Abang Edwin: Twitter tidak akan pernah bisa menggantikan blog

5 Des 2013 | Digital, Harblognas

Tadinya kupikir nama aslinya adalah Edwin Syarif Agustin saja dan ‘Abang’ adalah panggilannya seperti kalian memanggil ‘Abang’, ‘Mas’, ‘Pak’ dan kata sandang lainnya.

Tapi nyatanya ketika aku iseng mencari data dirinya di Google, kutemukan profile Linkedin (yang kuanggap sebagai social media yang paling serius jadi sangat jarang orang menggunakan data ‘tak akurat’ di sana -red) atas nama Abang Edwin Syarif Agustin. Jadilah, Abang Edwin Syarif Agustin, orang banyak memanggilnya sebagai BangWin, atau ‘Abang’ saja.

Tapi ia memang berhak menyandang kata sandang ‘Abang’ karena bisa jadi ia adalah ‘Abang’ social media di Indonesia! Bahkan saat Mark Zuckerberg, salah satu pendiri Facebook, masih duduk di bangku SMA, Abang Edwin telah mulai memperkenalkan konsep social media tentu dengan bahasa yang berbeda di kalangan yang waktu itu sangat terbatas karena keterbatasan koneksi internet di Indonesia waktu itu.

Aku sendiri belum pernah bertemu secara muka langsung dengannya.
Namanya sendiri sudah kukenal sejak awal dekade lalu ketika seorang kawan lama bekerja di KomunitasMusik, portal musik online yang dipimpin Abang Edwin.

Lalu kami bersinggungan di Twitter.
Cuitannya berkualitas nan bernas membawa topik tentang social media. Dan hal itulah yang akhirnya membuatku berpikir untuk mengajaknya ‘berdiskusi’ di sini meski ia sebenarnya, lagi-lagi menurutku, lebih terkenal dalam konteks social media dan bukan blog secara khusus.

Jadi, mau tau seperti apa isi benak orang yang kerap menyebutku sebagai ‘Dinosaurus’ (dan sebaliknya demikian karena kami sama-sama ‘makhluk senior internet Indonesia’), simak di bawah ini cuplikannya!

Jadi anda ini blogger?
Bisa dibilang begitu…:-)

Kenapa bisa dibilang, sepertinya anda ragu? Coba jelaskan kalo ragu :)
Begini… Menurutku pengertian blog itu sendiri masih mengandung pengertian yang membatasi para blogger saat ini. Terutama konteksnya dalam jenis konten yang digunakan. Saat ini secara praktis yang namanya blog itu bisa digunakan untuk macam-macam jenis konten. Contohnya ngeblog dengan konten foto dan video sudah masuk dalam keluarga blog juga sebenarnya. Hanya saja pengertian secara umum blog masih dianggap sebagai medium untuk konten-konten berbasis teks yang serius.

Kalau begitu, bagaimana dengan Twitter dan Facebook? Apa termasuk ngeblog juga karena kan sama-sama menyangkut konten yang bareneka rupa jenisnya?
Buat saya Facebook itu bukan blog tapi lebih pada jejaring sosialnya meski punya fungsi blogging didalamnya. Kenapa? Karena Notes yang punya fungsi blogging di Facebook kalah populer dibanding Timeline status.

Nah kalau Twitter buat saya bisa dibilang blog tapi cuma 140 karakter. Makanya Twitter itu disebut dengan microblog. Kalau boleh saya memberikan nama sih mungkin ketimbang disebut blog (web log) mending disebut Web Status atau Web Notification kali ya….hehehe :-)

Wah aku jadi bingung, Bang. Jadi gini aja, menurutmu apa definisi blog itu sendiri karena facebook, dengan berstatus juga berkonten, dengan bertweet juga ber konten?
Bagiku blog itu adalah wadah kumpulan konten berbasis web yang jauh lebih representatif bagi pemiliknya. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, pengertian Facebook fokusnya bukan di bloggingnya tapi lebih pada jejaring sosialnya, namun mereka memiliki fungsi blog juga. Demikian juga Twitter dengan 140 karakternya membuatnya juga berbeda dengan blog pada umumnya.

Cool :) Next, Bang! Anda kan bisa dibilang sudah lama sekali berada di dunia internet ini. Dan kalau nggak salah Anda bahkan memulai praktek konsep social media sejak ’99? Bisa diceritakan?

Dahulu itu belum ada yang kenal dengan social media, bahkan term tersebut saja belum ada.

Mungkin kamu pernah dengar apa yang disebut dengan konsep dunia terhubung? atau mungkin jauh lebih familiar dengan sebutan Connected World Concept. Saya sangat terobsesi dengan konsep ini, dan pada sekitar tahun 1993-1994 saya mengeksplorasi konsep ini melalui perangkat-perangkat yang memungkinkan saya untuk bisa mendapatkan pengalaman terhadap connected world concept ini. MiRC adalah perangkat pertama yang saya gunakan untuk bisa terkoneksi dan “ngobrol” dengan teman-teman dari seluruh dunia. Lalu setelah itu masuk eranya instant messenger diawali dengan AIM dan ICQ. Dan pada sekitar tahun 1998-an dimana mailing-list sedang booming saya bereksperimen lebih jauh ke konsep online community dimana menurut saya konsep ini adalah pengembangan dari konsep connected World tadi. Saat itu istilah Web 2.0 belum dilahirkan oleh Tim O’Reilly, sehingga konsep web yang dikenal masih konsep Web 1.0 atau bisa disebut konsep satu-arah.

Buat saya apa yang kita kenal dengan social media ataupun social network (jejaring sosial) adalah praktik online community dengan medium baru. Jadi hanya mediumnya yang berubah.

Anda mengenal konsep itu sudah lama, apa terimplementasikan pada hal yang anda kerjakan sehari-hari?
Yep…saya selalu mencoba mengimplementasikannya pada setiap pekerjaan sehari-hari, walaupun untuk mencapai hal tersebut saya harus secara terus menerus “mengenalkan” konsep tersebut.

Ok, lalu konsep connected world tadi dengan blog, jika dimasukkan, kira-kira bagaimana keterkaitannya? Maksudku, apa yang bisa disumbangkan oleh konten yang diproduksi seorang blogger?
Sebetulnya konsep connected world tersebut pada blog sudah terwakili dengan adanya fungsi-fungsi sosial didalamnya. Salah satu yang terpenting adalah commenting system dimana setiap pengunjung bisa berinteraksi dengan pembuat konten dan pengunjung lainnya lewat konten itu sendiri. Fungsi sosial lainnya yang memperkuat konsep connected world adalah social sharing, dimana setiap orang yang mengonsumsi konten di blog tersebut bisa membagikannya ke siapa saja lewat tombol-tombol social sharing tersebut. Sehingga si konten bisa menyebar tanpa batas kemana-mana untuk dikonsumsi lagi. Begitu seterusnya…:-)

Menyoal konten berbayar yang dikenal dengan sebutan monetizing blog, bagaimana pendapatmu?
Menurutku munculnya konten-konten berbayar itu menandakan si medium (baca: blog) sudah mulai dieksplor penggunaannya. Seperti halnya media-media lainnya, itu adalah proses.

Tapi meski begitu tetap perlu ada regulasi kan karena aku ngebayangin content stream itu seperti aliran sungai, kalo semua dicampur jadi satu bisa tersumbat karena kotoran yang dibawanya lalu banjir? Begitu nggak menurutmu?
Aturan main bisa saja diberlakukan, namun saya pikir para pembaca konten lah yang akan sedikit demi sedikit menentukan konten mana yang ingin mereka konsumsi. Intinya blogger bisa saja mendistribusikan konten sesuka mereka, urusan dibaca atau tidak itu pembaca yang menentukan. Media-media mainstream yang terjun ke social media banyak yang tidak memahami ini, mereka masih banyak yang suka membombardir follower dengan rentetan konten regardless pembaca mau baca atau tidak. Alhasil pembaca banyak yang overwhelmed dan mulai berlangganan penyedia dengan topik-topik spesifik. Intinya seleksi alam sangat-sangat berlaku dalam ekosistem social media ini

Ok, sekarang kan jaman dimana konvergensi media ke gadget yang sifatnya handheld dengan dukungan microblog tools seperti Twitter seolah ‘menggusur’ blog dengan konten-konten teks berbobot berat. Menurutmu peluang ke depan, blog-blog dengan konten teks seperti itu akan tetap dilirik atau ditinggalkan?
Not a chance…..Twitter tidak akan pernah bisa menggantikan blog. Blog pun sekarang sebenarnya berevolusi cukup jauh sehingga sebenarnya sudah tidak bisa diartikan sebagai media berbasis teks lagi, tapi jauh lebih luas dari itu. Ini ditandai dengan munculnya istilah-istilah audio blog, video blog (vlog), dan lain sebagainya.

Beberapa kawan (termasuk saya) menggunakan blog sebagai tumpahan opini pemikiran dan menggunakan twitter sebagai sarana membangun wave yg menguatkan opini itu. Apakah ini praktek terbaik untuk mensiasati banyaknya channel di social media?
Menurut saya akan lebih mudah diatur dulu strateginya, jadi begini, tentukan dahulu dimana “kantor pusat” mu…..lalu yang mana “kantor cabang” mu lalu gunakan tools-tools distribusi yang efektif menurutmu. Kalau saya selalu memperlakukan blog saya sebagai “kantor pusat” dimana semua konten, hasil pemikiran dan lain sebagainya saya pusatkan disini. Lalu kantor cabang saya adalah di jejaring-jejaring social yang punya massa besar alias populer. Dalam hal ini saya menggunakan Facebook sebagai lokasi kantor cabang saya. Dengan meletakkan kantor cabang di FB maka konten saya bisa menjangkau penduduk FB juga. Nah lalu yang terakhir, saya menggunakan Twitter sebagai messenger saya yang reliable. Sehingga orang-orang yang lebih suka mengintili saya di Twitter juga bisa mendapatkan konten-konten tersebut. Kebetulan saya pernah membuat blogpost tentang bagaimana saya mengelola social media, bisa dilihat di sini.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Wah, analogi “kantor pusat” dan “kantor cabang” itu sangat menarik buat saya.

    Balas
    • Analogi yang saya buat supaya gampang menceritakannya ke orang lain sih…:-)

      Balas
  2. asyik aku memang berkantor di Blog sih hehehe

    Balas
  3. Hahaha….bener mbak…berkantor di blog itu asik

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.