Berita soal booming-nya trend batu akik di tanah air membuatku heran, kenapa hal itu baru terjadi sekarang padahal Indonesia, dengan segala kekayaan dan sejarah geologinya adalah gudangnya batu akik. Bagiku, sama halnya dengan batik, seharusnya budaya-budaya seperti inilah yang harus dikedepankan sekaligus untuk menenggelamkan budaya-budaya yang patut dibenamkan seperti korupsi, main bakar begal dan lain sebagainya.
Namun meski demikian, aku memandang trend batu akik ini baru berupa trend yang setiap saat bisa surut begitu saja. Kalian tentu ingat beberapa tahun lalu kita juga disibukkan dengan trend memelihara tanaman hias jenis anturium, jenmani ataupun gelombang cinta. Mereka hanya timbul sebentar, bersinar karena tiap tanaman dihargai sangat tinggi tak masuk akal tapi lalu hilang lenyap ditelan jaman.
Alangkah lebih baiknya kalau pemerintah lalu menyambut trend ini dengan baik, memberikan bantuan promo, rambu-rambu jual beli dan sertifikasi keaslian batu sehingga gelegar batu akik ini tak hanya jadi trend tapi juga bisa menjadi sesuatu yang lestari seperti halnya batik yang kini melambung tinggi.
Lukulo
Aku sendiri dulu adalah peminat batu akik.
Aku mengenal batu akik melalui almarhum Papa dan Kebumen, kota di pesisir pantai selatan Jawa Tengah yang pernah kutinggali selama sembilan tahun itu.
Setelah pindah dari Klaten pada pertengahan tahun 1984, di Kebumen kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang letaknya hanya sekitar 50 meter dari aliran Sungai Lukulo, sungai terbesar (dan mungkin terpanjang) di Kabupaten Kebumen.
Selain kaya akan sumber daya alam pasir dan batu putih, Sungai Lukulo adalah tempat dimana kita bisa menemukan berbagai macam jenis batu-batuan unik. Hal ini terjadi mengingat hulu Sungai Lukulo berada di sekitar daerah Karang Sambung – Sadang, sebuah kawasan yang pada masa purba sesuai tinjauan geologis dipercayai sebagai kawah gunung berapi dasar laut.
Bersama kawan-kawan ketika SD dulu, sepulang sekolah, alih-alih tidur siang atau belajar seperti kawan lainnya, aku memilih nyemplung ke Sungai Lukulo untuk mencari batu akik yang waktu itu diistilahkan sebagai ?watu apik?.
Kami nyemplung ke paparan sungai yang tak terlalu dalam, menggunakan baskom bekas yang lantas dipasangi jaring, kami mengeruk bebatuan dari dasar sungai. Sekilas kami mengamati, kalau ada yang menarik perhatian, kami mengangkatnya ke pinggiran sungai, jika tidak kami membuangnya dan mengeruk lagi. Ketika kami rasa sudah mendapatkan batu lumayan banyak, kami segera menepi dan mulai melakukan observasi pencarian ?watu apik? dari hasil kerukan kami tadi.
Kadang watu apik itu tidak tampak benar-benar apik begitu saja. Perlu ?jam terbang? lah istilahnya. Ada beberapa batu yang memang sudah tampak bagus hanya dengan menerawang cahaya yang bisa tembus ke permukaan batu ketika kita terawang ke arah matahari.
Tapi ada kalanya juga sebuah batu tampak seperti batu biasa tapi ketika kita pecah dengan palu, baru kita tahu kualitasnya! Pada jenis batu-batuan yang seperti ini biasanya kita mendapatkan keindahan pola yang ada di permukaan batu menyerupai pola gambar tertentu (yang lalu kini banyak dihubung-hubungkan dengan pola gambar apalah-apalah mulai dari binatang, sampai hal-hal yang tampak mirip dengan simbol religius).
Setelah mendapatkan watu apik, biasanya kami lantas membawanya ke tempat pemrosesan batu yang kami sebut sebagai tukang gosok. Di sana batu diolah secara manual untuk siap dijual. Kalau si tukang gosok suka, kami melego dengan harga yang waktu itu cukup fantastis, Rp 2500,- tergantung dari ke-apik-an watu apik kami tentu dari sudut pandang subyektif si tukang gosok.
Kegiatan mencari watu apik itu lantas terhenti setelah salah satu kawan terbaikku, Bayu, meninggal ketika sedang mandi di sungai. Bukan karena takut, tapi karena aku trauma. Selain itu, peredaran batu palsu (biasa terbuat dari kaca) semakin marak sehingga kegiatan tukang gosok pun berangsur berkurang?
Kalimantan dan Persia
Seingatku dulu Papaku sebenarnya bukan pecinta batu akik. Tapi setelah kami pindah ke Kebumen dan ia berkawan dengan banyak kolega kerjanya yang penggemar batu akik, ia pun mulai menggilainya.
Papa dulu pernah diberi batu kecubung Kalimantan warna ungu oleh atasannya. Waktu ia menunjukkannya padaku, aku sempat bertanya, ?Dimana bagusnya? Bagus batu-batuku dari Lukulo!?
Tapi entahlah. Meski aku menawarinya dengan batu terbaik yang kupunya pun, ia tetap memilih memakai batu kecubung itu. It wasn?t fair sih, tapi ya mungkin waktu itu ia pikir perlu memakai batu itu untuk menyenangkan atasan yang memberinya.
Ketika ekonomi Papa menanjak, koleksi batu akik Papa pun bertambah. Ada giok, ada kecubung lain, saphir dan lainnya lagi. Tapi ada satu batu akik Papa yang sangat kusukai. Ia oleh-oleh dari Tanah Persia, jenisnya adalah phirus gurat emas.
Berbeda dengan batu phirus lain yang mengkilap, batu phirus milik Papa lebih bernuansa ?dof? dengan warna biru muda yang kuat dan gurat emas yang sangat tampak meski tak mendominasi.
Oleh Papa, batu itu diberi emban (cincin) emas dan ia kenakan hingga akhir hayatnya. Ketika Papa meninggal, 2011 silam, Mama pernah menawariku untuk membawa batu itu karena ia tahu aku sangat menyukainya.
Aku sempat berpikir dan tertarik untuk membawanya. Kutimang-timang tapi lalu aku memutuskan untuk tidak memboyongnya ke Sydney.
Sebelum memutuskannya, aku bertanya pada sahabat spiritualku? (ya ya ya? aku adalah makhluk modern tapi aku percaya juga pada hal-hal yang tak tampak dan baru kali ini aku bercerita kalau akupun punya sahabat spiritual? ya hahaha) dan ia menyarankan untuk tak membawanya karena belum tentu batu itu ?cocok? denganku.
Aku lantas memilih membawa kaos kaki Papa saja, barang kenang-kenangan yang menurutku lebih banyak maknanya dan kupikir lebih ?aman? :) (Simak tulisanku tentang kaos kaki Papaku di sini).
Hingga kini, batu phirus gurat emas milik Papa masih tersimpan di Klaten. Entah, mungkin suatu waktu nanti aku punya nyali untuk membawanya, atau mungkin biar batu itu diwariskan pada keponakan laki-lakiku, Geo, anak Chitra yang baru lahir November 2014 silam :)
Saphir Biru Afrika
Sebelum pindah ke Australia, 2008 silam, aku sempat demam batu akik lagi.
Aku sudah berniat untuk membeli tapi seorang kawan dekatku di persekutuan doa dulu memberikan salah satu koleksinya, sebuah saphir afrika biru. ?Anggap aja ini kenang-kenangan dariku, Don!? ujarnya. Ia memang kolektor batu.
Batu saphir biru afrika itu lantas kubuatkan emban dari perak di Kotagede karena aku memang tak terlalu suka warna kuning emas.
Tapi rupanya ada salah pengertian antara desain yang kukirim dan apa yang ada di benak si pembuat emban. Ketika emban itu jadi dan kukenakan, alih-alih terlihat gahar, tanganku malah tampak seperti tangan nyonya-nyonya dan ini membuatku tampak tak terlalu wajar!
Waktu lalu berjalan cepat, aku harus menyiapkan banyak hal untuk kepindahanku dan melupakan cincin itu begitu saja.
Akik? No way!
Setelah pindah ke Australia, seiring lahirnya Odilia dan Elodia, aku men-tattoo nama kedua anakku itu di leher. Selain itu aku juga membuat lubang di telinga (ear lobe) selebar 1.2cm. Pada kedua lubang itu aku kenakan semacam pipa berwarna hitam.
Dengan kegemaranku mengenakan topi, ditambah lagi kacamata bermodel bingkai tebal warna hitam, jam dan gelang yang kukenakan serta cincin kawin, aku merasa orang memandangku pun sudah cukup ?berat? dan ?tebal?.
Nah, membayangkan diriku saat ini mengenakan cincin berbatu akik, aku tak bisa membayangkan akan lebih berat seperti apalagi diriku saat ini?
Bisa-bisa aku dikira dukun voodoo! Kalau memang demikian mungkin lebih baiknya kalau aku jadi dukun beneran, pulang ke Indonesia siapa tahu nasib baik bisa jadi motivator, artis sinetron, tukang sulap? atau anggota DPR?
Pernah tinggal di Banjarmasin yang deket ke Martapura dan kampung saya sendiri penghasil batu akik di Sumatera sana, tapi saya juga gak gemar batu akik.
Don, supaya lebih “berat” dan gahar pakai gelang akar bahar hitam, hehe…
Karna gelang akar bahar sudah d sebutkan, aku kasih saran pake parfum yg agak semriming bau nya….. :)