Dua bulan sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, pada September 2014, Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok membuat berita heboh.
Seperti dikutip Kompas, saat memberikan sambutan di Rusunawa Marunda Jakarta Utara, ia berkata begini:
“Saya sudah betul-betul muak dengan kemunafikan. Pejabat-pejabat DKI ini luar biasa santun sekali kalau ngomong sama saya, tetapi ternyata mereka bajingan semua.”
Apa pasal hingga ia bawa-bawa ‘bajingan’?
Masih menurut Kompas, ia jengah karena bahkan setelah dua tahun ia memerintah bersama Jokowi, para pejabat dan PNS DKI Jakarta masih belum bisa menyesuaikan ritme kerja dan masih ‘bermain-main’ dengan uang rakyat.
Kenapa Ahok menggunakan kata ‘Bajingan’ untuk mengumpat? Nah ini menarik! Mari kita bahas kata ‘Bajingan’ terlebih dahulu.
Bajingan sebenarnya adalah panggilan untuk ‘kusir’ gerobak sapi. Beberapa kawasan di Jogja dan Jawa Tengah masih menggunakan kata sebagai ‘hal baik’ hingga kini.
Kata ‘bajingan’ jadi umpatan karena konon suatu waktu ada seseorang menanti seorang lainnya. Namun karena tak kunjung tiba dan tak berakhir penantiannya, seseorang itu pun menyamakan orang yang dinanti itu dengan sebutan, “Dasar bajingan!” Kenapa? Karena gerobak sapi berjalan amat pelan dibandingkan dengan kereta yang ditarik kuda misalnya. Dari sinilah ‘bajingan’ menjadi umpatan.
Lalu pertanyaannya sekarang, kenapa Ahok mengumpat?
Itu urusan pribadinya Ahok, aku tak berhak untuk tahu kalau ia tak memberitahu bukan? Tapi mari berandai-andai bahwa jika pejabat dan PNS DKI Jakarta tidak bermain uang rakyat dan bekerja menyesuaikan ritme kerja Jokowi – Ahok sudah barang tentu ia tidak akan mengumpat ‘Bajingan’.
Bagaimana jika para pejabat dan PNS DKI Jakarta itu tetap bermain uang rakyat tapi mereka tidak santun, mereka tidak munafik, apakah Ahok tetap akan menyebut ‘Bajingan’?
Ahok mengumpat ‘Bajingan’ salah satunya karena ia tahu ekspektasi orang terhadap sosok santun apalagi alim dan agamis maka ia akan jadi orang yang anti-korupsi, bekerja secara dinamis dan semua akan diperuntukkan bagi rakyat karena bukankah mengabdi pada rakyat itu sebagian dari ibadah?
Tapi nyatanya? Seperti kata Ahok, “Bajingan semua!”
Seperti tulisan ‘Ahokisme’ minggu lalu, hari ini aku ingin menutup tulisan ini dengan membawa kenangan masa lalu yang mungkin relevan.
Sejak SMP dulu aku sudah aktif menjadi misdinar dalam perayaan ekaristi di Gereja setempat. Misdinar adalah petugas yang membantu imam untuk menyiapkan segala macam tata cara upacara. Ketertarikanku terhadap agama malah tak berhenti di situ. Pernah suatu malam aku menyatakan niatku kepada Mama untuk menjadi seorang pastor dan minta dikirim bersekolah ke seminari, sekolah khusus calon imam, di Magelang.
Tapi semua impian itu buyar ketika suatu waktu aku ketahuan muter film bokep. Aku tak perlu menceritakan detail bagaimana bisa ketahuan di sini (hehehe…) tapi yang pasti Mama dan Papaku yang keduanya sudah almarhum itu, marahnya bukan kepalang!
Hingga ada satu kalimat muncul dari mulut Mama yang kuingat hingga sekarang, “Percuma kamu tiap hari tugas misdinar, percuma kamu pengen sekolah ke seminari, kalau kamu muter BF (Blue film, bokep)!”
Mamaku tak tega mengucapkan kata sekasar ‘Bajingan’ yang diucapkan Ahok. Tapi dari sorot matanya yang tajam, aku bisa merasakan kekecewaannya yang mendalam terhadapku.
Aku belum pernah bertemu Ahok dan berharap suatu waktu akan bisa menemuinya, tapi yang kubayangkan sorot kecewanya terhadap para pejabat dan PNS DKI Jakarta ya barangkali setali tiga uang, sebelas-dua belas dengan sorot tajam Mamaku itu.
Semoga kini, terlebih setelah Ahok dipenjara dan tak lagi menjabat sebagai Gubernur, para bajingan itu sudah berubah menjadi pejabat dan pegawai yang tak bermain-main lagi dengan uang rakyat.
Model foto utama:
Wahyu ‘Marto’ Nugroho, pembeli kaos ?Ahok!? karya Politik Merchandise. Dapatkan koleksi terbaru Politik Merchandise di laman facebooknya di sini.
Salam Guk,,,,,ancen Guk kabeh…?