Agustinus S.Ag

23 Apr 2008 | Aku

Semalam aku bertemu dengan orang yang pertama kali kukenal pada saat menginjakkan kaki di Jogja, 15 tahun yang lalu.
Ialah Agustinus! Ya, panggilannya Agus, teman sekamar di asrama pada tahun pertamaku dan asalnya dari Lampung, selatan Pulau Sumatera.
Orangnya tak terlampau tinggi, bisa dibilang pendek, malah.
Ia ramah, sukanya senyum hampir ke semua orang yang ia temui.
Ia sopan, pada awal-awalnya ada di Jogja dulu ia memilih menggunakan pakaian yang selalu rapi kemanapun ia pergi.
Mau ambil botol air di dapur asrama maupun membeli makan di warung sebelah, ia tetap mengenakan kemeja.
Oh ya satu lagi yang cukup saya ingat tentang dia, ia tak mau mengucapkan ef untuk F, melainkan ep meski ia sanggup mengeja V sebagai ve.
Aneh bukan?

Ada banyak hal menarik lain yang ada dalam dirinya.

Meski namanya Agustinus yang terdengar sangat Katholik sekali, ia adalah muslim yang taat.

“Bapakku Katolik dan Ibuku Islam. Aku ikut ibuku bersama adik-adikku.” tuturnya waktu itu.

“Kebalikan denganku, Gus. Bapakku Islam dan Ibuku Katolik. Aku ikut ibuku bersama adik-adikku.” balasku saat itu juga.

Masa SMA ia habiskan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta bersama-sama denganku.
Meski berada di sekolah Katolik, seingatku ia tak pernah lupa untuk sholat lima waktu dan menjalankan ibadah puasa menurut ajaran agamanya.

Tak hanya itu. Selepas SMA ia memutuskan untuk kuliah di dua tempat sekaligus, jurusan Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan satu lagi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Jadi kalian bisa bayangkan, SMA dihabiskan di sekolah Katolik dan kuliahnya ia mengambil salah satu jurusan di kampus yang sekarang sudah berubah nama menjadi UIN Suka itu.
Bagiku ini tentu merupakan perjalanan pendidikan yang sangat indah dan unik serta mungkin menyenangkan baginya.

Pada awal perkenalan dulu, aku sebenarnya tak terlalu dekat dengannya bahkan cenderung tak terlalu cocok dalam banyak hal.
Karena hal itu pula pada akhirnya kami memutuskan untuk pisah ranjang menjelang akhir-akhir tahun pertama.
Ketidakcocokan itu dipicu oleh banyak hal kecil yang pada akhirnya menjadi bara api yang besar dalam pertemanan kami.

Soalnya ya ndak jauh-jauh dari soal siapa yang harus membersihkan kamar hari ini?
Siapa yang membuang puntung rokok semalam di sebelah meja belajar?
Atau siapa yang harus mengantarkan keranjang berisi kotoran baju ke laundry hari ini?

Hubunganku dengannya justru mendekat ketika hendak lepas SMA, sekitar dua tahun kemudian.
Sebenarnya aku juga ndak pengen lagi untuk mendekat ketika itu, akan tetapi siapa nyana ternyata ia adalah salah satu teman karib dari mantan pacar pertamaku yang .. ah tak usahlah kusebut namanya di sini.
Mau tak mau, segala macam persoalan dulu pun terkubur dengan rapi. Di tengah bara cinta yang kian membara, apa sih yang tak mungkin dilakukan untuk menjaga baranya tetap menyala?

Kami mengulang dan mencoba memperbaiki apa yang dulu membuat hubungan pertemanan kami rusak, dan setidaknya untuk beberapa waktu kami berhasil!
Kami jadi sering kompak dalam beberapa hal. Membuat design sticker ataupun kaos lalu menjualnya di sekolah, atau nonton musik bertiga, aku, pacarku dan dia, semua kita jalankan dengan sangat bahagia dan menyenangkan.

Puncak kedekatan adalah ketika lulus SMA.
Pada waktu itu, karena aku juga belum tahu mau kuliah dimana, maka kuputuskan untuk menunda mencari tempat kost terlebih dahulu.
Agus yang baik itupun menawariku untuk numpang dulu di kostnya yang letaknya tak jauh dari asrama yang tiga tahun telah kami tinggali.

“Ayolah! Sekalian reunian dulu tho! Pakailah dengan suka, Don!” ucapnya suatu waktu menawariku dengan tanpa basa-basi seperti yang kukenal darinya selama itu.
Maka jadilah aku menumpang di kostnya untuk beberapa waktu lamanya.

Ketika pada akhirnya aku mendapatkan tempat kost baru, di daerah CondongCatur Yogyakarta, kami pun jadi tak pernah bertemu lagi.
Paling-paling hanya ketika mantan pacarku ingin mampir bertemu dengan Agus yang sudah dipanggilnya sebagai “Kakak”.
Selebihnya itu tidak, dan kehidupan serta kesibukan betul-betul memisahkan kami.

Pernah pada suatu saat, aku bertemu kembali dengannya dan pertemuan itu sangat mengesankan.
Aku bertemu dengannya di Gereja St Antonius Kota Baru.
Pada waktu itu, selepas mengikuti Ekaristi Minggu Sore, aku yang hendak keluar dipanggil olehnya.

“Don!”

Aku menoleh ke belakang dan seperti tak percaya, aku melihatnya jalan bersama dengan beberapa rekan muslim dan muslimah keluar dari gereja.

“Loh, Gus!? Kok kamu di sini?”
“Hehehe… iya! Aku sekarang aktif di lembaga lintas agama..”

Rupanya ia memang sedang mengadakan kunjungan dalam kaitannya dengan lembaga yang ia tekuni tersebut.
Aku pun manggut-manggut dibuatnya. Dalam hati aku begitu bangga dengan kegiatannya yang menurutku sangat positif tersebut.

Hingga akhirnya semalam, setelah selesai berolah raga, aku berjumpa dengannya di areal parkir Hotel Novotel, tempat gym ku berada.
Rupanya ia baru saja bertemu dengan koleganya di hotel tersebut.
Sejenak kuhentikan langkah lalu jadilah kami ngobrol berdua barang 10 hingga 20 menit lamanya.
Ada begitu banyak cerita yang tersampaikan diantara kami.
Ya segala kegagalan dan keberhasilan yang telah kita capai selama hidup hingga kenangan-kenangan konyol yang dulu pernah kita lewati bersama.
Ia sendiri sekarang telah resmi menjadi Agustinus S.Ag dan kini aktif dalam beberapa lembaga swadaya kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan bagi anak-anak kurang mampu di pedesaan.
Dan aku, sekali lagi, teramat bangga dengan apa yang menjadi pencapaiannya.

Tapi waktu terus berjalan semakin larut hingga aku harus mengakhiri percakapan yang indah itu.

“Ah, sudah hampir jam 10 malam, Gus! Aku pulang dulu!”

“Iya, sama-sama Don. Senang ketemu kamu!”

“Pokoknya sebelum Oktober aku harus ketemu kamu, Gus!”

“Iya! Harus! Pasti! Karena aku orang pertama yang kamu kenal di Jogja dulu, Don!”

“Hehehe iya.”

“Lagipula kita kan saudara.. sama-sama cucunya Mbah Soma tho?”

“Heh?”

Aku terdiam Sebentar sampai akhirnya kami tertawa berbarengan dengan kerasnya.

Ya, ya! Aku jadi ingat…
Dulu selepas SMA aku pernah mengajak Agus untuk bermalam di rumahku di Klaten.
Di sana, dalam sebuah percakapan sore antara aku, Agus dan nenekku, kami saling menggathuk-gathukkan silsilah
dan ternyata, aku dan Agus sebenarnya masih sepupu yang tak terlalu jauh hubungan tali persaudaraannya.
Sore itu, sama halnya dengan yang terjadi tadi malam, kami berdua betul-betul tertawa terpingkal-pingkal mengingat segala percekcokan yang pernah terjadi pada awal-awal tahun kami berkenalan dan ternyata, kami bersaudara!

Oalah Gus… Gus! Betapa uniknya wajahmu, cerita hidup dan perjalanan pertemanan serta persaudaraan kita!

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. klo si tunggonono gimana kabarnya….? udh ga pernah tayang lg ya…

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.