Ada yang menarik terjadi tahun lalu ketika aku pulang ke Klaten, kampung halamanku. Suatu pagi, aku jalan-jalan menyusuri pematang sawah di belakang kampung; tempat bermainku waktu kecil dulu.
Alangkah kagetnya aku! Meski praktis tak ada yang berubah tapi aku merasa betapa pematang sawah lengkap dengan selokan alami dan gang-gang itu telah menyempit padahal dulu, 25 tahun silam, semua tampak begitu besar dan lebar.
Semula kupikir, akankah hal itu terjadi karena desakan gedung-gedung tinggi yang mengitarinya seperti banyak dibilang di tv-tv dan media lainnya?
Tapi di kampungku mana ada gedung?!
Sekelilingnya hanyalah perkampungan belaka.
“Ya, dulu kan kita masih kecil, Don! Jadi kita menganggap semuanya lebih besar, beda dengan sekarang!” tutur Agus, sobat kecilku yang pagi itu menemaniku jalan-jalan di sana.
“Tapi ketika kebaikan hanya diambil dari satu sumber dan dipaksakan untuk di-universal-kan lengkap dengan ancaman sana-sini, yang kutakutkan, agama beserta kaumnya bahkan akan tampak lebih besar ketimbang suara yang mereka bela sendiri, Tuhan.”
A-ha! Benar juga! Ukuran tubuh dan cara pandang kita waktu kecil mempengaruhi bagaimana besar-kecilnya hal-hal yang ada di sekeliling kita!
Barangkali demikian juga dengan agama!
Dulu hingga beberapa tahun sebelum sekarang aku menganggap agama, khususnya menyoal relasi antara agama-pemeluknya dan pemeluk agama-agama lainnya, adalah sesuatu yang indah. Tapi kini? Entahlah.
Tak elok juga untuk bilang mana yang nyata, apakah yang dulu kita lihat adalah yang lebih benar ketimbang apa yang terjadi sekarang atau sebaliknya, sebelum kita tahu kenyataan seperti apa yang sebenarnya ada.
Yang kutakutkan justru aku telah tak obyektif memandang persoalan ini sejak dulu. Sejak SD ketika banyak ‘diinfus’ dengan asupan-asupan yang mengajarkan betapa hidup dalam masyarakat yang beragam agamanya adalah hidup yang penuh “tepa selira” dan “tenggang rasa” khas buku-buku pelajaran di SD dulu. Jangan-jangan, semua itu hanya lipstik gombal untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya?
Tapi terlepas dari itu semua, media toh membantu mengungkapkan sedikit demi sedikit betapa agama telah menjadi begitu gahar dan sombongnya. Ia telah menjadi raksasa pengatur nan menakutkan. Ia lebih digdaya ketimbang presiden, apalagi polisi dan tentara, tak ada apa-apanya.
Suara-suara kaumnya, mengantarkanku pada pembenaran konsep vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Sesuatu yang harusnya justru mencuat pada tatanan demokrasi, pencipta konsep tersebut dan bukannya pada konsep ‘teokrasi’ wannabe ini :)?Seolah kini kalau kita membawa nama agama maka pembenaran didapat seketika laksana hujan emas turun dari langit.
Kalau yang disuarakan oleh agama dan kaumnya adalah baik dalam pemahaman universal tanpa mesti harus meng-universalkan agama, barangkali tak mengapa. Tapi ketika kebaikan hanya diambil dari satu sumber dan dipaksakan untuk di-universal-kan lengkap dengan ancaman sana-sini, yang kutakutkan, agama beserta kaumnya bahkan akan tampak lebih besar ketimbang suara yang mereka bela sendiri, Tuhan.
Aku tahu kalian akan terpancing untuk berkomentar, “Yang salah bukan agamanya.. yang salah oknumnya!” Hmmm bukannya tak setuju tapi Ibaratnya, orang menderita gatal-gatal di kulitnya kan kalau bukan karena alergi terhadap udaranya, makanannya atau mandinya pakai air yang tak terlalu jernih…
Manusia itu memiliki pandangan sesuai dengan posisinya mas Donny.
Mengenai agama, saya tidak bisa berkomentar lebih. Karena ketika kita menjelakkan suatu agama, maka sama saja kita menjelekkan agama kita sendiri.
#kita salahkan saja oknumnya kali yah..hahahaa
Ngga papa.. setidaknya kamu udah berani berkomentar “Mengenai agama, saya tidak bisa berkomentar lebih. Karena ketika kita menjelakkan suatu agama, maka sama saja kita menjelekkan agama kita sendiri.”
Kalau kata Kak Agnes Monica di Indonesian Idol, “Message kamu sampai ke penonton…” :))))
entah aku bisa komentar apa di sini. tapi kadang aku juga tergoda untuk memberi komentar: yang salah oknumnya. tapi ya bener juga katamu kalau ibaratnya orang mandi, bisa jadi dia gatal-gatal karena air mandinya keruh, tidak bersih. jadi aku mau kometar apa ya? barangkali tulisan ini membuatku merenung. mungkin aku juga salah satu oknum yang membuat agama itu jadi tampak buruk. tapi btw, agama itu sebenarnya apa sih? ah, embuh lah don. jangan marah kalau aku cuma ngecret nggak karuan di sini hehehehe….
Bagiku agama adalah lembaga… sesuatu yang melembagakan iman terhadap Yang Dipercaya…
Aku tau arah komentarmu.. Kalo kuibaratkan, laksana orang terpenjara yang ingin berteriak hehehe…
Ayo, bebas! :)
Kurasa semua agama mengajarkan kebaikan. Kalau sampai ada yang melakukan kejahatan, kekerasan, bahkan kejahatan atas nama Agama. Aku percaya orang-orang itu pasti tengah salah menangkap pesan dengan bijak. Atau lebih tepatnya salah menafsirkan.
Kalau hal buruk itu diumpamakan alergi, maka yang salah bukan makanannya kan Don? Tapi tubuhnya yang memang alergis terhadap suatu makanan tertentu.
Kamu kok yakin semua agama baik? Agama jumlahnya ada berapa dan udah sedalam apa kamu mempelajari semuanya sehingga bisa menyimpulkan bahwa semua agama baik?:)
Orang alergi makanan emang bener yg salah tubuhnya… Salah karena tetap makan makanan yg tak cocok bagi tubuhnya. Solusi? Ganti makanan, ganti agama :)
makanya.. dari dulu juga telah diajarkan.. agama itu urusan individu satu kepada tuhannya.. gak perlu berkelompok mengurusinya kan yak :p
Yak’tul!
Aduh bahasane kok di luar jangkauanku, soal keyakinan saja kita sudah mbingungi kok soal agama ya tambah gawe goro-goro..
Komentar ah :
Sedikit belajar sejarah tentang perang agama dan bagaimana para penjelajah lautan menginvasi dunia timur atas ijin para pemuka agama. Membaca para ilmuwan yang mati digantung hanya karena memberikan pernyataan yang seolah dianggap melanggar ketetapan ayat dalam kitab suci agama. Membaca perang atas nama Tuhan dan segala catatan Karen Armstrong. Saya punya sedikit kesimpulan atas nama ketakutan saya, jangan-jangan ayat-ayat kitab suci yang kita baca dan kita percayai itu, tidak lebih dari sekedar dongeng yg ditahbiskan menjadi dogma. Ya Allah, ampunilah Hambamu atas keraguan berkarat ini :)
wah…penuturan hebat keraguan berkaratnya.
Karena sepatutnya manusia mempertanyakan itu, dan terus berusaha menemukan apa sebenarnya yang dia percayai. Kalau ragu kok bisa percaya?
Dan jika menemukan jawabannya itulah kurasa bisa dikatakan “beriman”.
Ini pandanganku saja loh
koreksi : wah.. penuturan keraguan berkaratnya hebat.
Entahlah mas, informasi kini bisa didapat dengan mudah, termasuk informasi mengenai agama, walaupun informasi itu belum tentu benar atau salahnya. Sayangnya dengan semakin banyak informasi itu, seseorang kadang merasa lebih tahu dan menganggap apa yang dia ketahui adalah kebenaran lalu memaksakan kebenaran dalam versinya itu kepada orang lain.