Bahagia itu memang sederhana tapi terkadang kita lupa dan hilang peta tentang bagaimana rasanya mengalami sesuatu yang sederhana…
Terhitung empat tahun lebih sedikit sejak pertama kalinya aku mendapatkan surat ijin mengemudi berstatus pembelajar (Learners), akhirnya hari Jumat silam aku dinyatakan lulus ujian mengemudi oleh pemerintah negara bagian New South Wales, Australia tempatku berdomisili lima tahun belakangan ini. (Baca tulisan tentang bagaimana aku mendapatkan SIM Learners di sini)
Empat kali percobaan sebelumnya aku dinyatakan gagal oleh karena hal-hal yang kupikir sebelumnya tak terlalu bermasalah jika aku melakukannya.
“Bahagia itu memang sederhana tapi terkadang kita lupa dan hilang peta tentang bagaimana rasanya mengalami sesuatu yang sederhana…”
Pada percobaan pertama, Januari 2010, aku gagal karena menurut si penguji, aku memposisikan mobil terlalu ke tengah ketika ia memintaku untuk belok ke kanan pada sebuah ruas jalan satu arah, sekitar lima menit setelah ujian dimulai. Harusnya aku berada pada ruas terkanan.
Lalu yang kedua, sebulan sesudahnya, aku kembali gagal karena menurut si penguji aku tidak melakukan shoulder/head check sebelum berpindah ruas jalan. Ya, di sini kamu tak boleh hanya mengerlingkan mata ke arah spion lalu pindah jalur, tapi bahu dan kepala kamu harus benar-benar menoleh ke samping dan belakang untuk beberapa detik sebelum berpindah jalur untuk memastikan bahwa apa yang kamu lihat di spion itu sama benar dengan keadaan sesungguhnya. (Baca tentang gagalnya driving test pertama dan kedua di sini)
Ujian ketiga, aku lupa tepatnya kapan tapi yang pasti sekitar akhir tahun 2010. Aku kembali dinyatakan gagal karena melintas di jalur sepeda sekitar 250 meter jauhnya dan yang keempat, sekitar dua bulan sesudahnya, kembali lagi-lagi aku dinyatakan gagal karena mengemudikan terlalu perlahan sehingga dinilai mengganggu arus lalu lintas di belakangnya, tak berhasil ber-manouver di round-about dengan baik serta yang terakhir yang sempat kuperdebatkan dengan sang penguji adalah karena aku dianggap menerabas lalu lintas ketika lampu belum menyala merah, baru kuning. Ya, di sini lampu kuning harus berhenti kecuali trafik di belakangmu terlalu penuh dan kalau kamu berhenti akan menyebabkan kecelakaan beruntun. Repot ya?
Lalu sejak awal 2011 hingga sekitar dua bulan lalu, aku memutuskan ‘musuhan’ dan tak mau serta tak sudi untuk mengikuti ujian nyetir lagi. Simply karena aku memang lebih suka naik transportasi umum; tinggal bayar tiket, lalu duduk menikmati musik yang mengalun dan melamun!
Tapi pada akhirnya, terutama setelah anak keduaku lahir, aku berpikir tak mungkin untuk tak memiliki surat ijin mengemudi terlebih kalau pada suatu waktu istriku membutuhkanku untuk pergi ke suatu tempat sementara ia terlalu repot dan memutuskan tinggal di rumah bersama Odilia dan Elodia, anak-anakku.
Atau kalau suatu waktu aku harus pergi ke acara perkumpulan sementara mereka tak ingin ikut dan akses menuju tempat itu tak terjangkau oleh transportasi umum, aku jelas tak bisa memaksa istriku untuk antar-jemput karena ia tidak digaji dan bukan pula berprofesi sebagai seorang supir :)
Maka, dengan sisa-sisa semangat yang sebenarnya tak seberapa, aku mengontak sebuah sekolah nyetir ternama lagi termahal setahuku. Sengaja aku memilih yang demikian karena aku tak ingin gagal lagi dan pemikiran singkatku, makin mahal harusnya makin bagus, kalau tak bagus tinggal dikata-katain kenapa bisa mahal?! Hahaha…
Setelah mengambil beberapa sesi dengan seorang instruktur yang sudah sangat sepuh (kutaksir usianya sekitar 70 tahun) lengkap dengan gayanya yang eksentrik dan tak segan untuk menggalakiku ketika aku berbuat salah, aku memberanikan diri untuk kembali mengikuti tes Jumat lalu.
Sejak beberapa hari sebelumnya, aku tak berpikir gagal.
Aku merasa aku harus mendapatkan SIM itu karena semua sudah terlanjur kulakukan dan kurasakan; kegagalan sebelumnya dan session demi session yang kubayar mahal.
Dan ternyata pikiran tak gagal itulah kunci segalanya.
Instrukturku, Steven namanya, mengatakan bahwa tak ada yang salah dengan cara nyetirku, hanya perasaan nervous yang akhirnya membuatku melakukan kesalahan demi kesalahan.
“Kamu jadi terlalu berhati-hati saat ujian dan itu justru menjeratmu untuk tidak melakukan hal-hal terbaik!” tukasnya suatu waktu.
Lalu ujian hari Jumat lalu kulalui dengan biasa.
Aku bersenandung-senandung kecil sepanjang ujian. Sama sekali aku tak berusaha menyapa sang penguji yang duduk disebelahku karena aku ingin menganggapnya tak ada. Padahal kalau mau dituruti, rasa nervousku harusnya lebih besar daripada ujian-ujian sebelumnya karena ujian Jumat lalu itu, aku dilewatkan rute yang belum pernah sama sekali aku lewati.
Sampai beberapa saat sebelum diumumkan kelulusanku, aku tetap berpikir bahwa aku pasti lulus dan Tuhan menjawab doaku. Dipanggilnya namaku lalu dinyatakannya aku lulus.
Kegiranganku layaknya kegirangan anak SMA yang diterima cintanya oleh sang pacar untuk pertama kalinya. Kedua tanganku mengepal, “Yess!”, kupeluk Steven dan kujabat tangannya, “Well done, Mate!” ucapnya.. “Thanks, Steve… You?re star!” balasku.
Hari itu, aku kembali mereguk bahagia karena melakukan hal yang sederhana, mengikuti ujian sim lalu lulus.
Sederhana ya?
hoho!!! Selamat! Ah aku tahu perasaan “gagal” itu bagaimana dan betapa bahagianya mendapatkan kesuksesan!
Dan menurutku itu sama sekali tidak sederhana (dalam konteks tidak mewah) tapi setuju bahwa itu sederhana (dalam konteks tidak rumit) :D ;D
So, sudah bisa antar-antar aku jika aku ke sana ya ;)
Hahahahaha, aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan tentang perasaanku, Mel :)
Worship! Kebahagiaan melebihi saat ketika dapet SIM A. Nembak kan ya? :)))))
Hush! Dor!!!
waa selamat.. kalo ingat cerita masa kecilmu dari Alm. Papa kita dulu bahwa kamu selalu takut untuk segala hal termasuk tentang urusan mengemudi di jalan raya, ini adalah pencapaian terbesarmu..
hahahahah
oia, bisa dijelaskan ga kenapa last name (VERDIAN) tertulis huruf kapital sedangkan lainnya tidak?
Ah mungkin kamu salah dengar dari dia hehehehe :)
Kenapa huruf besar? Ya aku nggak minta, tau-tau dibikin gitu.. gratis pula :)
aku hanya bisa membayangkan bagaimana senangmu. ya, beberapa kali gagal, lalu akhirnya berhasil, pasti senang. aku sendiri orangnya mudah nervous untuk hal-hal yang berbau ujian. :D jadi, untukku sendiri, aku menggarisbawahi kalimat ini: ?Kamu jadi terlalu berhati-hati saat ujian dan itu justru menjeratmu untuk tidak melakukan hal-hal terbaik!? kayaknya itu cocok banget buatku hehehe.
Selamat ya mas..
Semua tes itu tentu sangat jauh berbeda dengan disini. Hampir tak pernah saya denger ada cerita orang yang gagal mendapatkan SIM, apalagi sampai gagal berkali-kali.
Orang situ pinter semua, sekali lulus hahaha