Adjie: mungkin Jogja memang sudah mudah tegang…

1 Sep 2014 | Cetusan

blog_adjieSilarus

Jogja sedang ramai tentang kasus Flo?dan beberapa kawan memintaku untuk menuliskan opiniku tentang kasus itu di sini.

?Mending nulis tentang Jogja dari sisi lain yang lebih baik!? tukasku pada seorang kawan beberapa hari lalu.?Bukan karena takut dianggap ikut-ikutan para blogger dan netizen lain yang sudah beropini tapi lebih karena materi yang telah kujadwalkan untuk tampil di blog ini lebih menarik.

Dan tulisan hari ini, aku mengangkat sosok Adjie Silarus, seorang pecinta origami yang penulis buku dan penggiat konsep mindfullness baik melalui social media, radio maupun dalam ?real life?-nya.

Sama dengan Vindra, aku tak sempat mengenal Adjie ketika kami masih sama-sama tinggal di Jogja.?Kalau melihatnya beberapa kali pernah, tapi ya hanya melihat saja, tak menyapa.

Social media lantas ?menyatukan? kami, aku di Australia dan Adjie di Jakarta, dalam semangat yang sama: mencintai kota bernama Jogja.

Percakapan dengannya sudah berlangsung sejak sekitar tiga minggu silam ketika aku menggagas ide mengunggah tulisan tentang tokoh-tokoh muda Jogja, tapi perkembangan kasus Flo, meski tetap tak membuatku ingin beropini namun aku berpikir ada baiknya menanyakan opini pria kelahiran 22 November 1983 karena siapa tahu ia punya tinjauan asyik terkait dengan bidang yang ia tekuni tentu saja.

Hasilnya?
Simak di bawah ini :)

DV: Apa yang bisa kau pelajari dari kasus ?Flo??
Adjie: Banyak!

OK, kalau banyak satu per satu!
Pertama, kasus Flo ini menyiratkan bahwa sekarang ini kemampuan untuk sabar menunggu dan antri dari beberapa orang melemah.

Tak hanya Flo kalau itu. Hampir semua dari kita juga tak sabar untuk menunggu dan antri, kan?
Nah!
Durasi munculnya rasa bosan semakin singkat dari hari ke hari bahkan jika harus menunggu, antri, kita tidak nyaman!

Untuk mengatasi hal itu, kita biasanya menyibukkan diri dengan gadget, atau membiarkan pikiran kita berimajinasi, mengembara ke sana ke mari, mindless, monkey mind, mlumpat mrono-mlumpat mrene, kalau dibiarkan terus-menerus pikiran yang seperti ini maka kita akan menjadi monkey face :-p

Begitu?

Lalu, yang lain?
Yang kedua? Reaksi berlebihan dari Flo yang aku tinjau adalah salah satu slip of mind yang terjadi, yaitu nggebyah uyah alias menggeneralisasi.

Kan yang membuat dia jengkel hanya salah satu pegawai SPBU tersebut, atau kalau tidak hanya orang-orang yang menyoraki di SPBU? Tapi kenapa kok dia menggeneralisasi bahwa itu adalah perbuatan Jogja? Apakah orang-orang yang bersikap ga sesuai dengan keinginannya tersebut bisa mewakili Jogja? Ndak, kan ?

Hal ini juga sekarang sering kita lakukan. beberapa orang saja yang melakukan tetapi kita sudah memberi label bahwa suatu suku, agama, ras dan golongan tertentu melakukan hal tersebut.

Trus?
Yang ketiga, ini yang terakhir…
Dia, Flo, mungkin merasa bahwa karena dia posting di Path maka itu hanya untuk konsumsi teman-teman dekatnya saja karena konon Path hanya untuk kalangan dekat. Tapi ternyata, repath dan screen captured dari omongannya si Flo ini menyebar.

Aku mengamati semakin banyak orang berusaha memakai topeng yang berbeda, menyesuaikan tempatnya menyesuaikan social media channel yang dipakainya. Misalnya, perilaku kita di Twitter pun belum tentu sama dengan perilaku kita di Path. Lha apa ndak lelah kalau harus terus menyesuaikan dan mengganti peran disesuaikan dengan social medianya ? Iya, kita memang memainkan peran yang berbeda antara misal saat berbicara dengan saudara kandung kita, dengan saat berbicara dengan orang tua kita. tapi karakter kita tidak berbeda.

Nah di social media, bahkan kita memainkan karakter kita sendiri, atau sering kita sebut sebagai pencitraan. Nang Path gas pol tapi nang twitter alim, misalnya. Balik lagi pertanyaannya : Apa ndak lelah ?

Wah, wangun situ Mas Adjie! Hehehehe? Tapi btw, sebenarnya profesimu itu apa tho?
Aku dewe yo jane ra patio mudheng hehehehe?

OK, kalau kamu kusebut sebagai motivator?
Karena sebutan motivator sudah salah kaprah, jadi aku nolak …

Kalo kamu nolak, lalu apa yang tidak kamu tolak?
sebutlah aku sebagai Adjie Silarus
I don?t pretend I?m more than I am. I’m just a guy who has simplified his life and focused on being mindful.?Di dunia internet, social media, banyak orang yang berlomba untuk menjadi ahli ini dan itu hingga lupa untuk menjadi diri apa adanya ?

Wah angel iki? Tapi ok lah.. lanjut!
Apakah kamu yang pertama kali mengemukakan konsep mindfulness?
yang mengemukakan konsep mindfulness untuk pertama kalinya bukan aku ? Aku hanya ikut membagikan membagikan konsep mindfulness saja.

Konsep mindfullness itu secara singkat piye tho?
Mindfulness secara sederhanane ngene lho mas bro …
Kita hidup bisa disederhanakan hidup dalam 3 zona waktu : masa lalu, masa kini dan masa depan.
Kita terlalu sibuk di masa lalu dan masa depan. pikiran kita yang melayang ke masa lalu atau depan dan perasaan kita juga mengembara ke masa lalu atau depan. Jarang kita hadir utuh, sadar penuh, hanya di masa kini, di sini. apa adanya …Nah mindfulness ini melatih diri kita untuk hadir utuh, sadar penuh di sini-kini.

Jadi lebih seperti pikirkan dan sadarlah pada apa yang kau lakukan saat ini. Gitu?
Yup! Tepat!
Mengutip salah satu tokoh mindfulness, Jon Kabat Zinn, mindfulness itu adalah memperhatikan dengan cara tertentu bertujuan, di sini, saat ini , tidak melakukan penilaian.

Mengapa saya setelah mendapatkan manfaat untuk diriku sendiri, berminat membagikan hal ini kepada orang-orang ? karena kita, baik generasi kita, atau pun yang lebih tua dan yang lebih mudah, lebih senang belajar dan terlihat keren jika bisa matematika daripada belajar antri …

Walah, mbalik ke soal antri lagi?
Iya.. hehehehe…

Lalu apa yang bisa disumbangkan dari konsep itu ke kehidupan sekarang dari sisi implementasinya?
Yang bisa disumbangkan, banyak masbro.

Mindfulness membantu kita untuk lebih mampu mengambil keputusan dengan lebih tepat dan bijaksana karena dengan mindfulness pikiran kita lebih jernih.

Mindfulness membantu kita dalam hal leadership karena bagaimana kita bisa memimpin orang lain, jika kita memimpin pikiran kita sendiri saja tidak bisa.

Di bidang interaksi sosial, termasuk di keluarga, bukankah kita sering saat ngobrol dengan orang yang kita cinta, misal ibu, hanya raga saja yang hadir tapi pikiran dan jiwa kita masih melayang, mungkin mikirin pekerjaan, penyesalan dan kekhawatiran ?

Jadi membagikan konsep dan praktik mindfullness itu sekarang jadi profesi tetapmu?
Iya. bergerak perlahan melalui nulis buku, bikin pelatihan, bikin online magazine, bikin online shop, bikin radio, ke kampus-kampus berbagi konsep mindfulness, bikin youtube channel, dan bikin national conference.

Sejauh ini mempekerjakan berapa orang di usahamu itu?
Belum banyak, masih 8 orang karena belum semuanya berjalan ?

Ok, meski kamu sekarang tinggal di Jakarta, kan kamu kuliah di jogja bro, seberapa besar pengaruh jogja terhadapmu?
Pengaruhnya besar.
Gaya hidup di Jogja sebelum terlalu modern seperti meluangkan waktu untuk bersantai (selo) ini pun aku temukan di mindfulness.

Jogja juga penuh dengan cerita, interaksi sosial yang begitu hangat, suasana angkringan dan wedangannya, hal-hal semacam ini memberikan pengaruh besar untuk hidupku sekaligus memberiku pelajaran untuk memaknai setiap nafas kehidupan, hidup dengan tidak tergesa selaras dengan mindfulness. Kita disarankan untuk mengurangi kecepatan laju hidup kita.

Jadi sekarang kamu menyebut Jogja terlalu modern?
Aku sudah cukup lama tidak ke Jogja.
Beberapa waktu yang lalu, aku hanya mampir beberapa hari jadi penilaianku belum bisa digunakan untuk kesimpulan.

Tapi dengan keriuhan mall yang sekarang ada… Duh …
Dengan kemacetan di beberapa ruas jalan yang aku alami saat aku singgah ke Jogja? duh?.
Dan dari yang aku rasa melalui interaksi dengan orang-orangnya. kehangatan itu kok sepertinya memudar … mungkin pikirannya sudah terlalu dicekoki, profit, profit, profit. hehehe

Banyak orang punya penilaian soal Jogja yang sekarang ini tapi kalau boleh dirata-rata terutama bagi para diaspora seperti kita, datang kembali ke jogja rasanya sangat tidak nyaman lagi karena modernisasi yang kau sebut tadi… Nah menurutmu solusi terbaik itu gimana dan harus dimulai darimana tho?
Dari diri kita masing-masing masbro tapi memang kesadaran dan niat dari diri sendiri seringkali tumbuh saat sudah terbentur tembok!

Solusi yang mungkin terbaik adalah dengan menunjukkan manfaat dan keseruan saat manusia menjadi manusia bukan robot. Ya contohnya seperti event FKY ini, yang mengusung konsep “do dolan”

Sekarang ini banyak yang “dolan” dilandasi dengan “Apa untungnya? Menghasilkan uang ndak?“?Jadi dolan yang sedolan-sedolannya itu sudah luntur sekarang ini. Semoga dengan event-event seperti FKY membuat kita manusia menjadi manusia lagi ..

Tapi sebagian kalangan memang jogja harusnya juga bergerak ke arah modern… Nggak adil kalau menempatkan Jogja sebagai heritage dan ngga maju-maju seolah-olah justru kita yang egois ingin menempatkan Jogja sesuai keinginan kita, sesuai dengan Jogja yang kita alami dulu. Menurutmu piye?
Apakah menjadi manusia-manusia yang hanya memikirkan profit dan tidak ada kehangatan dengan sesama, dan sebagainya adalah ciri modern?

Jogja memang harus bergerak maju, ga gitu-gitu aja tapi juga pergerakannya harus diperhatikan. Apakah bergerak ke arah lebih manusiawi atau malah sebaliknya ?

Bergerak maju menjadi modern tapi malah membuat manusia-manusianya menjadi bersumbu pendek, gampang marah, dan sebagainya…

Lha kok malah menuju primitif? Hehehehe?.

Satu hal ‘baru’ yang kutemui dalam cita rasa Jogja akhir-akhir ini adalah adanya ketegangan antar pemeluk agama, Bro.. Menurutmu piye kok Jogja bisa sampai ada isu semacam itu?
Selain ada isu bahwa itu ada yang menunggangi dan memprovokasi, tapi mungkin juga Jogja sendiri pun memang sudah mudah tegang. Ini bisa disebabkan oleh banyaknya gedung bertingkat.

Weh menarik iki.. kok bisa disebabkan gedung bertingkat?
Kita di Jogja sudah mulai susah menemukan taman lapang, atau paling tidak kita di Jogja lebih sering menghabiskan waktu di dalam bangunan, bukan alam terbuka dan karenanya diri kita menjadi lebih egois, individualistik.?Jiwa kita menjadi besar dan lapang jika kita mampu meluangkan waktu melihat langit yang luas, alam, taman, gunung, dan sebagainya.

Sekalipun kita tidak sering berada di dalam gedung bertingkat, tapi kalau dikepung gedung-gedung seperti itu, kokoh, kaku, maka diri kitapun menjadi kaku, mudah patah, mudah tegang? semacam ngga looosss gitu lho.

Bruce Lee kan berpesan,?be water, my friends …. bukan be stone, my friends. hehehe

Konsepku sederhana, hanya mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia seutuhnya …?Bukan hidup yang seolah-olah ada hanya saat impian terwujud, lha wong saat impian terwujud kita pasti juga belum puas to ?

Hidup hanya di sini-kini ?

Mungkin itu juga yang memicu begitu ?lebay? nya beberapa kalangan Jogja menyikapi soal ?Flo??
Lhoh mbalik Flo lagi hahahaha?
Reaksi berlebihan atau ‘lebay’ iya.?Mungkin juga karena kita sering dicekokin bahwa yang berlebihan itu baik, yang berlebihan itu harus kita lakukan, yang berlebihan itu adalah gaya hidup baru, yang berlebihan itu adalah tuntutan, dan tanpa kita sadari, yang berlebihan itu nyandu.

Ini bisa dipengaruhi karena gaya hidup yang berlebihan, gaya hidup yang tergesa-gesa sehingga kita memberikan reaksi yang berlebihan bahkan terhadap apapun yang kita alami … melihat kondisi inilah maka Jack Dorsey membuat twitter. serba cepat, dan berpotensi untuk membuat sesuatu menjadi berlebihan. nggak seperti blog, perlahan, tapi lebih matang.

Ya, aku setuju dengan yang terakhir, blogger itu memang lebih matang!
Nek iki aku sing ngguyu hahahaha?.

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. percakapan dua orang keren, dengan materi sangat penuh arti. membacanya, aku jadi dapat banyak masukan, dan peringatan.

    bener dan klop dengan banyak gagasan istriku, yang banyak mengingatkanku akan banyak hal prinsip, yang lama terabaikan.

    kalian keren kabeh, cuk! untung aku wis ketemu langsung, pernah ngobrol, karo ajie dan dv. suwun ya, masbro-masbro…

    Balas
    • Woh, Paklik Blonty nganti komen ik… nuwun Paklik!

      Balas
  2. Saya lagi idle dan malas bekerja, jadi mbaca blog aja dan ketemu blog masnya ini.

    Dan kebetulan saya mbatak kaya mbak flo itu, heheh.

    Saya pernah satu dekade di jogja. Saya rasa itu masa peralihan, karena angkatan diatas saya (sesama mahasiswa abadi) cerita bahwa dulu di situ semua orang pake sepeda, sedangkan di masa saya sudah pake motor semua tuh. Juga waktu saya disana, mall Ambarukmo itu dibangun, salah satu yang termewah dulu, sebelumnya gacoan kita cuma mall galery. Terus dilanjutkan sama pembangunan pusat-pusat “modernisasi” lainnya seperti teater XXI dst.

    Jalanan rame dan panas sama motor dan mobil mahasiswa, plat nomernya bhinneka, banyak kios-kios dan ruko dibangun, sebagian besar dikelola mahasiswa dari luar jogja juga. Banyak pendatang yang akhirnya menetap di jogja karena berbagai alasan. Alasan yang akhirnya mengubah jogja itu sendiri. Bapak kos pernah nyeletuk, “hati-hati, orang sini sekarang sudah ngerti duit.”

    Kota berubah, mau nggak mau sudut pandang warganya juga berubah. Awalnya saya bisa duduk di angkringan, ngobrol sante tapi mendalam. Terakhir sepertinya sebagian orang sudah menjadi begitu kalkulatif.

    Saya ngikutin ceria flo sambil lalu aja kalau lewat di depan TV, tapi saya rasa hal seperti itu sudah terjadi dimana-mana, mekanisme filter diri para individu sudah jebol, untung saya orangnya malas ribut, kalo nggak mungkin sudah rame juga kayak mbak flo itu. Dan saya setuju dengan diskusi diatas, kadang kita begitu sibuk menjadikan diri kita sebagai pusat segala sesuatunya, kemampuan observasi lingkungan kita sampe mati.

    Salam…

    Balas
  3. @blontankpoee: nuwun, Pakdhe. njenengan juga keren …
    @Tumpal: sepakat, kota berubah maka sudut pandang warganya juga berubah.
    perubahan akan terus terjadi, sehingga perlu dibarengi dengan pengendalian diri.

    Balas
  4. Pemahaman yang menarik. Bahkan akupun seringkali tidak punya cukup waktu untuk memikirkan kenapa aku melakukan sesuatu yang salah padahal ya tau kalau itu akan aku lakukan dan aku salah *njuk mumet* =))))

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.