Sebutlah Jian! Jangan dilanjut-ucap sebagai jiancuk, karena namanya memang begitu, Jian!
Cewek sih, cantik dan pintar pula! Rekan kerja di sebuah perusahaan antah-berantah yang dalam kaitan pekerjaan dulu mengharuskanku untuk kerap berinteraksi dengannya. Banyak orang yang awalnya nyinyir, “Kamu enak banget sih bisa duduk sebelahan dengan dia, kerja bareng, becanda bareng!”
Tapi ketika akhirnya mereka tahu bahwa si Jian itu memiliki masalah dengan bau ababnya, mereka jadi berpikir dua kali kalau harus berada di posisiku.
Abab?
Ya! Kalian yang tak tahu bahasa Jawa mungkin tak tahu apa itu abab. Abab adalah hembusan nafas yang keluar dari mulut. Nah, diluar segala kelebihannya, Jian memang memiliki bau abab yang lumayan akut!
?Aku tak bisa membayangkan kalau aku jadi pacarnya, Don! Jangankan pas cipokan… pelukan aja barangkali aku bisa muntah-muntah!? ujar temanku suatu waktu ketika kita sedang nggosipin si Jian.
?Gimana pendapatmu, Don??
?Hmm.. kamu dan bayanganmu itu memang jian… jian.. cuk!? ujarku sambil tak kuat lagi menawan tawa.
Tapi barangkali karena Jian terlalu baik, ramah lagi cantik, banyak dari kami pada akhirnya memilih untuk memaklumi bau ababnya daripada memberitahu bahwa ababnya bau atau menjauhinya. Paling banter, cuma nawari permen yang sebenarnya tujuannya supaya bikin ababnya jadi nggak terlalu bau tapi alih-alih mau, ia malah menjawab, “Aku tak doyan permen, terlalu manis dan katanya merusak gigi!” Nah, mau gimana lagi coba?!
Untunglah aku, barangkali karena sudah terbiasa, mulai kebal dengan bau ababnya yang kalau istilah orang jawa, mak seng! mak breng! itu.?Atau kalau pas kekebalan itu mendadak sirna, usaha terakhir ya kalau nggak tahan nafas beberapa saat lalu menghembuskannya seolah-olah sedang berpikir sesuatu atau pura-pura sibuk sampai nanti ketika kekebalan itu sudah hadir kembali.
“…karena tak ada orang yang sempurna termasuk kita yang juga hadir dan ada karena buah pemakluman orang banyak ini.”
Aku tak pernah ingin untuk tiba-tiba menutupi hidung dengan kerah baju atau bahkan dengan pura-pura menaruh jariku ke dekat lubang supaya menghalangi bau ababnya, karena takutnya ia akan tersinggung dan ketersinggungan itu adalah hal yang wajar karena kita semua tahu, hampir di seluruh bagian di dunia ini, perkara bau abab diletakkan dalam strata yang personal yang tak elok untuk bahkan sekadar dibicarakan karena terkait dengan aib seseorang.
Selain itu aku juga kerap mencoba berefleksi sebelum ingin mengeluhkan bau abab kepada Jian.?Refleksiku adalah, bagaimana kalau ternyata Jian pun juga berpikiran sama bahwa ababku ternyata yang menurutku tak bau ternyata baginya adalah bandingan yang sepadan dengan harumnya selokan mataram di saat air tergenang di kemarau yang panjang?
Hahaha, pada akhirnya hidup ini memang perkara maklum-memaklumi, kan?
Hal yang sebenarnya sangat tak enak untuk dilakukan karena ketika kita mencoba memaklumi orang lain, pada dasarnya kita kehilangan peluang untuk menguji suatu fakta itu sebagai kebenaran yang harus diakui oleh orang yang kita maklumi itu.
Tapi kalau kita tak berlaku demikian, barangkali tak ada satu tempat pun di dunia yang pantas untuk kita jadikan tempat tinggal karena tak ada orang yang sempurna termasuk kita yang juga hadir dan ada karena buah pemakluman orang banyak ini.
Masalah sabar-tak-sabar dan batas pemakluman sendiri akhirnya memang tergantung kita, timbangan kita, mana yang lebih kuat, kehilangan seorang kawan kerja yang cantik, pintar dan ramah seperti Jian, atau ya bersahabat dengannya yang berarti juga selalu menyalami bau ababnya yang sedap setiap paginya itu.
Kamu pilih yang mana? Sebelum menjawab, periksa dulu ababmu! Mak breng atau mak seng?
Sekarang banyak yang tahu diri kok, pake masker. Etok2e lagi watuk
Masalah abab setara dengan kelek, butuh kesadaran dan pemakluman. Ntah mana yang dateng duluan.
Benar2 tulisan seoramg budayawan!
Aku dulu pernah misuh-misuh meski dalam hati karena punya teman, sayangnya laki-laki, item lagi, yang ababnya bau busuk. Karena nggak enak saja bila harus ngasih tahu, terpaksa tahan nafas atau melengos bila memungkinkan saat dia ngajak bicara. Yang aku mencoba menghindarinya, atau terpaksa menerima keadaan jika harus bedtemu dgnya.
tapi kalau semua orang jadi budayawan, yang jadi kuli siapa?
Mungkin ini mirip dengan masalah bau badan. Saya sudah berkali-kali mengalami ketika mengajar mahasiswa di lab, terkadang ada yg bau badannya minta ampun deh, tidak peduli jenis kelamin, yang cowok dan cewek kadang ada saja. Biasanya terjadi ketika saya mendekati mereka untuk memberikan petunjuk secara langsung di depan komputernya masing-masing. Pas tercium bau badannya, hmmm… harus pura-pura tetap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa, padahal sedang menahan nafas, hehehe
ntutmu mambu cuk, aku wes maklum kit mbiyen
Kalo di tempatku ada temen yang bau badannya ‘super sekali!’ (kalo kata Mario Teguh, ya).
Mak seng, mak breng. Kadang dianya masih di mana, baunya udah nyamperin hidung duluan. Jadi radius berapa meter gitu udah bau :|
Katanya sih mandi, tapi ya.. nggak tahu mandi terakhirnya kapan. Semua udah kasih solusi; mulai lebih sering mandi, baju sering ganti, pakai tawas/MBK/deodorant, atur pola makan, olah raga, dll. Tetep sama. Sampai ada temen yang selalu sedia pewangi ruangan di belakang komputernya. Jaga-jaga kalo kakak itu datang dengan aromanya, langsung semprot-semprot, alasannya biar nggak banyak nyamuk :lol:
don, aku masih inget bau abab-mu kl bangun pagi di semar, mak breng, mak seng :D (ketoke kabeh nek tangi turu yo abab-e mambu)
Mungkin Jian ini punya permasalahan di pencernakannya.
Sebetulnya kasihan kalau nggak ada yang ngasih tahu…siapa tahu bisa disembuhkan.
Atau bisa juga karena makanan nya?
aku suka paragraf yang ini:
Hahaha, pada akhirnya hidup ini memang perkara maklum-memaklumi, kan?
Hal yang sebenarnya sangat tak enak untuk dilakukan karena ketika kita mencoba memaklumi orang lain, pada dasarnya kita kehilangan peluang untuk menguji suatu fakta itu sebagai kebenaran yang harus diakui oleh orang yang kita maklumi itu.
Hidup ini perkara maklum-memaklumi? Mungkin sebagian begitu. Tapi kadang kita memaklumi sesuatu karena kita merasa diri kita tidak sempurna. Lalu takut mengutarakan kelemahan/kekurangan orang lain yang perlu dikoreksi oleh orang tersebut. Jadi apakah maklum dan memaklumi itu bermuara pada “ketakutan”?
Hahahahaaaa….
Aduh Don. Di kantorku juga ada lho, yang ababnya luar biasa. Dan seperti dirimu, aku pun berpikir kenapa dia tidak sadar ya dengan bau mulutnya yang luar biasa itu. Bahkan dia bicara dari jarak sekian puluh senti saja sudah tercium dan aku sampai pusing, bingung tak tahu bagaimana menghindarinya. Nah lalu aku pikir barangkali dia sudah terbiasa dan menurutnya itu tidak bau, dan barangkali pula dia menganggap bau2an itu biasa.
Tapi jujur aku jadi sering memeriksa bau mulut, karena tidak ingin mulut berbau tidak enak…. astagaa….
sudah lama tidak dengar orang yang ngomong mak seng mak breng… dulu sering banget dengerin itu. waduh bau mulut ya, kalau sesekali kayak orang berpuasa masih bisa dimaklumi, tp kalau permanen gimana tuh Don.
hmmm sepertinya harus diberitahu deh. Untuk kesehatan dia sendiri sebetulnya :( Mungkin BM itu pertanda pencernaan yg tidak baik loh