Afi dan ketergagapan kita

12 Jul 2017 | Cetusan

Apakah Afi seorang plagiator? Ia sendiri mengakuinya.

Apakah kita berhak kecewa terhadapnya?
Dengan berat hati kukatakan tidak. Kalau kecewa itu adalah kewajiban, maka kita wajib kecewa terhadap diri kita sendiri karena terlanjur terlalu tinggi menaruh harap kepadanya, terlanjur melabeli ia dengan predikat-predikat yang wangi dan menarik rupa.

Ada kawan menulis dalam status di FB bahwa kesalahan kita dalam menanggapi Afi terjadi karena kita gagap dalam ber-social media. “Kita gagap, terlalu cepat menyanjung seseorang yang ‘lahir’ dari social media, kita gagap!” begitu katanya.

Aku berseberangan.
Bagiku kita tidak gagap dalam menggunakan social media; justru kita sudah begitu luwes dan akrab dengan social media sehingga cara kita bersosialisasi yang secara alami memang sudah tergagap-gagap itu terefleksi di sana!

Tak percaya?
Jauh sebelum social media muncul, ketika aku tinggal di kampung, pertengahan 80an, tetangga suatu sore membeli sebuah televisi berukuran besar lengkap dengan pemutar kaset video dan antena parabola untuk menangkap siaran luar negeri.

Kami kaget atas kenyataan itu. Terlebih saat ia selalu membuka pintu kepada para tetangga yang ingin menonton televisi siaran luar negeri yang saat itu masih terasa begitu asing, atau untuk sekadar memutar kaset video, kami tergagap-gagap lagi.

Buahnya adalah labelisasi.
Ia kami beri label ‘orang kaya baru yang baik hati’.

Hingga sekitar tiga bulan kemudian, sebuah truk besar datang ke rumahnya mengangkut semua piranti lalu pergi, hal itu membuat kami lagi-lagi tergagap lagi!

Ternyata semua kemewahan itu hanyalah hutangan yang tak dibayar angsurannya sehingga harus diangkut balik dan dikembalikan.

Para tetangga yang semula baik pun mulai tertawa sinis dan menjadikannya bahan obrolan serta pergunjingan mulai dari ruang arisan hingga pos ronda siskamling di malam hari.

Itulah ketergagapan, itulah labelisasi yang terjadi sejak jauh sebelum social media ada dan internet belum dikenal luas oleh orang biasa!

Kembali ke ‘soal’ Afi, yang patut kita waspadai adalah cara kita mengelola harapan atas orang-orang yang lahir dari rahim social media dan terlanjur kita beri label.

Afi tak sendiri, ada banyak orang-orang lain yang juga muncul dari social media dan kita tanggapi secara gagap serta kita beri label sesuka kita, seiring suasana batin kita. Nanti di lain hari, ketika kita kecewa terhadap perbuatan atau pribadinya, labelnya lekas-lekas kita ganti dengan sesuatu yang baru yang berkesesuaian dengan kadar kekecewaan kita saat itu nanti.

Sebagai orang Jawa, aku ingin menutup tulisan ini dengan sebuah quote menarik yang sangat relevan dengan isu ini.

Aja nggumunan, aja getunan… (Jangan terlalu mudah terpana, jangan pula gampang kecewa) yang sedang-sedang saja!

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.