Adakah kita bisa menilai salah di masa yang hampir semuanya kita benarkan ini?

18 Mar 2013 | Agama, Cetusan

Percayakah kalian bahwa semakin hari ada semakin banyak orang yang semakin sulit membedakan mana hal yang benar dan mana? yang salah?

Untuk hal-hal tertentu yang ekstrim barangkali mudah.

Misalnya, membunuh. Sepertinya sebagian besar dari kalian setuju bahwa membunuh orang lain adalah dosa dan kesalahan yang besar.

Tapi ketika kita membuat gosip terhadap rekan kerja kita supaya namanya jatuh di muka bos, apakah menurut kalian hal itu bukan satu kesalahan? Bayangkan jika pada akhirnya ia dipecat dari kantor lalu nekad bunuh diri? Apa bedanya kamu dengan mereka yang membunuh orang secara langsung karena keduanya toh menyebabkan kematian?

Hal lain adalah mencuri. Orang ramai bicara soal korupsi dan sepertinya tak ada sama sekali yang setuju bilang bahwa korupsi adalah tindakan yang dibenarkan!

Tapi pernahkah kalian yang tidak mendapat ijin dari atasan tapi mencuri-curi waktu untuk tweeting, facebooking maupun blogwalking di saat jam kerja merasa bahwa hal yang kamu lakukan itu tak beda jauh dari korupsi?

Sebenarnya keragu-raguan kita untuk menengarai mana yang benar dan mana yang salah itu lumrah. Kemajuan jaman dengan segala kompleksitasnya memberi tekanan pada jiwa kita. Bukannya kita yang tak kuat menahan tekanan tersebut sekali lagi bukan tapi justru sebenarnya lebih karena kemampuan alami kita untuk beradaptasi dengan hal-hal baru termasuk kemajuan jaman dan tekanan itu tadi!

Ambil contoh dalam perkara ngegosipin kawan kerja tadi. Dunia, kusebut saja demikian, memberi tekanan kepada kita melalui berbagai macam kebutuhan yang tiba-tiba seperti muncul dan menuntut kita untuk memenuhinya sementara persaingan semakin ketat dan kita tak bisa seenak jidat minta kenaikan gaji/pangkat. Mau-tak-mau, menjelek-jelekkan kawan kerja adalah pilihan yang halus yang susah ditolak sebagai . ?Toh aku tidak membunuh!? kilahmu, atau yang lain, ?Toh nggosip itu tak tertulis di kitab. Jadi, ngga dosa kan??

Kemajuan jaman juga membuat kita mencari nilai benar-salah bukan lagi merujuk pada sumber referensi semisal agama dan akar tradisi melainkan pada perbandingan satu hal terhadap yang lainnya.

Misal, kita berpikir bahwa orang hamil di luar nikah itu adalah lebih berdosa dibandingkan dengan kita… eh maksudku mereka yang memilih berhubungan seks di luar nikah tanpa hamil. Padahal, secara hakiki bukankah keduanya sama salahnya?

Seorang dua orang menilai satu hal benar-salah lepas dari sumber referensi moral barangkali masih tak mengapa, tapi ketika keputusan benar-salah itu sudah meringsek ke tataran komunitas, dimana sebagian besar kalangan menganggap hal tertentu itu benar-salah, di situ hal-hal yang kita pergunjingkan benar-salahnya akan mendapatkan jawaban dari apa yang jadi suara terbanyak masyarakat. Pada saat seperti itu, masih maukah kita menjadi minoritas yang membawa perangkat tradisi dan agama untuk kukuh pada pendirian yang terutama?

Makanya pernah suatu waktu aku berujar pada teman, in a way, aku setuju dengan cara kaum radikal untuk merespons gejolak jaman seperti yang kusebut di atas itu dengan cara menentangnya meski aku juga sangat tidak setuju dengan cara mereka yang kasar dan tak mengenal kata ampun serta menganggap yang sudah bersalah dan berdosa tak kan mampu bertobat.

Pada akhirnya memang di sinilah pembedanya. Radikalitas itu sangat bergantung pada ajaran yang dipakai untuk landasan dan isi otak pelakunya dalam menginterpretasikan radikalisme itu sendiri. Aku sendiri memilih berusaha menentang hanya dalam tataran prinsip dan mengekslusifkannya dalam lingkup keluarga; artinya ketika seseorang menilai sesuatu yang salah itu benar dan sebaliknya, selama ia bukan keluargaku aku akan hormatinya sebagai pribadi yang memiliki kelengkapan hak dan kebebasan berkehendak.

Itu saja.

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. salah dan benar itu memang seringkali berdiri di area abu2 ya…

    Balas
  2. sebagian orang berpikir: kalo sudah berhubungan dengan agama, katanya ketinggalan jaman,
    ah orang itu pasti belum melibatkan agama di setiap hirup nafasnya :)

    Balas
  3. baca tulisanmu ini, yang terlintas di kepalaku adalah ungkapan: “yen ora melu edan, ora kumanan.” :D

    Balas
  4. Maaf kalau OOT mas. Saya tertarik tentang hamil di luar (sebelum) nikah itu mas.

    Di daerah saya, kalau mau di persentasekan, sekarang rasanya lebih banyak yang hamil sebelum nikah dibanding sesudah nikah. Memang sih sebagian besar yang hamil sebelum nikah itu memang sudah siap menikah. Permasalahannya adalah dimana sekarang orang justru secara halus atau secara tidak langsung seperti menyarankan agar hamil dulu sebelum nikah. Ini tentu menyakitkan/tidak adil bagi yang perempuan karena kesannya mereka tidak akan dinikahi kalau tidak hamil.

    Saya beberapa kali pernah mendengar selentingan, entah itu maksudnya bercanda atau serius, kalimatnya adalah “makanya hamili dulu, baru nikahi”. Kalimat ini ditujukan untuk beberapa pasangan yang ternyata susah (belum bisa) hamil setelah mereka menikah.

    Balas
  5. makin luar wawasan seseorang.. makin pandailah ia memilah milah mana yang salah dan benar. Salah dan benar pasti semua dapat di justifikasi dengan baik, karenanya itu semua menjadi tidak penting. Yang terpenting adalah kesadaran pada saat melakukan suatu tindakan baik itu salah atau benar hingga konsekuensinya dapat ditanggung dengan tingkat kesadaran yang sama.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.