Banyak orang bertanya kenapa aku pada akhirnya lebih memilih tinggal di Australia ketimbang di Indonesia.
Sebenarnya pergumulan soal kepindahan ini telah berlangsung cukup lama di dalam batinku.
Semenjak sekitar lima tahun yang lampau atau tiga tahun sesudah aku dan Joyce memutuskan untuk pacaran, hal itu dimulai. Momentumnya adalah pada saat Joyce lulus dari kuliahnya di Perth, WA, Australia. Ketika itu ia berada di persimpangan jalan, pulang seterusnya ke Indonesia atau menetap di Australia.
Sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan kehendak yang bebas, kuingat betul waktu itu akupun memberikan kebebasan baginya untuk memilih tanpa perlu memikirkan aku yang waktu itu toh baru jadi “pacar” nya. Lalu ia memutuskan untuk tetap di Australia, pergi menyeberang dari barat ke timur, dari Perth ke Sydney untuk mencoba berkarir di sana.
Disitulah, pergumulan soal kepindahan ini dimulai.
Masa demi masa pun berlalu dan seiring semakin kuatnya hubunganku dengan Joyce maka semakin dekatlah masa untuk memutuskan dimana kami berdua harus tinggal setelah menikah nantinya.
Joyce selalu menyerahkan pilihan padaku karena ia tahu pada akhirnya ia akan menjadi istri dan soal kepindahan ini adalah lebih ke “domain” ku sebagai suaminya.
Justru ini adalah hal tersulit.
Di satu sisi aku memiliki kehendak yang bebas, lepas dari segala tekanan orang lain dan lingkungan, di sisi lain aku menyadari betul bahwa pilihan yang akan kuambil ini mengikat dan berlaku bagi dua jiwa, Joyce dan aku untuk selamanya.
Awal tahun 2007 semuanya sempat mengendor bahkan hilang berpendar, akan tetapi Mei 2007, sesudah “sesuatu yang kelabu” itu berakhir, tegangan untuk penentuan pilihan menguat lagi dan membutuhkan total perhatian dariku.
Menyadari hal tersebut, aku sebagai orang Katolik yang beriman merasa perlu untuk melakukan dua hal.
Pada level “pasrah”, aku memohon bimbingan Tuhan secara intensif. Dalam setiap doaku entah pada saat di Gereja maupun menjelang tidur, aku selalu menyelipkan statement “aku akan mengusahakan pilihanku ya Tuhan, tapi terjadilah kehendakMu dan bukan kehendakku yang terjadi.”
Secara lebih khusus lagi bersama Martho, sahabatku, pada Jumat pertama setiap bulannya, bersama-sama kami pergi ke Gua Maria Sendangsono untuk berdoa rosario dengan intensi khusus tentang pergumulan itu.
Pada level “usaha”, aku juga mengusahakan yang terbaik, memohon bimbingan Tuhan melalui apa saja yang terjadi dalam hidup sehari-hariku. Aku percaya bahwa Tuhan sering berbicara melalui teman-teman, orang tua, saudara, pekerjaan bahkan media massa.
Aku terbuka untuk setiap pilihan, tidak mencondongkan kehendakku untuk lebih dekat ke pilihan “Jogja” atau “Sydney” tapi membiarkan akal dan budiku untuk nantinya memilih berdasarkan semua “suara” yang ada.
Dari Mei 2007, proses pergumulan itu terus berlangsung hingga akhirnya aku memutuskan bahwa aku akan mengambil keputusan pada 1 Maret 2008.
Untuk lebih menetapkan hal itu, aku dan Joyce sepakat untukku pergi dulu ke Sydney sebelum memilih dengan tujuan supaya aku bisa tahu secara lebih berimbang bagaimana Sydney itu.
Pertengahan Februari 2008 aku melancong ke Sydney dan keputusan pun terfinalisasi di sana. Kuingat betul dalam perjalanan pulang dari Circular Quay, di dalam mobil aku berujar pada Joyce, “Ini sudah tanggal 1 Maret, Hon… Aku putuskan untuk pindah kemari…” Joyce tak menanggapi omongan itu, ia seperti ingin meyakinkan bahwa aku memang benar-benar berkata demikian beberapa menit sebelumnya. Dan malam itu tampak langit-langit kota Sydney tersenyum padaku, bukan senyum ejekan kemenangan tapi lebih senyum selamat datang.
Lalu apa sebenarnya yang membuat aku memutuskan untuk pergi ke Sydney dan meninggalkan Jogja ?
Aku sendiri tak tahu pasti! Ada kubangan jawaban yang sama berat dan sama ringannya untuk kupilihkan salah satunya ke “meja” kalian. Barangkali sama halnya ketika kalian kutanya “Kenapa kamu hidup?” Maka jawaban-jawaban mulai dari yang sinis hingga romantis, duniawi hingga alasan rohani pun meluncur dari mulut kalian tanpa kalian tahu mana yang lebih tepat dibanding yang lainnya.
Tapi satu hal yang pasti, aku pindah ke Sydney untuk mengupayakan satu kehidupan yang lebih baik bersama istriku. Aku menyadari betul bahwa hidup ini bukan perkara enak – tak enak karena kalau memang demikian halnya aku tak kan pernah beranjak dari satu state hidupku ke state yang lainnya lagi.
Hidup ini bagiku adalah perkara baik, lebih baik dan yang terbaik, sebuah parameter yang sayangnya tak kan pernah dapat kita ketahui dimana batasan-batasan pastinya.
Inilah tulisan terakhir menjelang kepergianku ke Sydney pada malam tanggal 31 Oktober 2008.
Aku mendedikasikan tulisan ini bagi setiap sahabat dan keluarga besarku yang bahkan mungkin hingga sekarang belum tahu kenapa aku begitu berani melepaskan diri dari kenyamananku di Jogja dengan membuat satu keputusan besar dalam hidupku.
Percayalah, jangankan kalian, akupun tak tahu secara tepat dan pasti kecuali satu hal yang kusebutkan di atas tadi: menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Aku melihat sinar dan aku menuju ke sana!
Selamat tinggal, Indonesia!
Selamat malam mas… hiduf memang kumfulan filihan. Ane cuma bisa ikut mendoakan semoga betah dan bahagia di sana… Salam buat semua :D
Dulu kubertanya pada seorang kawan yang duduk disisiku sepanjang Surabaya-Solo
“anak anakmu sudah besar, kenapa tidak temani mereka di Sydney”
“Aku gak punya komunitas disana Ga, Istriku faham akan hal itu, toh semua berjalan dengan baik baik saja”
dan meluncurlah kalimat kalimat pendukung dengan fasih. sampai akhirnya dia berpamit turun di Solo…dimana istri keduanya yang baru saja dinikahi sudah siap menjemput, sedang aku melanjutkan perjalanan ke Jogja.
Dua sahabat dengan pergumulan pilihan yang sama dan dengan keputusan yang berbeda.
Dua Sahabat Lelaki saya, mengajarkan sebuah kesepakatan walau hanya tersirat.
Bahwa sebagai Lelaki, putuskanlah dan laksanakanlah.
God Bless You My Friend
(yellin “go get that light tiger!!!!!”)
*ngibrit*
selamat jalan sobat.
semoga blogmu ini masih menggunakan bahas indo ketika kamu menulis disana .. *hayah* :D
Pagi mas DV!
Aku ambil kalimatmu ini sebagai quote ya:- Hidup ini bagiku adalah perkara baik, lebih baik dan yang terbaik…Akur!
Selamat jalan meski baru esok ya berangkatnya. Sukses dan bahagia selalu bersamamu dan istri. :D
Selamat jalan Mas Donny. Semoga semakin sukses di negeri seberang. Pesan saya hanya jangan lupa tetap mengunjungi blog kita yang di tanah air. Semoga Tuhan tetap memberkati langkah Mas Donny.
O…jadi begitu kisahnya.
Lihat ke depannya Don, jangan terlalu menengok yang di belakang. Selamat mengarungi hidup baru di perantauan.
Terimakasih doamu, Mas!
Aku akan selalu berpegang pada apa yang di depan!
Yang sulit adalah saat kita dihadapkan untuk memutuskan sesuatu, syukurlah Donny akhirnya bisa membuat suatu keputusan. Terus berjalan ke depan Don, jangan menengok lagi kebelakang….percayalah semua akan baik-baik saja.
Semoga sukses di sana.
Ibu, terimakasih..
Meski kita belum pernah bertemu kehangatanmu terasa di sini, di hati ini…
yahhhh semua orang punya takdir dan rezeki berbeda2 mas
Selamat tinggal, Indonesia!
Mau ikut Dan? Sydney! Sydney! ahahahaha
“Joja, Joja… ke sini juga kaukan kembali”
Tutup kuping ah huahuahua
bathuk,
nek aku ndak salah
kehebatan laki-laki itu ada pada keberaniannya untuk memilih.
dus, kemauannya untuk berkomitmen dan mengambil risiko..
so, my pren…
berhati-hatilah di tanah orang
jagalah terus cintamu, sebab ia yang akan membimbing hidupmu..
(iki ku sik rodo dasun pas nulis)
wis yo thuk…
Kowe cen ASUUU !
kelik
Kelikkkkkk!
Vokalis ra kalapku jaman baheula ahuahua
Piye kabarmu, Su ?
Denger kabar terakhir jare kowe buka salon di deket Condongcatur?
Aku sempet kaget kupikir kowe wes dadi banci tenan kok isa-isane bukak salon ahuahuahua!
yang penting tetep WNI..hehe
Amin! Semoga, Mas hehehe
semoga sukses boss…
semoga semua tetap positif…
salam,
ramonda.
Siap, Bos Ramondha!
Sukses selalu juga, tetep semangat cari pacar baru hehehe
mungkin krn kamu laki-laki maka berpikir sulit untuk berpindah ya. Coba kamu bayangkan seorang perempuan yang “nunut” aja ke mana suaminya pergi. Mungkin lebih ringan. Sekarang sudah mulai kok jamannya ibu bekerja kantor dan bapak menjadi bapak rumah tangga.
Siapa tahu kalian berdua tidak selamanya di Sidney dan pindah ke kota lain.
tabik
EM
Itulah adanya pria dan wanita, EM :)
Dan sebagai pria aku pun juga dikompliti dengan segala ego khas pria :)
kok aku rung komen ttg postinganmu iki yo don? hehehe. padahal wis sekian tahun yg lalu.
ah, yo … mengambil keputusan itu memang dibutuhkan keberanian besar. tapi Tuhan pasti akan menolong…
Baru tau ceritanya begitu… Saya awalnya pikir DV tinggal di Indonesia (*hammers*)