101: False Humility

22 Sep 2016 | Cetusan

Merendahkan diri itu baik, tapi sok merendahkan diri untuk meninggikan mutu itu jahanam!

Sayangnya hal itu sering terjadi di dalam kultur masyarakat kita.

Contohnya begini,

“Ah, jangan saya! Saya ini bisa apa, yang lainnya saja…”

“Saya baru belajar, belum bisa bisa banyak!” Atau yang terbaru, “Aku mah apa atuh!”

Biasanya harapan yang ada dalam benak orang yang berlaku seperti itu adalah jawaban dari orang lain, “Ah, kamu merendah. Ayo lah, jangan begitu. Kami tahu track recordmu kok…”

Mentalitas ingin di-puk-puk, aku menyebutnya karena ingin dimanja, dinomersatukan dengan jalan menjatuhkan diri, merendahkan diri.

Sialnya lagi, karena sudah dianggap umum dan wajar, orang-orang yang berpikir jujur dan tidak merendahkan diri untuk meninggikan mutu malah dianggap orang sombong!

Misalnya, “Aku bisa mengerjakan. Coba beri aku kesempatan!” atau “Aku pernah melakukannya di masa silam, sepertinya aku masih ingat bagaimana caranya mengerjakan!”

St Jose maria Escriva, pendiri Opus Dei yang kesohor itu, dalam sebuah tulisannya berkata bahwa bahwa sok merendahkan diri atau yang biasa disebut sebagai false humility justru pertanda seseorang yang tinggi hati. Nah!

Kenapa tiba-tiba aku menulis tentang hal ini, karena banyak migran dari Indonesia yang pindah kemari lupa bahwa yang dihadapi adalah orang dari berbagai macam ras dan suku yang tak bisa diharapkan akan mem-pukpuk kita ketika kita ‘merendahkan diri untuk meninggikan mutu’. Aku adalah contoh terbaik untuk hal buruk ini. Aku pernah melakukannya dulu.

Secara khusus aku merilis vlog tentang false humility dan kalian bisa nikmati di bawah ini?atau kalau tak bisa terbuka secara utuh, silakan klik di link ini.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.