baginya di masa mudanyadulu?

Ke-sengak-anku tak kunjung hilang bahkan ketika aku tersudut dalam hidup dan minta bantuan kepadanya. Kenapa? Karena aku merasa layak untuk minta tolong kepada Papa dan ia wajib untuk menolongku setelah kegagalan yang ia alaminya dulu.

Bahkan hingga pada percakapan terakhir antaraku dengannya pada akhir Maret 2011, dalam sebuah sambungan telepon ke rumah Klaten, aku hendak berbicara kepada Mama tapi Papa yang mengangkat, dengan ketus aku bilang, “Mama mana, Pa?” tak mengindahkan dan tak memberinya kesempatan untuk mendapatkan jawab atas pertanyaan-pertanyaannya “Piye kabarmu, kabar bojo lan anakmu, Le?”

Sepuluh hari sesudah itu, Papa pergi dalam hening yang abadi, tanpa menitip pesan. Ia hanya menderita sakit semalam lalu meninggal malam berikutnya. Dukaku mendalam dan sejak saat itu sesalku seperti mendapat lecutan yang pertama, ia berlari kencang di garis masa hidupku selanjutnya.

Kepada siapapun yang menciptakan gambar di atas, aku hendak berterima kasih. Gambar itu seolah membuka mataku bahwa aku telah begitu banyak mengabsorbsi bagian diri Papaku untuk menjadi bagian diriku. Meski untuk itu, Papa harus kehilangan bagiannya sendiri, meski untuk itu Papa harus melepas hal-hal terbaik yang ada padanya. Aku telah begitu banyak menerima hal-hal terbaik darinya tanpa pernah menyadarinya dan ketika aku sadar, aku memilih mengelak dengan menganggap bahwa itu adalah tugas dan kewajibannya sebagai orang tua.

Aku telah menunjuk dan selalu menunjuk dengan telunjukku untuk menuntut salah Papaku. Aku menaruhnya di sudut sesal yang tak terperi dan tak punya ujung akhir. Ia tak kubiarkan keluar dari sana tak pula kuberi kesempatan untuk membela diri. Aku memenjarakannya tanpa jeruji dan tanpa selembar pun resi putusan pengadilan yang kubuat sendiri…

Aku adalah pribadi yang jauh dari sempurna. Aku menuliskan semua ini sebagai wujud doa supaya dosaku mendapatkan silih yang dapat diampuni Allah meski aku sendiri tak tahu apakah diriku mampu mengampuni kesalahanku sendiri ini…

Aku berharap diberi umur panjang sehingga aku bisa menebus salah dengan melakukan banyak hal yang lebih banyak dan lebih baik lagi bagi istri dan anak-anakku seperti dulu Papaku lakukan kepada istrinya (almarhumah Mama), aku dan adikku.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.